Sahrul sendiri
sebenarnya tidak menyadari kalau selama ini apa yang dipikirkannya bisa dibaca
bahkan dikendalikan oleh istrinya. Dan sekarangpun dia tidak tahu kalau
istrinya kehilangan kemampuan untuk mengendalikan pikirannya. Yang dirasakannya
saat ini hanyalah kenyataan bahwa dia menjadi pria paling beruntung di desa itu
yang ditakdirkan harus melayani nafsu birahi empat orang wanita tercantik di
kampung itu. Tidak ada pikiran lain di benaknya menyangkut keberadaannya dan
kenapa dia yang dipilih. Bahkan Sahrul sendiri kalau mau berpikir tentang dari
mana semua ini berasal mungkin sudah tidak ingat lagi karena sudah puluhan
tahun dia di desa itu tugasnya hanyalah mengabdi. Pengabdian yang sangat
memabukkan sehingga dia tidak mau tahu dengan apa yang menjadi tujuan hidupnya
dan dari mana dia berasal. Yang ada dalam pikirannya sehari-hari hanyalah pola-pola
permainan masing-masing wanita yang selama ini ditidurinya.
Pikiran Sahrul mulai
terbuka justru pada saat dia pertama kali secara tak sengaja melihat ada jalan
yang akhirnya menjadi beban pikirannya setiap saat. Baru kali itulah dia
benar-benar memakai otak dan pikirannya untuk masalah lain selain seks.
Sejak pikirannya dipakai
untuk hal-hal lain itulah Sahrul mulai memiliki rasio bahwa kalau dia
menceritakan apa yang dilihatnya dan akan membuat istrinya marah sehingga dia
akhirnya tidak mempunyai kesempatan untuk menemukan jalan itu lagi. Menyadari
rasio seperti itu akhirnya dia memiiki rahasia sendiri yang tidak harus
diceritakannya kepada para wanita yang selama ini menjadikannya budak nafsu.
Tidak hanya itu,
akhir-akhir ini Sahrul juga sering berpikir kenapa istrinya begitu khawatir dan
seakan cemburu kalau dia bercerita tentang jalan yang pernah ditemukannya.
Padahal dia sendiri tidak tahu apa hubungannya dengan jalan itu dan kapan dia
pernah kenal dengan jalan itu. Hal itu pulalah yang membuat dia bertambah
penasaran untuk mengetahui keberadaan jalan itu. Apalagi malam tadi dilihatnya
untuk yang pertama kali kalau jalan itu sangat lebar dan datar. Dan baru kali
itu pula dilihatnya istri dan mertuanya
melakukan ritual semedi disana.
Ingat akan hal itu,
tanpa membuang waktu lagi Sahrul yang baru saja keluar dari gerbang istana
segera berlari menuju jalan dimaksud. Gembira sekali dia ketika mendapatkan
jalan itu sangat lebar dan terang sehingga dia tidak perlu lagi membersihkannya
seperti hari-hari sebelumnya. Tak sabar dia ingin melintasi jalan itu sampai ke
ujung jalan sekalipun.
Berjarak sepuluh meter
dari gerbang jalan, kekecewaan kembali terlihat diraut muka Sahrul. Betapa
tidak jalan yang baru semalam dilihatnya sangat besar ternyata siang itu seperti
halnya hari-hari kemarin masih tetap bersemak dan badan jalannyapun tidaklah
besar. Terpaksa dia kembali menerangi sebagian jalan dengan menguak-nguakkan
belukar yang merebah di badan jalan dengan tongkat kayu yang dicabutnya di
sekitar jalan itu.
“Benar-benar tak habis
pikir. Kenapa jalan ini begitu bagus malam tadi sedang sekarang sama saja
dengan hari-hari sebelumnya. Apakah semalam itu aku bermimpi?” pikirnya sendiri
seakan orang yang baru waras mulai bingung kembali begitu menghadapi kenyataan yang
berbeda dengan apa yang diharapkan.
Tak puas dengan
kenyataan pahit yang dialaminya itu, Sahrul berusaha untuk melakukan aktifitas
biasa tanpa harus melamunkannya berlarut-larut. Sebentar saja dia bekerja
diputuskannya untuk segera pulang agar
tidak menimbulkan kecurigaan istri dan mertuanya. Namun dalam hati dia masih
penasaran akan apa yang dialaminya semalam dan bertekad untuk mengulangi
pengintaiannya secara lebih cermat dan bila perlu malam itu juga dia akan
berusaha untuk mengikuti jalan itu sampai keujung.
Bahkan dalam hatinya
timbul niat untuk memergoki istrinya yang tengah semedi untuk kemudian akan
ditanyainya perihal jalan yang kata Ranti tidak pernah ada. Tujuan Sahrul
memergoki istrinya itu tak lain hanya untuk menanyakan maksud istrinya yang
mengatakan jalan itu tak pernah ada.
Dirumah, sebagaimana
hari-hari biasa Sahrul disambut istrinya dengan mesra dan disuguhi aktifitas
seks sebagaimana hari-hari biasanya. Tidak ada tanda-tanda kalau istrinya itu
menyimpan rahasia besar yang sebenarnya sudah diketahui Sahrul walaupun
sedikit. Dibenak Sahrul saat ini hanya tahu kalau istrinya itu menghadapi masalah
besar yang menghimpitnya. Sama sekali Sahrul tidak tahu kalau masalah yang
dihadapinya itu adalah karena pikiran Sahrul yang selalu tertuju ke jalan itu.
Hanya saja yang membuat Sahrul merasa tak enak dan ingin menanyakan kepada
istrinya adalah ikhwal jalan yang dulu pernah ditemukannya dan kemudian hilang.
Dan sekarang jalan itu sudah ditemukannya kembali. Anehnya jalan yang sangat
sempit dan dipenuhi belukar itu ketika malam hari dia mengikuti istrinya
terlihat sangat bagus dan datar, tidak terjal seperti siang harinya. Dan lagi
kenapa selama ini istrinya selalu mengatakan kalau jalan itu tidak pernah ada,
sementara dia beserta ayahnya justru hampir tiap malam berkunjung ke jalan itu
dan melakukan ritual semedi.
“Atau jangan-jangan
jalan itu adalah tempat suci keluarga istriku yang tidak boleh aku injak”
pikirnya positif dan tidak curiga akan tingkah istri dan mertuanya sendiri.
“Tapi kalau itu tempat
suci mereka, kenapa Ratih tidak pernah kesana? Justru dia dirumah saja menunggu
kesempatan dapat bermain gila denganku?” pikirnya lagi. Tidak satu jawabanpun
yang didapatkannya dari perkiraan-perkiraan sendiri itu tanpa menanyakan langsung
kepada Ranti. Namun apakah tepat kalau hal itu ditanyakannya pada Ranti. Jelas
hal itu ada sangkut pautnya dengan jalan yang pernah ditemukannya dan kemudian
hilang. Bisa jadi jalan itu memang sengaja dihilangkan oleh istri dan mertuaku,
pikirnya mulai curiga. Namun untuk menanyakan langsung tentu dia tidak cukup
punya bukti sehingga dengan menekan perasaan ingin tahunya dia berusaha untuk
bersabar sampai dia benar-benar mengetahui segalanya.
Sudah beberapa hari
ini istrinya tidak pergi kejalan itu lagi. Entah masalah yang sedang
dihadapinya sudah selesai atau bagaimana. Sedang jalan yang dilihat dan
dikunjungi Sahrul setiap pulang dari istana semakin hari semakin bersih saja di
buat Sahrul.
“Kenapa tidak pergi
lagi ke kampung seberang? Apa masalah keluargamu disana sudah selesai?” tanya
Sahrul ketika mereka baru saja selesai menikmati kebahagiaan perkawinan mereka.
“Belum selesai memang.
Tapi aku mendapat teguran dari Sang Ratu karena terlalu sering meninggalkan
abang”
“Teguran dari Sang Ratu?
Kapan itu?”
“Seminggu yang lalu
ayah dipanggil Sang Ratu untuk menghadap. Dan beliau menyampaikan teguran itu
melalui ayahku”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar