“Aku tidak merasa
terganggu kok? Aku tidak pernah menyampaikannya pada Sang Ratu atau Mayang. Kok
mereka tahu kamu sering ke kampung seberang dengan ayahmu?” tanya Sahrul
bingung. Tentu saja dia bingung. Takut kalau-kalau Ranti beranggapan teguran
itu atas pengaduan yang disampaikan Sahrul kepada Sang Ratu sambil bercumbu di
istana.
“Apa yang diketahui
Sang Ratu tidak perlu kita pertanyakan. Bukankah Sang Ratu tahu segala apa yang
terjadi di Lubuk Lungun ini. Bahkan apa yang ada didalam hati kita
masing-masing”
“Bisa jadi, ya”
“Memang begitu”
“Jadi... urusan
keluargamu dikampung seberang itu?”
“Sekali-kali aku akan
kesana juga kalau dirasa perlu betul”
“Aku tidak marah atau
kecewa, kok. Walaupun kamu sering ke kampung seberang. Jadi jangan terlalu
dipikirkan” bujuk Sahrul berusaha untuk menetralkan suasana. Dia tetap merasa
tidak enak kepergian istrinya itu terhalang karena dianggap terlalu sering
meninggalkan dirinya.
“Kok abang malah
menyuruh aku? Ada apa ini? Abang ketagihan ya sama permainan ibu? Sampai-sampai
abang betah ditinggal dirumah” goda Ranti.
Wajah Sahrul memerah
seketika mendapatkan godaan yang lebih bersifat menyindir dari istrinya itu.
“Bukan karena itu. Tapi
demi kepentingan kamu juga. Kalau memang ada urusan yang harus diselesaikan aku
tidak keberatan menunggu. Dan kalau kamu keberatan dengan pelayanan yang aku
berikan kepada ibumu, aku bisa menghentikannya”
“Ah.. bagi aku tidak
ada masalah abang bisa melayani ibuku. Bahkan aku sangat bangga abang bisa
berbakti juga kepada ibuku. Apalagi jatahku tidak kurang karenanya” katanya
sambil ketawa melihat godaannya membuat wajah suaminya itu memerah.
Kebahagiaan tampak
tercermin dari wajah cantik Ranti yang tidak pernah bosan-bosannya dipandangi
Sahrul. Sementara Sahrul sendiri juga sangat bahagia karena dia tahu istrinya
tidak marah atas pelayanan yang diberikannya pada mertuanya itu.
Siang itu, usai
melakukan pengabdian pada Sang Ratu dan
Mayang, Sahrul yang biasanya pulang sendiri sangat terkejut. Betapa tidak
ternyata di depan gerbang istana Ranti telah menunggu dirinya untuk pulang
bersama. Setahu Sahrul semenjak dia melakukan pengabdian kepad Sang Ratu dan
Mayang sejak pertama kali sampai hari ini, tidak pernah dia pulang ditunggui
istrinya di gerbang istana atau di jalan. Kaget bercampur bingung, dihampirinya
istrinya itu.
“Ada apa, Nti? Kenapa
menyusuk abang kesini? Apa ada hal penting dirumah yang membuat kamu harus
menyusul abang kesini?” tanyanya beruntun. Namun dilihatnya istrinya itu hanya
tenang-tenang saja.
“Ah.. tidak ada
apa-apa. Kebetulan tadi aku kerumah kerabat ibu di belakang istana. Lalu aku
ingat kalau jam-jam begini abang akan pulang dari istana. Jadi.. aku tunggu
saja abang sambil pulang bersama”
“Ohh.. abang kira ada
masalah dirumah. Kalau begitu ayolah kita pulang” ajaknya menggandeng istrinya
dan berlalu.
Diperjalanan sikap
Sahrul kepada istrinya biasa-biasa saja. Tidak nampak keberatannnya dijemput
oleh istrinya itu. Walaupun sebenarnya dia punya rencana untuk tidak langsung
pulang tapi akan singgah dulu dijalan itu untuk mengetahui kondisi jalan sambil
melihat apakah ada perkembangan perpanjangan jalan atau tidaknya. Namun
mendapatkan dirinya dijemput, terpaksa Sarul pura-pura tidak punya rencana lain
sehingga dia bersikap biasa-biasa saja.
Sebenarnya kedatangan
Ranti ke istana untuk menjemput Sarul bukanlah suatu kebetulan belaka. Justru dia
datang ke istana itu atas permintaan Sang Ratu agar dia juga mengawasi
gerak-gerik suaminya itu yang sepulang dari istana tidak langsung pulang tapi
malah pergi ke jalan itu untuk membersihkannya. Kalau hal itu dibiarkan terus,
kata Sang Ratu, jalan itu akan terbuka dengan sendirinya dan akan membuka
kenangan Sahrul bahwa jalan itu adalah pintu masuk dari kampungnya menuju
kampung Lubuk Lungun ini. Hal itu jelas tidak dikehendaki oleh Sang Ratu,
Mayang, Ratih dan Ranti sendiri karena keempat wanita cantik ini telah
mendapatkan kenikmatan dan keindahan hidup yang tak habis-habisnya dari Sahrul.
Untungnya usaha
mencegah Sahrul mengenang jalan itu belum terlambat karena Sahrul sendiri belum
memiliki bayangan apapun atas jalan itu yang menurut perasaannya memiliki
kenangan dengan dirinya namun entah apa dan kapan. Kalau saja Ranti mencegahnya
setelah Sahrul mengetahui sejarah keberadaannya sejak puluhan tahun yang lalu
di Lubuk Lungun, maka apapaun upaya yang ditempuh sangat sulit untuk menahan
Sahrul agar tidak kembali ke kampungnya. Pengalaman pahit ini pernah dialami
oleh Sang Ratu sewaktu suaminya yang telah menyelamatkan desa itu dari amukan
benda pusaka kerajaan yang tiba-tiba mengganas itu, akhirnya suaminya itu tidak
bisa dilarang tetap pergi meninggalkan Lubuk Lungun dan istrinya yang sangat
cantik, Sang Ratu Datuk Puti. Mengingat pahitnya kenangan itulah makanya Sang Ratu
sangat berkepentingan agar Sahrul tidak pergi dari kampung itu. Dan satu-satunya
yang dapat mencegah hanyalah Ranti dengan cara menguburkan kenangan masa
lalunya dan berusaha untuk menjaga agar tidak terlintas sedikitpun kenangan itu
dibenaknya. Untuk keperluan itulah maka Sang Ratu memanggil Ranti agar bisa
mengawasi gerak-gerik suaminya sewaktu dia pulang dari istana.
Sesampainya dirumah,
usai menikmati permainan dengan suaminya, Ranti memberi kesempatan Sahrul untuk
tidur. Sementara dia bergegas menemui ibunya di kamar. Untuk membicarakan pesan
yang dititahkan Sang Ratu kepada mereka sekeluarga.
“Apakah selama kami
pergi menutup jalan itu dengan ayah, Abang bertingkah yang mencurigakan, bu?”
tanyanya usai menceritakan pesan Sang Ratu itu.
”Tidak. Sebab begitu
kalian keluar rumah, ibu langsung mencarinya untuk memburu kenikmatan yang
rasanya tertunda terlalu lama”
“Setelah ibu
mendapatkan pelayanan dari Abang, apakah dia tidak keluar rumah untuk menyusul
kami misalnya?” Ranti masih penasaran dan takut kalau-kalau suaminya itu pergi
tanpa setahu ibunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar