Tak ingin ambil pusing dengan kondisi Sahrul yang
kelelahan setelah melayani ibunya itu, Ranti dengan caranya sendiri berusaha
mengejar kenikmatan yang diperlukannya. Berbagai gaya dalam bermain dicobanya
untuk membangkitkan gairah kelaki-lakian suaminya yang sedari tadi nampaknya
tidak bersemangat. Dengan sabar dibangkitkannya kembali gairah suaminya melalui
rangsangan dan sentuhan yang diberikannya.
Memang ibunya memiliki kelebihan dalam menaikkan
gairah Sahrul dengan memberinya ramuan mujarab yang dalam jangka waktu yang
sangat cepat bisa membangunkan kembali gairah yang sudah mati kelelahan.
Sedangkan Sang Ratu yang tidak memiliki kemampuan apa-apa dalam menaikkan
gairah kejantanan Sahrul selama ini
hanya mengandalkan kepandaian Mayang dalam melakukan pijatan-pijatan birahi
yang dilakukan Mayang disekitar pinggang bagian belakang tubuh Sahrul. Dari
situ pulalah Mayang selama ini mengejar kenikmatan yang diinginkannya sesuai
dengan tingkat kepuasan yang dia inginkan. Sehingga dari keempat wanita yang
memperoleh kenikmatan dari pelayanan yang diberikan Sahrul hanya Ranti yang
tidak memiliki kemampuan untuk membangkitkan gairah Sahrul. Padahal Sahrul
adalah suaminya sendiri. Justru orang-orang lain yang dapat menikmati permainan
panjang dengan senjata andalan mereka
masing-masing untuk membangkitkan gairah
Sahrul. Dari sisa-sisa pengaruh obat mujarab yang diberikan ibunya atau dari
sisa-sisa kekuatan pijatan yang diberikan Mayang lah Ranti selama ini
mendapatkan kenikmatan dari pelayanan seks yang diberikan suaminya.
Menghadapi kenyataan kalau saat ini suaminya mulai
mengeluhkan kelelahan yang dirasakannya, baru Ranti sadar akan kelemahan yang
dimilikinya. Memang selama ini dia tidak pernah merasa kurang dalam melayani
suaminya karena suaminyapun tak pernah mengeluh atau menolak permainan
dengannya.
“Berarti ibu tadi memberikan ramuan mujarab kepada
Bang Sahrul dan menghabiskan kekuatan obat itu untuk dia sendiri tanpa
menyisakan reaksi obat itu untuk aku” pikirnya lagi mulai curiga kepada ibunya.
Tapi segera saja dibuangnya pikiran itu karena ibunya memang berdasarkan
keputusan Sang Ratu berhak untuk memperoleh kenikmatan dari suaminya.
Upaya Ranti yang dengan sabar menaikkan kembali gairah
seksual suaminya ternyata membuahkan hasil. Lambat laun dilihatnya benda vital
diselangkangan suaminya mulai berreaksi positif. Dengan pekikan tertahan Ranti
menyambut naiknya semangat Sahrul itu. Baru kali ini dia merasa puas atas hasil
kerjanya menaikkan gairah suaminya. Tak ingin membuang waktu diserbunya
suaminya yang baru saja hendak bersiap-siap untuk menunaikan tugas itu. Sungguh
kepuasan yang diperolehnya dalam permainan kali ini membuat Ranti sangat
bangga. Bahkan Sahrul tak henti-hentinya memberikan kepuasan kepada istrinya
itu, entah untuk berapa lama.
Sebenarnya kemampuan Sahrul untuk melayani istrinya
kali ini sama saja dengan kesempatan di waktu-waktu sebelumnya. Bagaimanapun
juga Sahrul masih mempunyai kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai suami.
Namun pengaruh pikirannya tadi yang membuat dia seakan kehilangan gairah
kejantanannya yang selama ini sangat dibanggakan oleh istrnya dan ketiga wanita
lain dalam hidupnya itu.
Usai permainan panjang itu, Sahrul berencana untuk
menanyakan kepada istrinya perihal anak-anak mereka yang tidak pernah lagi
dilihat Sahrul dirumahnya. Bahkan entah sudah berapa banyak anak-anak mereka,
Sahrul pun tak tahu lagi.
“Nti. Boleh abang menanyakan sesuatu kepadamu?” tanyanya
tiba-tiba yang tentu saja membuat Ranti yang sedang mengenang kenikmatan yang
diterimanya tadi menjadi kaget. Bukan pada pertanyaan yang tiba-tiba itu yang
membuat Ranti sedikit pucat karena kagetnya, yang membuat dia takut justru
kalau-kalau suaminya menanyakan sesuatu yang tidak ingin dijawabnya karena
menyangkut masa lalu Sahrul atau keanehan di kampung itu.
“Apa, Bang?” Kok tumben?” dicobanya untuk bersikap
semanis mungkin agar tidak terlihat keterkejutannya memperoleh pertanyaan itu.
“Boleh aku tahu kemana anak-anak kita yang selama ini
kau lahirkan?”
Tak bisa menjawab secara mendadak begitu, Ranti hanya
terdiam. Diperasnya otaknya untuk mencari jawaban apa yang akan diberikannya
atas pertanyaan suaminya itu.
“Kenapa, Nti?” Apakah aku tak boleh menanyakan
anak-anak kita?”
“Untuk apa abang menanyakan masalah anak-anak.
Bukankah selama ini tidak pernah terpikir bagi abang tentang mereka dan dimana
mereka hidup serta siapa yang merawat mereka?” entah menyindir ketidak hirauan
Sahrul akan anak-anaknya selama ini atau
memang hanya sekedar menanyakannnya saja, yang jelas pertanyan balik yang
diberikan Ranti membuat Sahrul merasa terpojok. Betapapun dia menyadari kalau
dia selama ini memang tidak pernah menghiraukan kemana anak-anaknya dan siapa
yang merawat anak-anak itu.
“Maafkan aku, Nti. Bukan aku tak ingin merawat mereka
atau tak peduli kepada mereka selama ini. Tapi memang aku baru sadar kalau aku
ternyata selama ini telah melupakan kewajibanku terhadap keluarga. Itu makanya
sekarang aku ingin memperbaikinya dan ingin merawat anak-anak itu bersama kamu”
katanya penuh sesal.
“Tidak mungkin, Bang. Bagaimana mungkin kau akan
mempedulikan dan menjaga anak-anak kita sementara tugasmu memberikan pengabdian
kepada Sang Ratu, Mayang dan kepada ibuku sendiri. Belum lagi waktumu yang
harus kau berikan untukku. Mana mungkin kau akan memiliki kesempatan untuk
melihat anak-anakmu”
“Pelayanan dan pengabdianku kepada para wanita itu kan
bisa aku kurangi”
“Tidak bisa.
Bang. Apa kata Sang Ratu dan Mayang nanti kalau kau tak memenuhi tugasmu sesuai
jadwal yang telah diberikannya. Begitu juga dengan ibu. Kalau kau mengurangi
jatahnya tentu ibu akan marah sama aku sehingga aku nanti dianggapnya menjadi
penghalang dia untuk memperoleh kenikmatan hidup yang merupakan tujuan hidup
kami” jawab Ranti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar