“Biarlah, Ranti. Sekarang abang pergi dulu. Nanti
kalau abang sudah dapat diterima di kampung abang, kita akan pergi bersama-sama
kesana. Bersabarlah. Abang juga sangat mencintai kamu. Tapi apa salahnya abang
kembali dulu kesana” jelasnya dengan mantap. Nampaknya tak mungkin lagi bagi
Ranti untuk membujuk suaminya agar tidak meninggalkannya.
“Kalau memang abang tak bisa lagi dicegah untuk
kembali ke kampung abang, baiklah. Tapi aku mohon sekali sama abang agar
meminta izin dahulu kepada Yang Mulia Sang Ratu Datuk Puti. Kita harus
mendapatkan izin darinya untuk meninggalkan kampung ini agar perjalanan abang
ke kampung abang bisa lancar”
“Ah... tidak perlu begitu. Abang kan hanya sebentar
disana, nanti pada saat pengabdian tiba, abang sudah ada di istana lagi kok”
katanya dengan mantap.
“Tidak, bang. Abang harus meminta izin dulu dari Yang
Mulia supaya kita semua selamat” kata Ranti kembali mengingatkan. Ranti
berusaha menunda kepergian Sahrul dengan melaporkan dulu rencananya pulang
kampung itu kepada Sang Ratu. Kalau Sahrul setuju untuk meminta izin Sang Ratu
tentu nantinya Sang Ratu bisa secara langsung memberkatinya sebagai suami abadi
Ranti yang akhirnya sama sekali akan membuat ingatan Sahrul akan kampung
halamannya hilang seketika. Namun apa yang dipikirkan Ranti itu ternyata sudah
masuk dalam benak Sahrul yang sudah terlanjur tahu dengan rencana Sang Ratu
untuk memberkatinya itu dari Ratih. Tetap Sahrul tidak mau memenuhi keinginan
Ranti untuk membawanya meminta izin kepada Sang Ratu.
Kali ini deraian air mata Ranti kian deras membasahi
pipinya. Namun tetap saja Sahrul tak menghiraukannya. Justru dia menganggap
istrinya itu terlalu berlebihan dalam menanggapi kepergiannya yang hanya
beberapa hari kembali ke kampung halamannya. Bukankah biasa saja kalau dia
pergi ke kampung halamannya beberapa hari. Apalagi dia sendiri selama ini juga
sering ditinggalkan istrinya yang pergi dengan ayahnya, Bandri ke kampung
seberang untuk beberapa hari.
Sekarang giliran dia yang pergi, justru istrinya
melarang, bahkan mengkait-kaitkan nama Sang Ratu segala. Itu makanya dia
menganggap istrinya terlalu berlebihan. Namun Sahrul merasa bangga juga karena
kekhawatiran Ranti yang melepas dia dengan deraian air mata itu menandakan
kecintaan istrinya yang teramat sangat kepadanya.
Sayangnya Sahrul tidak tahu apa yang menyebabkan
istrinya menangis begitu sedih dalam melepas kepergiannya. Tidak disadarinya
sdikitpun kekhawatiran yang dirasakan istrinya itu, dia terus berjalan mengamati
bebatuan sungai yang mungkin bisa dilaluinya sebagai jalan menyeberang ke
desanya. Padahal istrinya terus menerus meratap di pinggir sungai itu seakan
tak rela sedikitpun melepas kepergiannya.
“Abang pergi dulu, ya sayang” katanya sambil mengecup
kening istrinya yang terus menangis itu.
“Jangan, bang. Aku mohon” tangis istrinya. Namun
Sahrul tetap tidak menghiraukannya. Dia terus berlalu mengamati batu yang
kira-kira bisa diloncatinya.
Begitu mendapatkan batu yang bisa diloncatinya, Sahrul
pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera saja dengan beberapa loncatan dia sudah sampai di sebuah batu
besar tempat dulu dia mandi disana. Alangkah terkejutnya Sahrul ketika
dilihatnya ternyata ada handuk dan pakaian yang diingatnya dulu pernah
dipakainya tergeletak di batu besar itu.
“Kenapa pakaian ini ada disini? Apakah ada orang lain
yang telah memakai pakaianku ini?” pikirnya. Dicobanya untuk mengarahkan
pandangannya ke bagian lain sambil mengingat-ingat kejadian yang dulu pernah
dilaluinya dulu.
“Itu... itu juga kaleng sabun yaang selalu aku pakai
dulu” katanya lagi seakan berkata pada dirinya sendiri. Yakin kalau pakaian,
handuk dan kaleng tempat sabun itu adalah miliknya, diraihnya pakaian dan
handuk itu. Apalagi dilihatnya disekeliling itu tak ada satu orangpun yang
tengah mandi yang berarti memang tidak ada pemilik lain dari baju handuk dan
sabun itu selain dirinya sendiri.
Lagi-lagi Sahrul terkejut ketika tangannya menyentuh
pakaian dan handuk itu, secara tiba-tiba pakaian yang tengah melekat ditubuhnya
hilang tanpa bekas. Hanya celana dalam yang tersisa pada tubuhnya. Segera saja
diraihnya handuk dan dililitkannya pada tubuh bagian bawahnya. Sementara
matanya terus menerus menyapu lingkungan sekeliling itu untuk melihat
kalau-kalau ada orang lain yang melihat dia dalam keadaan telanjang seperti
itu. Namun jangankan orang lain, Rantipun sudah tak tampak lagi diseberang
sungai yang jaraknya tak terlalu jauh itu.
Segera saja dikenakannya pakaiannya dan diraihnya
kaleng sabun itu untuk kemudian segera berlalu dari sungai itu. Sekali lagi
dipalingkannya pandangan ke seberang sungai untuk melihat istrinya yang tadi
ditinggalkannya. Namun tak terlihat Ranti diseberang sungai itu.
“Ranti... nanti aku kembali lagi. Kamu tunggu saja
dirumah” teriaknya.
Dijalan menuju rumah yang sudah puluhan tahun ditinggalkannya
itu Sahrul terus menerus memikirkan betapa malunya nanti kalau dia harus bertemu
Siti, istri yang sudah sangat lama ditinggalkannya tanpa kepastian dan
tanggungjawab.
“Apakah dia masih hidup? Apakah dia sudah menikah lagi?
Dengan siapa ya dia menikah sekarang?” tanya hatinya. Sementara secara lambat
laun semua kenangan di kampungnya itu kembali pulih. Bahkan dia tidak ragu-ragu
lagi menentukan jalan pulang ketika jalan di pematang sawah yang dilaluinya itu
bercabang.
Tak jauh dari tempatnya berjalan terlihat seorang
petani kampung yang tengah menyiangi sawahnya. Tak ada jalan lain, Sahrul harus
melewati jalan itu dan harus berpapasan dengan orang yang sedang menyiangi
sawah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar