“Keputusan Sang Ratu
untuk menjadikan Bang Sahrul sebagai warga tetap kampung kita dan menjadi kaum
kita. Dia pasti akan sangat gembira”
“Jangan, Ranti. Jangan
sekali-kali kamu mendahului pemberkatan yang akan diberikan Sang Ratu kepada
suamimu. Kalau sampai dia tahu akan diberi pemberkatan menjadi warga tetap
pasti dia akan bertanya-tanya statusnya selama ini. Hal ini akan memulihkan ingatannya
bahwa dia bukan kaum kita. Tentu dia akan bertanya dimana kampungnya yang
akhirnya akan membawa dia pada kesadaran bahwa dia punya kampung lain selain
disini”.
“Benar juga ya, Yah. Untung
ayah mengingatkanku. Kalau saja aku menyampaikan berita gembira ini sebelum
Sang Ratu memberkatinya, bisa-bisa aku justru akan kehilangan dia
selama-lamanya sebelum pemberkatan di bulan punama dilakukan” jawab Ranti
seakan baru menyadari kekeliruan yang hampir saja diperbuatnya yang dapat
berakibat fatal bagi kehidupannya selanjutnya.
“Justru kita harus
berusaha agar Sahrul tidak menyadari sama sekali apa yang akan kita lakukan
kepadanya. Apalagi kita selama tujuh malam harus melakukan semedi untuk menutup
jalan itu semampu kita sampai purnama penuh agar pemberkatan yang akan
dilakukan Sang Ratu lebih mudah dilakukan”.
“Ranti sanggup, Yah. Dan
Ranti juga mohon bantuan ayah agar keinginan Ranti untuk menjadikan Bang Sahrul
sebagai suami Ranti selama-lamanya dapat terwujud” pintanya yang diamini
ayahnya dengan membelai lembut rambut anak kesayangannya itu.
Lama Ranti termenung,
tanpa disadarinya Sahrul sudah keluar dari kediaman Mayang yang diantar oleh
Mayang sampai di depan pintunya. Ranti hanya melihat betapa bahagianya Mayang
setelah memperoleh kenikmatan dari suaminya. Tentu hal itu tidak akan lama lagi
segera berakhir setelah Sang Ratu memberkati Sahrul, pikir Ranti.
Entah kebahagiaan apa yang
dirasakannya begitu menyadari kalau Mayang maupun ibunya tidak akan mendapatkan
lagi kehangatan dari tubuh suaminya atau rasa kasihan karena hanya dia sendiri
yang beruntung.
Disambutnya kedatangan
suaminya dengan senyum manja. Sahrul sendiri sudah menduga kalau dia pasti akan
dijemput oleh istri atau mertuanya. Sebab sejak dia selalu membersihkan jalan
itu dia selalu dijemput oleh anggota keluarga istrinya secara bergantian
sehingga dia merasa sudah terbiasa. Hanya saja dia tidak menyangka kalau kali
ini yang menjemputnya justru istri dan mertuanya yang merupakan pasangan semedi
yang saat ini masih menjadi tanda tanya besar dibenak Sahrul.
“Kok bahagia sekali
nampaknya? Ada apa, Sayang?” tanyanya sembari mengecup bibir istrinya dihadapan
mertuanya sendiri.
“Tentu saja aku bahagia
bisa pulang sama abang” jawabnya manja dengan geliatan genit yang tak pernah
ditinggalkannya dalam berbincang dengan suaminya itu.
“Dari mana tadi?”
“Kami baru saja
dipanggil Sang Ratu” kali ini Bandri yang menjawab. Jawaban Bandri ini tentu
saja sudah diperkirakan Sahrul karena dia sudah mendengar rencana kedua anak
beranak itu untuk menghadap kepada Sang Ratu guna melaporkan tingkahnya
sekaligus meminta bantuan Sang Ratu untuk menutup jalan itu dari pikiran Sahrul.
“Ada apa? Kok dipanggil
yang mulia?” tanyanya dengan mimik wajah bertanya-tanya.
“Yang Mulia ingin
mengadakan upacara ritual. Beliau memerintahkan kita untuk mempersiapkannya”
jawab Ranti.
“Upacara apa itu? Nampaknya
akan sangat menyibukkan bagi kita”
“Hanya pesta ritual
biasa yang dulu pernah dilakukan secara rutin. Namun sekarang sudah sangat
jarang dilakukan oleh yang mulia Sang Ratu” Ranti berusaha menutupi keterlanjurannya
mengatakan rencana pemberkatan tadi.
“Kita harus membantu
keinginan Yang Mulia sebagai wujud sembah bakti kita” jawab Bandri.
“Aku juga akan
membantu semampuku” jawab Sahrul.
Ketiga insan itu
akhirnya dengan langkah ringan berlalu menuju rumah mereka. Tak terlihat ada
perasaan curiga satu sama lain diantara mereka. Namun masing-masing pihak punya
pikiran sendiri-sendiri yang sangat bertolak belakang karena rencana apapun
yang sedang disusun Bandri dan Ranti bagi Sahrul pasti ada kaitannya dengan dirinya
sehingga meski tidak dinampakkan namun dia berusaha untuk waspada akan maksud
tersembunyi istri dan mertuanya itu.
Bulan purnama penuh
tinggal dua puluh hari lagi. Namun bagi Ranti waktu yang singkat itu sangat terasa
lama. Waktu seakan berjalan dengan sangat lambat sehingga untuk sampai di rumah
saja dia rasanya membutuhkan waktu berhari-hari. Tak bisa dibayangkannya kalau
untuk menerima Sahrul sebagai suaminya
seumur hidup dia harus menunggu dua puluh hari lagi. Hari-hari menunggu itu
nampaknya bagi Ranti akan sangat menyiksa bathinnya. Tak disadarinya kalau masa
menunggu itu bukanlah waktu kosong, namun harus diisi dengan kegiatan semedi
yang bertujuan untuk menutup jalan itu semampu mereka sehingga lebih memudahkan
Sang Ratu untuk melakukan pemberkatan
bagi pasangan berbahagia itu.
Sesampainya dirumah,
seperti biasa Ranti segera mengejar ketertinggalannya dalam menikmati
kehangatan permainan suaminya yang sudah dua hari ini melakukan pengabdian
kepada Sang Ratu dan Mayang di istana. Tanpa memberi kesempatan kepada suaminya
untuk beristirahat, Ranti sudah menarik tangan Sahrul menuju kamar untuk
kemudian dilucutinya pakaian suaminya itu satu persatu dengan nafas memburu dan
gerakan tangan yang tetap nakal mencoba meraih sesuatu milik Sahrul yang belum
sempat terbuka.
Sementara Ranti membuai
suaminya dengan permaian hangat yang lebih mesra dan menggebu dari biasanya
karena kabar gembira yang didapatnya dari keputusan Sang Ratu tadi, Bandri justru
mencari istrinya untuk menyampaikan sesuatu yang sangat penting sehubungan
dengan keputusan Sang Ratu.
Ratih yang menyaksikan
anak dan menantunya baru saja masuk kamar agaknya tidak menggubris ajakan
Bandri untuk berbicara diluar.
“Tunggu sebentar. Jangan
sampai kita melewatkan permainan ini” katanya tak peduli.
Diraihnya tangan
suaminya dan ditariknya untuk mengikuti langkahnya menuju dinding yang
memisahkan kamar mereka dengan kamar anaknya. Dua buah lubang yang cukup besar
dan tersembunyi sudah tersedia di dinding itu. Tanpa menunggu aba-aba dari
istrinya yang menyeretnya tadi, Bandri berusaha menempelkan sebelah matanya
sebagaimana yang dilakukan Ratih. Sebuah pemandangan indah tak terlukiskan tengah mereka saksikan di kamar Ranti. Keganasan
Sahrul dalam meladeni istrinya membuat Ratih dan Bandri beberapa kali menelan
ludah tak tahan menyaksikannya. Apalagi dilihatnya Sahrul dan Ranti tengah
berusaha mencapai puncak kenikmatan mereka masing-masing dengan caranya
sendiri-sendiri. Tanpa mempedulikan pasangannya kedua insan itu berusaha agar
bisa mencapai puncak kenikmatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar