Sabtu, 10 Februari 2018

Penganten Rang Bunian (Part 65)



“Apa yang akan aku sampaikan kepada orang itu seandainya dia bertanya padaku, ya?” pikir hatinya. Namun terus saja dilaluinya jalan itu lambat laun dikenalinya orang yang sedang menyiangi rumput disawahnya itu. Rupanya Bapak itu adalah Pak Ilyas pemilik sawah yang dilaluinya itu. Dilihat dari perawakan dan raut wajah Pak Ilyas tidak tampak penuaan. Bahkan orang tua itu masih seperti dulu juga. Tegar.
Tampak Pak Ilyas berhenti menyiangi sawahnya ketika Sahrul hendak lewat di depannya. Dengan dada berdebar Sahrul melewati jalan itu.

“Permisi, Pak Ilyas” sapanya berusaha senyum seramah mungkin. Dia ragu kalau Pak Ilyas itu masih ingat padanya yang sudah puluhan tahun meninggalkan kampung itu.
“Memang kalau penganten baru itu mandinya selalu lama. Apa merasa masih kurang bersih, ya?” goda Pak Ilyas.
“Ah.. Bapak ini bisa saja” jawab Sahrul yang tersipu mendengar sindiran orang kampungnya itu. Entah apa maksud Pak Ilyas menyebut dirinya penganten baru itu. Dengan senyum yang dibuatnya seramah mungkin ditinggalkannya Pak Ilyas yang kembali melanjutkan pekerjaannya. Aneh memang, ternyata orang tua itu masih juga tegar. Padahal sudah puuhan tahun dia meninggakan kampung itu, tapi Pak Ilyas masih juga ingat pada dia.
“Atau jangan-jangan Pak Ilyas itu salah orang. Masa aku dipanggilnya penganten baru. Sama seperti dulu aku pergi mandi dia juga menggodaku yang waktu itu memang masih penganten baru” pikirnya.
Memang bisa jadi Pak Ilyas yang sudah tua itu salah dalam memandang orang tapi rasa-rasanya, tegur sapa dan godaan yang dilontarkannya tadi sama saja dengan apa yang disampaikannya pada Sahrul puluhan tahun lalu ketika Sahrul akan mandi ke sungai itu.
Tak lama memikirkan sapaan Pak Ilyas tadi, kembali Sahrul memikirkan bagaimana nasib istrinya kini. Apakah dia masih hidup dan tinggal dikampung itu? Atau apakah dia sudah menikah lagi dan dibawa pergi oleh suaminya merantau ke tempat lain.
“Kenapa aku tak bertanya pada Pak Ilyas tadi, ya? Tentu dia tahu dimana saat ini Siti berada. Apakah masih dikampung ini atau tidak?” sesalnya. Padahal kalau tadi dia bertanya kepada Pak Ilyas tentu orang tua itu tahu khabar dan keberadaan istrinya saat ini.
Memasuki jalan lintas di kampung itu, hati Sahrul semakin berdebar saja. Betapa tidak lambat laun dia kembali ingat dengan jalan yang saat ini dilewatinya. Ternyata jalan ini masih sama seperti dahulu ketika dia melewatinya. Tidak satu perubahanpun yang terjadi. Namun hatinya tetap yakin telah terjadi sesuatu di kampung itu yang membuat tidak banyaknya perubahan yang terjadi. Alangkah berdosanya dia meninggalkan kampung Lubuk Pisang begitu saja selama puluhan tahun. Tanpa khabar berita kepada istrinya dan keluarganya. Sahrul yang selama ini telah merantau sebenarnya masih merasa beruntung karena baru-baru ini saja ingatannya pulih akan keberadaan kampung halaman dan keluarga yang dimilikinya. Kalau saja dia tidak ingat akan masa lalunya tentu dia tidak akan sampai di kampung ini.
“Syukurlah. Istriku Ranti mau mengerti dan melepas kepergianku ke kampung ini kalau tidak, entah bagaimana aku akan mengetahui khabar tentang kampung ini dan istriku disini. Entah dia masih hidup dikampung ini atau sudah dibawa oleh suaminya pindah keluar kampung. Entahlah. Yang jelas begitu aku bisa mencari keluargaku, akan aku bawa Ranti kesini dan memperkenalkannya dengan keluargaku disini” pikirnya.
Tak jauh dari jalan lintas kampung itu kembali hati Sahrul berdetak kencang. Betapa tidak, rumah mereka yang merupakan pemberian mertuanya kepada Siti sewaktu mereka baru saja menikah dahulu ternyata masih seperti dahulu. Tidak satupun yang berubah dari rumah itu. Lambat laun Sahrul ingat akan kondisi rumah itu ketika ditinggalkannya dulu. Memang benar kalau atap rumah itu dahulu sudah mulai dimakan karat. Sehingga untuk mempercantik penampilan rumah itu, mertua Sahrul menyuruh orang lain untuk mengecatnya sebelum Sahrul menjadi menantu dirumah itu. Tapi sekarang rumah itu masih dalam keadaan seperti sediakala. Tidak satupun perubahan yang terlihat dirumah itu.
“Ternyata Siti masih menjaganya seperti dahulu. Siapakan sebenarnya suami Siti sekarang yang mau merawat rumah itu seperti dahulu juga?” pikirnya lagi penuh tanda tanya.
Dengan hati penuh debaran tak menentu Sahrul memberanikan diri untuk masuk kedalam pekarangan rumah itu. Disapunya seluruh sudut rumah itu dengan matanya yang liar. Tidak nampak Siti atau siapapun penghuni rumah itu di luar rumah. Namun pintu masuk samping rumah masih terbuka. Kembali Sahrul melangkahkan kakinya untuk mendekati pintu itu. Perlahan diketuknya pintu samping itu sambil menunggu reaksi dari pemilik rumah. Diulanginya beberapa kali tidak ada jawaban. Namun dari balik kain jendela nampak berkelebat sebayangan tubuh wanita muda yang nampaknya akan segera berjalan kearah pintu itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar