Senin, 03 Agustus 2015

Penganten Rang Bunian (Part 42)



Begitu dapat menguasai dirinya, Sahrul mengendap-endap meninggalkan tempat itu. Tak diduganya kalau malam ini tujuannya yang tulus untuk membantu istri dan mertuanya ternyata harus berubah seiring perkembangan pengetahuannya akan maksud kedua orang itu yang sama sekali tak dimengerti olehnya. Dengan berjalan gontai Sahrul terus memikirkan ucapan-ucapan Ranti dan Bandri tadi.
“Kekuatan pikiran? Ingatan? Jalan masuk? Kampung halaman? Apa ini?” tanyanya tak habis pikir.

Dicobanya untuk mengkait-kaitkan semua pertanyaan itu dengan keberadaan jalan yang menurutnya pernah dilaluinya bersama istrinya itu.
Pikirannya semakin diarahkannya pada kata-kata jalan masuk dan kampung halaman. Sampai kakinya tanpa terasa sampai dirumah, masih belum ada sedikitpun gambaran yang didapatnya tentang jalan masuk dan kampung halamannya. Apalagi dilihatnya Ratih masih tergolek seperti waktu dia meninggalkan rumah tadi. Tetap tanpa busana dan terlihat lelah dan berkeringat.
Tak ingin mengganggu Ratih, Sahrul duduk diruang tamu sambil pikirannya terus menerawang pada pembicaraan antara Ranti dan Bandri di jalan tadi.
Lelah memikirkan jalan masuk dan kampung halaman yang tadi didengarnya, tanpa terasa matanya menutup untuk kemudian tertidur dikursi ruang tamu itu.
Menjelang pagi, Sahrul yang baru tertidur itu dibangunkan Ratih.
“Kenapa tidur disini, sayang? Kapan kamu pindah kesini?” tanya Ratih heran. Sebab tadi malam sebelum tidur masih dilihatnya Sahrul tergolek disampingnya.
“Tadi malam aku masih sangat ingin menikmati permainan gilamu. Tapi karena kamu sangat lelah maka aku mengalah. Tapi mata dan libidoku tidak mau tertidur sehingga aku duduk-duduk disini. Tak tahunya malah ketiduran” katanya berbohong. Sahrul takut Ratih mencurigainya. Kalau saja Ratih tahu Sahrul telah mengalami perjalanan yang membingungkan semalam, tentu dia akan marah dan menceritakannya pada Ranti atau Bandri. Namun agaknya apa yang disampaikan Sahrul barusan dapat diterima Ratih. Dengan manja dia menghempaskan tubuhnya dalam pangkuan Sahrul.
“Kalau memang kamu sangat ingin menikmatinya, kenapa tidak kamu bangunkan saja aku? Aku masih bersedia melayani kamu. Walaupun aku sendiri juga lelah” bujuknya.
“Sebaiknya kita mandi dan sarapan dulu. Baru setelah itu kita mulai lagi” katanya mengelak. Bagaimanapun Sahrul yang baru saja tertidur setelah bekerja keras semalam tentu akan kesulitan meladeni hasrat birahi mertuanya itu. Namun untuk mengatakan yang sebenarnya, dia harus berpikir panjang.
Sore harinya Ranti dan Bandri sudah sampai dirumah. Tidak tampak sedikitpun kekecewaan diwajahnya. Justru kerinduan yang diperlihatkannya pada Sahrul. Seakan-akan dia memang baru saja dari rumah kerabatnya, bukan dimana tempat dia sedang berusaha menghapuskan sesuatu dari ingatan Sahrul. Sahrul sendiri mendapatkan reaksi birahi yang memuncak dari istrinya, berusaha pula untuk meladeninya seakan kerinduannya juga sudah menggunung. Kendati diakuinya bahwa dia juga sangat ingin segera mereguk kebahagiaan di ranjang dengan istrinya itu, namun Sahrul dalam hatinya tetap menyimpan pertanyan yang ingin sekali diajukannya kepada Ranti. Ingin sekali dia berteriak tentang maksud dari jalan masuk atau kampung halaman yang dibicarakan Ranti dengan Bandri di jalan itu. Namun karena dia sendiri belum tahu tentang apa yang dimaksudkan dengan semua perbincangan yang membingungkan itu, ditekannya keingintahuannya sedalam mungkin agar tidak terucap secara spontan. Kepada Bandripun Sahrul bersikap biasa saja seakan tidak terjadi sesuatu apapun dalam dirinya. Namun demikian baik Ranti maupun Bandri tetap berusaha mencari tahu kenapa Sahrul selalu memikirkan kepergian istrinya itu.
Usai menikmati permaianan panjang dengan suaminya, Ranti berusaha mencari tahu kegiatan Sahrul selama dia meninggalkannya.
“Abang sampai tak bisa tidur karena memikirkan kepergianmu. Apalagi abang hanya tahu dari ibu kalau kamu pergi kerumah kerabat di kampung seberang. Padahal kalau sewaktu kamu pergi ada abang, tentu abang ingin sekali mengantar kamu kesana”
“Kenapa abang pikirkan terus kepergianku? Bukankah aku pergi dengan ayah? Tidak ada satupun masalah yang perlu abang pikirkan” kata Ranti manja. “Memangnya apa saja yang abang pikirkan?” pancingnya lagi.
“Ya... yang abang pikirkan sedang apa kamu disana. Kapan kamu pulang”
“Abang terlalu berlebihan mengkhawatirkan aku” desahnya terharu. Dipeluknya suaminya itu dengan perasaan haru. Tanpa terasa benih-benih cinta semakin subur tumbuh di hatinya yang seharusnya tidak boleh terjadi sebagaimana yang diamanatkan Sang Ratu agar dia tetap mampu membaca pikiran dan mengendalikan suaminya.
Bandri sendiri juga menyelidiki aktifitas Sahrul selama mereka tinggalkan melalui Ratih. Namun tidak banyak yang diperolehnya dari Ratih karena memang yang diketahui Ratih hanya kisah dia dengan Sahrul yang hanya bercinta saja sepanjang hari sampai larut malam hingga mereka kelelahan dan tertidur. Tidak ada satupun hal yang mencurigakan bagi Ratih karena memang Sahrul tidak pernah lepas dari dekapannya semenitpun kecuali untuk istirahat. Tidak terbetik kecurigaan sedikitpun di hati Ratih kalau saat dia tertidur  pulas, Sahrul telah menyelinap keluar rumah untuk mengintip Ranti dan Bandri yang sedang melakukan semedi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar