Tentu saja Mayang keberatan kalau Ranti menunggu
suaminya disitu karena bagaimanapun juga keberadaan Ranti nantinya pasti akan
terlihat oleh Sahrul yang akhirnya hanya akan membuyarkan konsentrasi Sahrul
dalam melakukan pengabdian kepada Mayang.
Begitu dipastikannya Ranti telah keluar dari
pekarangannya menuju ruang tunggu di bagian depan istana, Mayang pun segera
berlalu menuju peraduan Sang Ratu untuk menjemput Sahrul sesuai jadwalnya. Sebenarnya
Mayang sangat ingin sekali kebahagiaannya mendapat kenyataan dicabutnya
keputusan Sang Ratu itu diwujudkannya dengan menahan Sahrul untuk dapat
melayaninya sampai esok harinya. Bahkan rencana itu sudah disusun Mayang begitu
dia mendengar keputusan Sang Ratu. Tapi niatnya itu nampaknya harus
diurungkannya begitu Mayang melihat Ranti telah menunggu selesainya suaminya
melakukan pengabdian. Tidak enak rasanya kalau dia yang mengetahui Ranti
menunggu Sahrul justru menahan Sahrul untuk melakukan permainan panjang sampai
esok hari. Dengan sedikit kecewa, Mayang segera menjemput Sahrul dan membawanya
keperaduannya. Tidak ingin dia membuang waktu yang sangat sempit ini dengan
tindakan-tindakan yang tidak perlu.
Sore hari mulai menjelang, Sahrul pun selesai
melakukan pengabdiannya. Dengan memberi kecupan manis dibibir Mayang dia
meninggalkan kediaman Mayang untuk kemudian segera berlalu pulang mengejar
kenikmatan yang tertunda di rumah dengan istrinya. Melewati ruang tamu,
dilihatnya istrinya sudah menunggunya. Berdetak hati Sahrul. Entah apa yang
menyebabkan istrinya menunggu dirinya. Padahal sudah lama sekali dia tidak
dijemput seperti itu. Terutama semenjak dia secara terang-terangan sudah
mengetahui masa lalunya melalui jalan yang selama ini disembunyikan istrinya.
“Ada apa, Nti? Kok menunggu abang abang?” tanyanya.
“Ah.. tidak ada apa-apa, bang. Kebetulan aku baru saja
pulang dari rumah saudaraku di seberang sana. Jadi aku menunggu abang disini”
jawab Ranti yang tentu saja sudah diperkirakan Sahrul karena jawaban Ranti,
Ratih maupun Bandri setiap menjemput dia juga selalu sama.
“Kalau begitu ayolah kita segera pulang” ajaknya.
Kedua suami istri itu berlalu menapaki jalan menuju
rumah mereka.
Diluar dugaan, ketika melewati simpang jalan menuju
kampung halaman Sahrul, lelaki itu terdiam sejenak. Tatapannya jauh menerawang
mencari ujung jalan yang sangat jauh itu.
“Ayolah, bang. Kita segera pulang. Hari sudah mulai
petang” ajak Ranti.
Betapa cemasnya Ranti melihat suaminya terdiam dijalan
itu. Perasaan tidak enak langsung merasuki hatinya. Bagaimana kalau suaminya
tidak mau pulang dan berlari sekuat tenaga kearah jalan itu, pikirnya.
Tak ingin dicemaskan oleh pikiran buruknya, Ranti
menarik tangan suaminya untuk diajak pulang. Tapi Sahrul tetap diam dan tidak
mengeluarkan tanggapan apapun selain hanya mematung. Entah apa yang sedang
dipikirkannya.
Lama kejadian itu berlangsung membuat Ranti semakin
takut. Bayangan buruk melanda pikirannya yang justru semakin membuat dia cemas.
Tak terasa seberkas air bening mulai tergenang dimatanya. Ditahannya agar air mata itu tidak tumpah.
“Kita keujung jalan itu sebentar, ya” ajak Sahrul
tiba-tiba sambil berjalan pelan ke arah jalan yang sangat jelas itu. Tangan Ranti
yang sedari tadi memegangi lengan Sahrul hampir saja terlepas. Segera dipereratnya
genggaman tangannya agar tidak terlepas dari Sahrul. Ranti merandek tak mau
mengikuti keinginan suaminya menelusuri kembali jalan itu. Takut kalau-kalau
siamunya berubah pikiran dan berlalu begitu saja menyeberangi sungai. Dicobanya
terus menahan tarikan tenaga Sahrul yang tak mau diingatkan untuk segera
pulang. Tapi Sahrul seakan tak peduli terus saja memasuki jalan itu dan
membujuk istrinya untuk mengizinkannya memasuki jalan itu.
“Abang hanya ingin melihat-lihat saja. Kita tidak akan
sampai keujung jalan. Hanya untuk mengingat kenangan lama saja. Percayalah”
pinta Sahrul. Namun Ranti masih terus memeganginya walaupun tubuhnya tertarik
juga oleh langkah Sahrul yang terus memasuki jalan itu.
Tak kuasa mencegah keinginan suaminya itu, akhirnya
Ranti terpaksa ikut juga memasuki jalan itu. Semakin lama semakin jauh saja
Sahrul berjalan. Tidak sedikitpun tampak keraguan dihatinya.
Sampai jauh berjalan, Sahrul tampaknya tidak juga berkeinginan
untuk meninggalkan jalan itu. Bahkan arus sungai sudah mulai tampak, yang
membuat Ranti semakin pucat saja. Bayangan akan segera kehilangan suaminya
mulai merasuki pikirannnya.
Sampai dipinggir sungai itu, Sahrul terdiam. Larut dalam
pikiran masa lalunya. Tidak dihiraukannya lagi tangisan Ranti yang sedari tadi
membujuknya untuk segera kembali kerumahnya. Lama termenung, akhirnya Sahrul
memandang ke arah istrinya yang sedari tadi sudah kehabisan akal untuk
membujuknya.
“Aku harus menemui mereka walaupun hanya untuk meminta
maaf dan memastikan mereka baik-baik saja” katanya dengan ketetapan hati.
“Jangan, Bang. Aku mohon” terdengar lagi tangisan
istrinya yang tak ingin melepaskan kepergiannya itu.
Tolong, Ranti. Jangan kau larang aku kembali ke
kampungku. Nanti jika keluarga dan orang kampungku sudah dapat menerima kembali
kehadiranku, aku akan memperkenalkan kamu dengan keluargaku agar mereka juga
dapat menerimamu” bujuknya.
“Tidak mungkin, Bang. Jangan kau tinggalkan kami. Aku mohon”
pinta Ranti dengan isakan tangis yang semakin menjadi-jadi. Namun tampaknya
tangisan itu tak lagi bisa mencegah keinginan Sahrul untuk tetap pergi
meninggalkannya. Apalagi dibenak Sahrul saat ini yang ada hanyalah bayangan
bahwa dia hanya sebentar berada dikampung itu dan kemudian kalau memang dia
bisa diterima kembali di kampung itu, maka dia akan memboyong istrinya itu ke
Kampung Lubuk Pisang.
Bersambung..........................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar