Sabtu, 06 Juni 2015

Penganten Rang Bunian (Part 37)



“Aku tidak merasa terganggu kok? Aku tidak pernah menyampaikannya pada Sang Ratu atau Mayang. Kok mereka tahu kamu sering ke kampung seberang dengan ayahmu?” tanya Sahrul bingung. Tentu saja dia bingung. Takut kalau-kalau Ranti beranggapan teguran itu atas pengaduan yang disampaikan Sahrul kepada Sang Ratu sambil bercumbu di istana.
“Apa yang diketahui Sang Ratu tidak perlu kita pertanyakan. Bukankah Sang Ratu tahu segala apa yang terjadi di Lubuk Lungun ini. Bahkan apa yang ada didalam hati kita masing-masing”

“Bisa jadi, ya”
“Memang begitu”
“Jadi... urusan keluargamu dikampung seberang itu?”
“Sekali-kali aku akan kesana juga kalau dirasa perlu betul”
“Aku tidak marah atau kecewa, kok. Walaupun kamu sering ke kampung seberang. Jadi jangan terlalu dipikirkan” bujuk Sahrul berusaha untuk menetralkan suasana. Dia tetap merasa tidak enak kepergian istrinya itu terhalang karena dianggap terlalu sering meninggalkan dirinya.
“Kok abang malah menyuruh aku? Ada apa ini? Abang ketagihan ya sama permainan ibu? Sampai-sampai abang betah ditinggal dirumah” goda Ranti.
Wajah Sahrul memerah seketika mendapatkan godaan yang lebih bersifat menyindir dari istrinya itu.
“Bukan karena itu. Tapi demi kepentingan kamu juga. Kalau memang ada urusan yang harus diselesaikan aku tidak keberatan menunggu. Dan kalau kamu keberatan dengan pelayanan yang aku berikan kepada ibumu, aku bisa menghentikannya”
“Ah.. bagi aku tidak ada masalah abang bisa melayani ibuku. Bahkan aku sangat bangga abang bisa berbakti juga kepada ibuku. Apalagi jatahku tidak kurang karenanya” katanya sambil ketawa melihat godaannya membuat wajah suaminya itu memerah.
Kebahagiaan tampak tercermin dari wajah cantik Ranti yang tidak pernah bosan-bosannya dipandangi Sahrul. Sementara Sahrul sendiri juga sangat bahagia karena dia tahu istrinya tidak marah atas pelayanan yang diberikannya pada mertuanya itu.
Siang itu, usai melakukan pengabdian pada  Sang Ratu dan Mayang, Sahrul yang biasanya pulang sendiri sangat terkejut. Betapa tidak ternyata di depan gerbang istana Ranti telah menunggu dirinya untuk pulang bersama. Setahu Sahrul semenjak dia melakukan pengabdian kepad Sang Ratu dan Mayang sejak pertama kali sampai hari ini, tidak pernah dia pulang ditunggui istrinya di gerbang istana atau di jalan. Kaget bercampur bingung, dihampirinya istrinya itu.
“Ada apa, Nti? Kenapa menyusuk abang kesini? Apa ada hal penting dirumah yang membuat kamu harus menyusul abang kesini?” tanyanya beruntun. Namun dilihatnya istrinya itu hanya tenang-tenang saja.
“Ah.. tidak ada apa-apa. Kebetulan tadi aku kerumah kerabat ibu di belakang istana. Lalu aku ingat kalau jam-jam begini abang akan pulang dari istana. Jadi.. aku tunggu saja abang sambil pulang bersama”
“Ohh.. abang kira ada masalah dirumah. Kalau begitu ayolah kita pulang” ajaknya menggandeng istrinya dan berlalu.
Diperjalanan sikap Sahrul kepada istrinya biasa-biasa saja. Tidak nampak keberatannnya dijemput oleh istrinya itu. Walaupun sebenarnya dia punya rencana untuk tidak langsung pulang tapi akan singgah dulu dijalan itu untuk mengetahui kondisi jalan sambil melihat apakah ada perkembangan perpanjangan jalan atau tidaknya. Namun mendapatkan dirinya dijemput, terpaksa Sarul pura-pura tidak punya rencana lain sehingga dia bersikap biasa-biasa saja.
Sebenarnya kedatangan Ranti ke istana untuk menjemput Sarul bukanlah suatu kebetulan belaka. Justru dia datang ke istana itu atas permintaan Sang Ratu agar dia juga mengawasi gerak-gerik suaminya itu yang sepulang dari istana tidak langsung pulang tapi malah pergi ke jalan itu untuk membersihkannya. Kalau hal itu dibiarkan terus, kata Sang Ratu, jalan itu akan terbuka dengan sendirinya dan akan membuka kenangan Sahrul bahwa jalan itu adalah pintu masuk dari kampungnya menuju kampung Lubuk Lungun ini. Hal itu jelas tidak dikehendaki oleh Sang Ratu, Mayang, Ratih dan Ranti sendiri karena keempat wanita cantik ini telah mendapatkan kenikmatan dan keindahan hidup yang tak habis-habisnya dari Sahrul.
Untungnya usaha mencegah Sahrul mengenang jalan itu belum terlambat karena Sahrul sendiri belum memiliki bayangan apapun atas jalan itu yang menurut perasaannya memiliki kenangan dengan dirinya namun entah apa dan kapan. Kalau saja Ranti mencegahnya setelah Sahrul mengetahui sejarah keberadaannya sejak puluhan tahun yang lalu di Lubuk Lungun, maka apapaun upaya yang ditempuh sangat sulit untuk menahan Sahrul agar tidak kembali ke kampungnya. Pengalaman pahit ini pernah dialami oleh Sang Ratu sewaktu suaminya yang telah menyelamatkan desa itu dari amukan benda pusaka kerajaan yang tiba-tiba mengganas itu, akhirnya suaminya itu tidak bisa dilarang tetap pergi meninggalkan Lubuk Lungun dan istrinya yang sangat cantik, Sang Ratu Datuk Puti. Mengingat pahitnya kenangan itulah makanya Sang Ratu sangat berkepentingan agar Sahrul tidak pergi dari kampung itu. Dan satu-satunya yang dapat mencegah hanyalah Ranti dengan cara menguburkan kenangan masa lalunya dan berusaha untuk menjaga agar tidak terlintas sedikitpun kenangan itu dibenaknya. Untuk keperluan itulah maka Sang Ratu memanggil Ranti agar bisa mengawasi gerak-gerik suaminya sewaktu dia pulang dari istana.
Sesampainya dirumah, usai menikmati permainan dengan suaminya, Ranti memberi kesempatan Sahrul untuk tidur. Sementara dia bergegas menemui ibunya di kamar. Untuk membicarakan pesan yang dititahkan Sang Ratu kepada mereka sekeluarga.
“Apakah selama kami pergi menutup jalan itu dengan ayah, Abang bertingkah yang mencurigakan, bu?” tanyanya usai menceritakan pesan Sang Ratu itu.
”Tidak. Sebab begitu kalian keluar rumah, ibu langsung mencarinya untuk memburu kenikmatan yang rasanya tertunda terlalu lama”
“Setelah ibu mendapatkan pelayanan dari Abang, apakah dia tidak keluar rumah untuk menyusul kami misalnya?” Ranti masih penasaran dan takut kalau-kalau suaminya itu pergi tanpa setahu ibunya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar