Selasa, 03 Maret 2015

Penganten Rang Bunian (Part 34)



Kuat sekali keinginan Sahrul untuk mengetahui masalah yang sedang dihadapi istrinya. Namun untuk menanyakannya tentunya dia tidak berani. Sebab jika masalah itu ditanyakannya tentu Ranti akan mengetahui kalau dirinya diikuti dalam perjalanan malamnya dengan ayahnya Bandri. Sedang sikap Ranti sehari-hari biasa saja dan tidak menunjukkan sedikitpun kegusaran atau wajah murung. Bahkan belakangan ini dilihatnya Ranti lebih bersikap tenang dan sabar dalam menghadapi suaminya. Tidak banyak tuntutan seks yang diajukan Ranti. Kalau Sahrul mengajaknya bercumbu, Ranti memang menanggapinya dengan antusias, namun kalau inisiatif itu tidak datang dari Sahrul maka dia sendiri tidak hendak memulai pergumulan sebagaimana dulu-dulu dimana dia yang selalu mengajukan inisiatif penyerangan.

Sikap Ranti yang lebih tenang dan sabar itu sendiri menjadi tanda tanya bagi Sahrul. Betapa tidak, dari percakapan Ranti dengan Bandri malam itu dia hanya tahu Ranti sedang menghadapi masalah besar, sedang dia sendri tidak mengetahui apa masalahnya. Ditambah sekarang sikap Ranti terlihat lebih dewasa dan lebih tenang dalam menghadapi suaminya ini. Untuk bertanya kepada Mayang atau Sang Ratupun Sahrul tidak berani karena dia ingin semua teka-teki yang tengah dihadapinya ini tidak diketahui oleh satu orangpun dari perempuan-perempuan yang dicintainya itu.
Bosan menunggu jawaban atas masalah yang sedang dihadapi istrinya itu, akhirnya Sahrul memutuskan untuk mengikuti lebih jauh gerak-gerik Ranti yang semakin lama semakin sering keluar rumah dengan Bandri. Apapun urusannya dengan ayahnya di kampung seberang sebagaimana yang disampaikan Ratih kepadanya tetap saja Sahrul harus mengetahui karena setiap masalah yang dihadapi istrinya tentu akan menjadi masalah juga bagi dia. Tapi setiap kali dia memancing mertuanya Ratih untuk bicara, selalu saja Ratih mengalihkannya pada hal-hal lain berbau seks yang akhirnya membuat pertanyaan-pertanyaan itu ditelan sendiri oleh Sahrul.
Sore itu sebagaimana biasanya, Ranti dan Bandri telah siap-siap untuk keluar rumah lagi. Bosan dengan sikap Ranti yang tertutup, Sahrul memancing Ranti untuk mengungkapkan sesuatu yang mungkin saja akan membuka keberanian Ranti untuk menceritakan masalah itu kepadanya.
“Apa kepergianmu ini kehendak ibumu untuk memberi kesempatan kepada kami?” pancing Sahrul. Harapannya kalau istrinya marah mendengar dia selalu bermesraan ketika Ranti meninggalkan mereka berdua saja, tentu dia akan bercerita tentang kesulitan yang sedang dihadapinya. Namun lagi-lagi Ranti hanya menanggapinya dengan senyum bahagia yang nampaknya tidak dibuat-buat.
“Nikmatilah pelayanan ibuku. Abang tentu juga memperoleh kenikmatan dari ibuku, kan? Tolong jangan kecewakan dia, ya?” katanya enteng. Tanpa berkata panjang lebar diapun pergi menyusul Bandri yang sudah mendahuluinya beberapa langkah.
Kali ini rasa penasaran Sahrul benar-benar sudah sampai pada puncaknya. Diikutinya lagi anak dan ayah yang tengah berjalan di kegelapan malam yang mulai menyelimuti bumi Lubuk Lungun yang dingin itu. Cukup dekat dengan orang-orang yang diintipnya itu ternyata tidak membuat Sahrul mendapat informasi apapun karena memang saat ini Ranti dan Bandri tidak lagi bercakap-cakap seperti beberapa hari yang lalu ketika Sahrul mengikuti istri dan mertuanya itu. Namun terlihat langkah pasti kedua anak beranak itu menuju jalan yang masih misterius bagi Sahrul itu. Dicobanya untuk terus mengikuti Ranti dan Bandri dari belakang. Bahkan ketika mereka berbelok dan masuk ke jalan itu, Sahrulpun tak ketinggalan juga ikut masuk jalan itu. Tidak dihiraukannya lagi kekhawatiran kalau-kalau Ratih mencarinya. Yang ada dalam benaknya sekarang ini adalah pertanyaan-pertanyaan tentang maksud dan tujuan istri dan mertuanya masuk ke jalan itu. Dan kalaupun sampai ujung jalan dimanakah tembusnya jalan ini.
Beberapa ratus meter jalan telah dilaluinya sambil mengendap-endap. Alangkah terkejutnya Sahrul ketika dilihatnya jalan itu cukup besar dan bersih tanpa ditutupi oleh belukar sebagaimana dilihatnya siang-siang setiap pulang dari melakukan pengabdian kepada Sang Ratu. Yang juga membuat dia terkejut karena jalan itu cukup panjang dan datar dengan badan jalan yang lurus.
“Kenapa kemarin itu jalannya sangat sempit dan penuh belukar? Kok sekarang jalan ini sangat mulus. Kemanakah tujuan dari jalan ini?” kata hatinya tak habis pikir.
Dicobanya untuk menekan rasa penasaran akan pemandangan yang dilihatnya di jalan yang sangat bagus itu. Ingin sekali rasanya dia berteriak kepada kedua orang itu untuk menanyakan perihal jalan yang tiba-tiba saja nampak begitu lebar dan datar. Tidak seperti siang hari ketika dia berusaha membersihkan jalan itu. Namun rasa penasaran itu tetap ditekannya. Bagaimanapun juga tujuan dia kesini adalah untuk mengintip dan mengetahui apa yang dilakukan istri dan mertuanya di kampung seberang sehingga mereka harus selalu kesana hampir setiap malam.
Belum hilang keterkejutan Sahrul akan kondisi jalan yang jauh diluar dugaannya itu, kembali dia dikejutkan oleh tingkah istri dan mertuanya yang menghentikan langkah tiba-tiba.
“Wah... ketahuan nih” pikirnya. Dengan gerakan refleks Sahrul membaringkan badannya di tanah jalan itu. Ditunggunya beberapa saat kalau-kalau istri dan mertuanya memang mengetahui kehadirannya. Tentu mereka akan mendekati tempat dia tengkurap.
Tidak ada reaksi. Perlahan diangkatnya kepalanya yang tadi tertunduk mencium tanah untuk melihat reaksi mertuanya selanjutnya. Tidak ada tanda-tanda kalau mertua dan istrinya mengetahui keberadaannya disitu. Bahkan dilihatnya Bandri sibuk menancapkan suluh bambu yang dibawanya tadi. Sementara Ranti membentangkan sejenis kain panjang di atas tanah. Usai membentangkan kain itu Ranti duduk bersimpuh dan tangannya berusaha merogoh sesuatu perbekalan dari tas jinjing yang dibawanya dari rumahnya tadi. Beberapa rangkaian bunga dan buah-buahan kecil keluar dari tas jinjing itu. Dipersiapkannya bunga-bunga rampai itu di depan mereka untuk kemudian kedua anak beranak itu duduk bersila di atas kain panjang yang dibentangkannya tadi dengan posisi menghadap kesebelah kiri jalan. Sementara di kiri-kanan tempat duduk mereka tertancap suluh bambu yang sengaja dibuat untuk penerangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar