Kamis, 25 Januari 2018

Penganten Rang Bunian (Part 63)



Tentu saja Mayang keberatan kalau Ranti menunggu suaminya disitu karena bagaimanapun juga keberadaan Ranti nantinya pasti akan terlihat oleh Sahrul yang akhirnya hanya akan membuyarkan konsentrasi Sahrul dalam melakukan pengabdian kepada Mayang.
Begitu dipastikannya Ranti telah keluar dari pekarangannya menuju ruang tunggu di bagian depan istana, Mayang pun segera berlalu menuju peraduan Sang Ratu untuk menjemput Sahrul sesuai jadwalnya. Sebenarnya Mayang sangat ingin sekali kebahagiaannya mendapat kenyataan dicabutnya keputusan Sang Ratu itu diwujudkannya dengan menahan Sahrul untuk dapat melayaninya sampai esok harinya. Bahkan rencana itu sudah disusun Mayang begitu dia mendengar keputusan Sang Ratu. Tapi niatnya itu nampaknya harus diurungkannya begitu Mayang melihat Ranti telah menunggu selesainya suaminya melakukan pengabdian. Tidak enak rasanya kalau dia yang mengetahui Ranti menunggu Sahrul justru menahan Sahrul untuk melakukan permainan panjang sampai esok hari. Dengan sedikit kecewa, Mayang segera menjemput Sahrul dan membawanya keperaduannya. Tidak ingin dia membuang waktu yang sangat sempit ini dengan tindakan-tindakan yang tidak perlu.
Sore hari mulai menjelang, Sahrul pun selesai melakukan pengabdiannya. Dengan memberi kecupan manis dibibir Mayang dia meninggalkan kediaman Mayang untuk kemudian segera berlalu pulang mengejar kenikmatan yang tertunda di rumah dengan istrinya. Melewati ruang tamu, dilihatnya istrinya sudah menunggunya. Berdetak hati Sahrul. Entah apa yang menyebabkan istrinya menunggu dirinya. Padahal sudah lama sekali dia tidak dijemput seperti itu. Terutama semenjak dia secara terang-terangan sudah mengetahui masa lalunya melalui jalan yang selama ini disembunyikan istrinya.
“Ada apa, Nti? Kok menunggu abang abang?” tanyanya.
“Ah.. tidak ada apa-apa, bang. Kebetulan aku baru saja pulang dari rumah saudaraku di seberang sana. Jadi aku menunggu abang disini” jawab Ranti yang tentu saja sudah diperkirakan Sahrul karena jawaban Ranti, Ratih maupun Bandri setiap menjemput dia juga selalu sama.
“Kalau begitu ayolah kita segera pulang” ajaknya.
Kedua suami istri itu berlalu menapaki jalan menuju rumah mereka.
Diluar dugaan, ketika melewati simpang jalan menuju kampung halaman Sahrul, lelaki itu terdiam sejenak. Tatapannya jauh menerawang mencari ujung jalan yang sangat jauh itu.
“Ayolah, bang. Kita segera pulang. Hari sudah mulai petang” ajak Ranti.
Betapa cemasnya Ranti melihat suaminya terdiam dijalan itu. Perasaan tidak enak langsung merasuki hatinya. Bagaimana kalau suaminya tidak mau pulang dan berlari sekuat tenaga kearah jalan itu, pikirnya.
Tak ingin dicemaskan oleh pikiran buruknya, Ranti menarik tangan suaminya untuk diajak pulang. Tapi Sahrul tetap diam dan tidak mengeluarkan tanggapan apapun selain hanya mematung. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
Lama kejadian itu berlangsung membuat Ranti semakin takut. Bayangan buruk melanda pikirannya yang justru semakin membuat dia cemas. Tak terasa seberkas air bening mulai tergenang dimatanya.  Ditahannya agar air mata itu tidak tumpah.
“Kita keujung jalan itu sebentar, ya” ajak Sahrul tiba-tiba sambil berjalan pelan ke arah jalan yang sangat jelas itu. Tangan Ranti yang sedari tadi memegangi lengan Sahrul hampir saja terlepas. Segera dipereratnya genggaman tangannya agar tidak terlepas dari Sahrul. Ranti merandek tak mau mengikuti keinginan suaminya menelusuri kembali jalan itu. Takut kalau-kalau siamunya berubah pikiran dan berlalu begitu saja menyeberangi sungai. Dicobanya terus menahan tarikan tenaga Sahrul yang tak mau diingatkan untuk segera pulang. Tapi Sahrul seakan tak peduli terus saja memasuki jalan itu dan membujuk istrinya untuk mengizinkannya memasuki jalan itu.
“Abang hanya ingin melihat-lihat saja. Kita tidak akan sampai keujung jalan. Hanya untuk mengingat kenangan lama saja. Percayalah” pinta Sahrul. Namun Ranti masih terus memeganginya walaupun tubuhnya tertarik juga oleh langkah Sahrul yang terus memasuki jalan itu.
Tak kuasa mencegah keinginan suaminya itu, akhirnya Ranti terpaksa ikut juga memasuki jalan itu. Semakin lama semakin jauh saja Sahrul berjalan. Tidak sedikitpun tampak keraguan dihatinya.
Sampai jauh berjalan, Sahrul tampaknya tidak juga berkeinginan untuk meninggalkan jalan itu. Bahkan arus sungai sudah mulai tampak, yang membuat Ranti semakin pucat saja. Bayangan akan segera kehilangan suaminya mulai merasuki pikirannnya.
Sampai dipinggir sungai itu, Sahrul terdiam. Larut dalam pikiran masa lalunya. Tidak dihiraukannya lagi tangisan Ranti yang sedari tadi membujuknya untuk segera kembali kerumahnya. Lama termenung, akhirnya Sahrul memandang ke arah istrinya yang sedari tadi sudah kehabisan akal untuk membujuknya.
“Aku harus menemui mereka walaupun hanya untuk meminta maaf dan memastikan mereka baik-baik saja” katanya dengan ketetapan hati.
“Jangan, Bang. Aku mohon” terdengar lagi tangisan istrinya yang tak ingin melepaskan kepergiannya itu.
Tolong, Ranti. Jangan kau larang aku kembali ke kampungku. Nanti jika keluarga dan orang kampungku sudah dapat menerima kembali kehadiranku, aku akan memperkenalkan kamu dengan keluargaku agar mereka juga dapat menerimamu” bujuknya.
“Tidak mungkin, Bang. Jangan kau tinggalkan kami. Aku mohon” pinta Ranti dengan isakan tangis yang semakin menjadi-jadi. Namun tampaknya tangisan itu tak lagi bisa mencegah keinginan Sahrul untuk tetap pergi meninggalkannya. Apalagi dibenak Sahrul saat ini yang ada hanyalah bayangan bahwa dia hanya sebentar berada dikampung itu dan kemudian kalau memang dia bisa diterima kembali di kampung itu, maka dia akan memboyong istrinya itu ke Kampung Lubuk Pisang.

Bersambung..........................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar