Rabu, 03 Juni 2015

Penganten Rang Bunian (Part 36)



Sahrul sendiri sebenarnya tidak menyadari kalau selama ini apa yang dipikirkannya bisa dibaca bahkan dikendalikan oleh istrinya. Dan sekarangpun dia tidak tahu kalau istrinya kehilangan kemampuan untuk mengendalikan pikirannya. Yang dirasakannya saat ini hanyalah kenyataan bahwa dia menjadi pria paling beruntung di desa itu yang ditakdirkan harus melayani nafsu birahi empat orang wanita tercantik di kampung itu. Tidak ada pikiran lain di benaknya menyangkut keberadaannya dan kenapa dia yang dipilih. Bahkan Sahrul sendiri kalau mau berpikir tentang dari mana semua ini berasal mungkin sudah tidak ingat lagi karena sudah puluhan tahun dia di desa itu tugasnya hanyalah mengabdi. Pengabdian yang sangat memabukkan sehingga dia tidak mau tahu dengan apa yang menjadi tujuan hidupnya dan dari mana dia berasal. Yang ada dalam pikirannya sehari-hari hanyalah pola-pola permainan masing-masing wanita yang selama ini ditidurinya.
Pikiran Sahrul mulai terbuka justru pada saat dia pertama kali secara tak sengaja melihat ada jalan yang akhirnya menjadi beban pikirannya setiap saat. Baru kali itulah dia benar-benar memakai otak dan pikirannya untuk masalah lain selain seks.
Sejak pikirannya dipakai untuk hal-hal lain itulah Sahrul mulai memiliki rasio bahwa kalau dia menceritakan apa yang dilihatnya dan akan membuat istrinya marah sehingga dia akhirnya tidak mempunyai kesempatan untuk menemukan jalan itu lagi. Menyadari rasio seperti itu akhirnya dia memiiki rahasia sendiri yang tidak harus diceritakannya kepada para wanita yang selama ini menjadikannya budak nafsu.
Tidak hanya itu, akhir-akhir ini Sahrul juga sering berpikir kenapa istrinya begitu khawatir dan seakan cemburu kalau dia bercerita tentang jalan yang pernah ditemukannya. Padahal dia sendiri tidak tahu apa hubungannya dengan jalan itu dan kapan dia pernah kenal dengan jalan itu. Hal itu pulalah yang membuat dia bertambah penasaran untuk mengetahui keberadaan jalan itu. Apalagi malam tadi dilihatnya untuk yang pertama kali kalau jalan itu sangat lebar dan datar. Dan baru kali itu pula  dilihatnya istri dan mertuanya melakukan ritual semedi disana.
Ingat akan hal itu, tanpa membuang waktu lagi Sahrul yang baru saja keluar dari gerbang istana segera berlari menuju jalan dimaksud. Gembira sekali dia ketika mendapatkan jalan itu sangat lebar dan terang sehingga dia tidak perlu lagi membersihkannya seperti hari-hari sebelumnya. Tak sabar dia ingin melintasi jalan itu sampai ke ujung jalan sekalipun.
Berjarak sepuluh meter dari gerbang jalan, kekecewaan kembali terlihat diraut muka Sahrul. Betapa tidak jalan yang baru semalam dilihatnya sangat besar ternyata siang itu seperti halnya hari-hari kemarin masih tetap bersemak dan badan jalannyapun tidaklah besar. Terpaksa dia kembali menerangi sebagian jalan dengan menguak-nguakkan belukar yang merebah di badan jalan dengan tongkat kayu yang dicabutnya di sekitar jalan itu.
“Benar-benar tak habis pikir. Kenapa jalan ini begitu bagus malam tadi sedang sekarang sama saja dengan hari-hari sebelumnya. Apakah semalam itu aku bermimpi?” pikirnya sendiri seakan orang yang baru waras mulai bingung kembali begitu menghadapi kenyataan yang berbeda dengan apa yang diharapkan.
Tak puas dengan kenyataan pahit yang dialaminya itu, Sahrul berusaha untuk melakukan aktifitas biasa tanpa harus melamunkannya berlarut-larut. Sebentar saja dia bekerja diputuskannya untuk segera pulang  agar tidak menimbulkan kecurigaan istri dan mertuanya. Namun dalam hati dia masih penasaran akan apa yang dialaminya semalam dan bertekad untuk mengulangi pengintaiannya secara lebih cermat dan bila perlu malam itu juga dia akan berusaha untuk mengikuti jalan itu sampai keujung.
Bahkan dalam hatinya timbul niat untuk memergoki istrinya yang tengah semedi untuk kemudian akan ditanyainya perihal jalan yang kata Ranti tidak pernah ada. Tujuan Sahrul memergoki istrinya itu tak lain hanya untuk menanyakan maksud istrinya yang mengatakan jalan itu tak pernah ada.
Dirumah, sebagaimana hari-hari biasa Sahrul disambut istrinya dengan mesra dan disuguhi aktifitas seks sebagaimana hari-hari biasanya. Tidak ada tanda-tanda kalau istrinya itu menyimpan rahasia besar yang sebenarnya sudah diketahui Sahrul walaupun sedikit. Dibenak Sahrul saat ini hanya tahu kalau istrinya itu menghadapi masalah besar yang menghimpitnya. Sama sekali Sahrul tidak tahu kalau masalah yang dihadapinya itu adalah karena pikiran Sahrul yang selalu tertuju ke jalan itu. Hanya saja yang membuat Sahrul merasa tak enak dan ingin menanyakan kepada istrinya adalah ikhwal jalan yang dulu pernah ditemukannya dan kemudian hilang. Dan sekarang jalan itu sudah ditemukannya kembali. Anehnya jalan yang sangat sempit dan dipenuhi belukar itu ketika malam hari dia mengikuti istrinya terlihat sangat bagus dan datar, tidak terjal seperti siang harinya. Dan lagi kenapa selama ini istrinya selalu mengatakan kalau jalan itu tidak pernah ada, sementara dia beserta ayahnya justru hampir tiap malam berkunjung ke jalan itu dan melakukan ritual semedi.
“Atau jangan-jangan jalan itu adalah tempat suci keluarga istriku yang tidak boleh aku injak” pikirnya positif dan tidak curiga akan tingkah istri dan mertuanya sendiri.
“Tapi kalau itu tempat suci mereka, kenapa Ratih tidak pernah kesana? Justru dia dirumah saja menunggu kesempatan dapat bermain gila denganku?” pikirnya lagi. Tidak satu jawabanpun yang didapatkannya dari perkiraan-perkiraan sendiri itu tanpa menanyakan langsung kepada Ranti. Namun apakah tepat kalau hal itu ditanyakannya pada Ranti. Jelas hal itu ada sangkut pautnya dengan jalan yang pernah ditemukannya dan kemudian hilang. Bisa jadi jalan itu memang sengaja dihilangkan oleh istri dan mertuaku, pikirnya mulai curiga. Namun untuk menanyakan langsung tentu dia tidak cukup punya bukti sehingga dengan menekan perasaan ingin tahunya dia berusaha untuk bersabar sampai dia benar-benar mengetahui segalanya.
Sudah beberapa hari ini istrinya tidak pergi kejalan itu lagi. Entah masalah yang sedang dihadapinya sudah selesai atau bagaimana. Sedang jalan yang dilihat dan dikunjungi Sahrul setiap pulang dari istana semakin hari semakin bersih saja di buat Sahrul.
“Kenapa tidak pergi lagi ke kampung seberang? Apa masalah keluargamu disana sudah selesai?” tanya Sahrul ketika mereka baru saja selesai menikmati kebahagiaan perkawinan mereka.
“Belum selesai memang. Tapi aku mendapat teguran dari Sang Ratu karena terlalu sering meninggalkan abang”
“Teguran dari Sang Ratu? Kapan itu?”
“Seminggu yang lalu ayah dipanggil Sang Ratu untuk menghadap. Dan beliau menyampaikan teguran itu melalui ayahku”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar