Jumat, 26 Januari 2018

Penganten Rang Bunian (Part 64)



“Biarlah, Ranti. Sekarang abang pergi dulu. Nanti kalau abang sudah dapat diterima di kampung abang, kita akan pergi bersama-sama kesana. Bersabarlah. Abang juga sangat mencintai kamu. Tapi apa salahnya abang kembali dulu kesana” jelasnya dengan mantap. Nampaknya tak mungkin lagi bagi Ranti untuk membujuk suaminya agar tidak meninggalkannya.
“Kalau memang abang tak bisa lagi dicegah untuk kembali ke kampung abang, baiklah. Tapi aku mohon sekali sama abang agar meminta izin dahulu kepada Yang Mulia Sang Ratu Datuk Puti. Kita harus mendapatkan izin darinya untuk meninggalkan kampung ini agar perjalanan abang ke kampung abang bisa lancar”
“Ah... tidak perlu begitu. Abang kan hanya sebentar disana, nanti pada saat pengabdian tiba, abang sudah ada di istana lagi kok” katanya dengan mantap.

“Tidak, bang. Abang harus meminta izin dulu dari Yang Mulia supaya kita semua selamat” kata Ranti kembali mengingatkan. Ranti berusaha menunda kepergian Sahrul dengan melaporkan dulu rencananya pulang kampung itu kepada Sang Ratu. Kalau Sahrul setuju untuk meminta izin Sang Ratu tentu nantinya Sang Ratu bisa secara langsung memberkatinya sebagai suami abadi Ranti yang akhirnya sama sekali akan membuat ingatan Sahrul akan kampung halamannya hilang seketika. Namun apa yang dipikirkan Ranti itu ternyata sudah masuk dalam benak Sahrul yang sudah terlanjur tahu dengan rencana Sang Ratu untuk memberkatinya itu dari Ratih. Tetap Sahrul tidak mau memenuhi keinginan Ranti untuk membawanya meminta izin kepada Sang Ratu.
Kali ini deraian air mata Ranti kian deras membasahi pipinya. Namun tetap saja Sahrul tak menghiraukannya. Justru dia menganggap istrinya itu terlalu berlebihan dalam menanggapi kepergiannya yang hanya beberapa hari kembali ke kampung halamannya. Bukankah biasa saja kalau dia pergi ke kampung halamannya beberapa hari. Apalagi dia sendiri selama ini juga sering ditinggalkan istrinya yang pergi dengan ayahnya, Bandri ke kampung seberang untuk beberapa hari.
Sekarang giliran dia yang pergi, justru istrinya melarang, bahkan mengkait-kaitkan nama Sang Ratu segala. Itu makanya dia menganggap istrinya terlalu berlebihan. Namun Sahrul merasa bangga juga karena kekhawatiran Ranti yang melepas dia dengan deraian air mata itu menandakan kecintaan istrinya yang teramat sangat kepadanya.
Sayangnya Sahrul tidak tahu apa yang menyebabkan istrinya menangis begitu sedih dalam melepas kepergiannya. Tidak disadarinya sdikitpun kekhawatiran yang dirasakan istrinya itu, dia terus berjalan mengamati bebatuan sungai yang mungkin bisa dilaluinya sebagai jalan menyeberang ke desanya. Padahal istrinya terus menerus meratap di pinggir sungai itu seakan tak rela sedikitpun melepas kepergiannya.
“Abang pergi dulu, ya sayang” katanya sambil mengecup kening istrinya yang terus menangis itu.
“Jangan, bang. Aku mohon” tangis istrinya. Namun Sahrul tetap tidak menghiraukannya. Dia terus berlalu mengamati batu yang kira-kira bisa diloncatinya.
Begitu mendapatkan batu yang bisa diloncatinya, Sahrul pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera saja dengan beberapa  loncatan dia sudah sampai di sebuah batu besar tempat dulu dia mandi disana. Alangkah terkejutnya Sahrul ketika dilihatnya ternyata ada handuk dan pakaian yang diingatnya dulu pernah dipakainya tergeletak di batu besar itu.
“Kenapa pakaian ini ada disini? Apakah ada orang lain yang telah memakai pakaianku ini?” pikirnya. Dicobanya untuk mengarahkan pandangannya ke bagian lain sambil mengingat-ingat kejadian yang dulu pernah dilaluinya dulu.
“Itu... itu juga kaleng sabun yaang selalu aku pakai dulu” katanya lagi seakan berkata pada dirinya sendiri. Yakin kalau pakaian, handuk dan kaleng tempat sabun itu adalah miliknya, diraihnya pakaian dan handuk itu. Apalagi dilihatnya disekeliling itu tak ada satu orangpun yang tengah mandi yang berarti memang tidak ada pemilik lain dari baju handuk dan sabun itu selain dirinya sendiri.
Lagi-lagi Sahrul terkejut ketika tangannya menyentuh pakaian dan handuk itu, secara tiba-tiba pakaian yang tengah melekat ditubuhnya hilang tanpa bekas. Hanya celana dalam yang tersisa pada tubuhnya. Segera saja diraihnya handuk dan dililitkannya pada tubuh bagian bawahnya. Sementara matanya terus menerus menyapu lingkungan sekeliling itu untuk melihat kalau-kalau ada orang lain yang melihat dia dalam keadaan telanjang seperti itu. Namun jangankan orang lain, Rantipun sudah tak tampak lagi diseberang sungai yang jaraknya tak terlalu jauh itu.
Segera saja dikenakannya pakaiannya dan diraihnya kaleng sabun itu untuk kemudian segera berlalu dari sungai itu. Sekali lagi dipalingkannya pandangan ke seberang sungai untuk melihat istrinya yang tadi ditinggalkannya. Namun tak terlihat Ranti diseberang sungai itu.
“Ranti... nanti aku kembali lagi. Kamu tunggu saja dirumah” teriaknya.
Dijalan menuju rumah yang sudah puluhan tahun ditinggalkannya itu Sahrul terus menerus memikirkan betapa malunya nanti kalau dia harus bertemu Siti, istri yang sudah sangat lama ditinggalkannya tanpa kepastian dan tanggungjawab.
“Apakah dia masih hidup? Apakah dia sudah menikah lagi? Dengan siapa ya dia menikah sekarang?” tanya hatinya. Sementara secara lambat laun semua kenangan di kampungnya itu kembali pulih. Bahkan dia tidak ragu-ragu lagi menentukan jalan pulang ketika jalan di pematang sawah yang dilaluinya itu bercabang.
Tak jauh dari tempatnya berjalan terlihat seorang petani kampung yang tengah menyiangi sawahnya. Tak ada jalan lain, Sahrul harus melewati jalan itu dan harus berpapasan dengan orang yang sedang menyiangi sawah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar