Kamis, 06 Agustus 2015

Penganten Rang Bunian (Part 44)



“Keputusan Sang Ratu untuk menjadikan Bang Sahrul sebagai warga tetap kampung kita dan menjadi kaum kita. Dia pasti akan sangat gembira”
“Jangan, Ranti. Jangan sekali-kali kamu mendahului pemberkatan yang akan diberikan Sang Ratu kepada suamimu. Kalau sampai dia tahu akan diberi pemberkatan menjadi warga tetap pasti dia akan bertanya-tanya statusnya selama ini. Hal ini akan memulihkan ingatannya bahwa dia bukan kaum kita. Tentu dia akan bertanya dimana kampungnya yang akhirnya akan membawa dia pada kesadaran bahwa dia punya kampung lain selain disini”.
“Benar juga ya, Yah. Untung ayah mengingatkanku. Kalau saja aku menyampaikan berita gembira ini sebelum Sang Ratu memberkatinya, bisa-bisa aku justru akan kehilangan dia selama-lamanya sebelum pemberkatan di bulan punama dilakukan” jawab Ranti seakan baru menyadari kekeliruan yang hampir saja diperbuatnya yang dapat berakibat fatal bagi kehidupannya selanjutnya.

“Justru kita harus berusaha agar Sahrul tidak menyadari sama sekali apa yang akan kita lakukan kepadanya. Apalagi kita selama tujuh malam harus melakukan semedi untuk menutup jalan itu semampu kita sampai purnama penuh agar pemberkatan yang akan dilakukan Sang Ratu lebih mudah dilakukan”.
“Ranti sanggup, Yah. Dan Ranti juga mohon bantuan ayah agar keinginan Ranti untuk menjadikan Bang Sahrul sebagai suami Ranti selama-lamanya dapat terwujud” pintanya yang diamini ayahnya dengan membelai lembut rambut anak kesayangannya itu.
Lama Ranti termenung, tanpa disadarinya Sahrul sudah keluar dari kediaman Mayang yang diantar oleh Mayang sampai di depan pintunya. Ranti hanya melihat betapa bahagianya Mayang setelah memperoleh kenikmatan dari suaminya. Tentu hal itu tidak akan lama lagi segera berakhir setelah Sang Ratu memberkati Sahrul, pikir Ranti.
Entah kebahagiaan apa yang dirasakannya begitu menyadari kalau Mayang maupun ibunya tidak akan mendapatkan lagi kehangatan dari tubuh suaminya atau rasa kasihan karena hanya dia sendiri yang beruntung.
Disambutnya kedatangan suaminya dengan senyum manja. Sahrul sendiri sudah menduga kalau dia pasti akan dijemput oleh istri atau mertuanya. Sebab sejak dia selalu membersihkan jalan itu dia selalu dijemput oleh anggota keluarga istrinya secara bergantian sehingga dia merasa sudah terbiasa. Hanya saja dia tidak menyangka kalau kali ini yang menjemputnya justru istri dan mertuanya yang merupakan pasangan semedi yang saat ini masih menjadi tanda tanya besar dibenak Sahrul.
“Kok bahagia sekali nampaknya? Ada apa, Sayang?” tanyanya sembari mengecup bibir istrinya dihadapan mertuanya sendiri.
“Tentu saja aku bahagia bisa pulang sama abang” jawabnya manja dengan geliatan genit yang tak pernah ditinggalkannya dalam berbincang dengan suaminya itu.
“Dari mana tadi?”
“Kami baru saja dipanggil Sang Ratu” kali ini Bandri yang menjawab. Jawaban Bandri ini tentu saja sudah diperkirakan Sahrul karena dia sudah mendengar rencana kedua anak beranak itu untuk menghadap kepada Sang Ratu guna melaporkan tingkahnya sekaligus meminta bantuan Sang Ratu untuk menutup jalan itu dari pikiran Sahrul.
“Ada apa? Kok dipanggil yang mulia?” tanyanya dengan mimik wajah bertanya-tanya.
“Yang Mulia ingin mengadakan upacara ritual. Beliau memerintahkan kita untuk mempersiapkannya” jawab Ranti.
“Upacara apa itu? Nampaknya akan sangat menyibukkan bagi kita”
“Hanya pesta ritual biasa yang dulu pernah dilakukan secara rutin. Namun sekarang sudah sangat jarang dilakukan oleh yang mulia Sang Ratu” Ranti berusaha menutupi keterlanjurannya mengatakan rencana pemberkatan tadi.
“Kita harus membantu keinginan Yang Mulia sebagai wujud sembah bakti kita” jawab Bandri.
“Aku juga akan membantu semampuku” jawab Sahrul.
Ketiga insan itu akhirnya dengan langkah ringan berlalu menuju rumah mereka. Tak terlihat ada perasaan curiga satu sama lain diantara mereka. Namun masing-masing pihak punya pikiran sendiri-sendiri yang sangat bertolak belakang karena rencana apapun yang sedang disusun Bandri dan Ranti bagi Sahrul pasti ada kaitannya dengan dirinya sehingga meski tidak dinampakkan namun dia berusaha untuk waspada akan maksud tersembunyi istri dan mertuanya itu.
Bulan purnama penuh tinggal dua puluh hari lagi. Namun bagi Ranti waktu yang singkat itu sangat terasa lama. Waktu seakan berjalan dengan sangat lambat sehingga untuk sampai di rumah saja dia rasanya membutuhkan waktu berhari-hari. Tak bisa dibayangkannya kalau untuk menerima Sahrul  sebagai suaminya seumur hidup dia harus menunggu dua puluh hari lagi. Hari-hari menunggu itu nampaknya bagi Ranti akan sangat menyiksa bathinnya. Tak disadarinya kalau masa menunggu itu bukanlah waktu kosong, namun harus diisi dengan kegiatan semedi yang bertujuan untuk menutup jalan itu semampu mereka sehingga lebih memudahkan Sang Ratu  untuk melakukan pemberkatan bagi pasangan berbahagia itu. 


Sesampainya dirumah, seperti biasa Ranti segera mengejar ketertinggalannya dalam menikmati kehangatan permainan suaminya yang sudah dua hari ini melakukan pengabdian kepada Sang Ratu dan Mayang di istana. Tanpa memberi kesempatan kepada suaminya untuk beristirahat, Ranti sudah menarik tangan Sahrul menuju kamar untuk kemudian dilucutinya pakaian suaminya itu satu persatu dengan nafas memburu dan gerakan tangan yang tetap nakal mencoba meraih sesuatu milik Sahrul yang belum sempat terbuka.
Sementara Ranti membuai suaminya dengan permaian hangat yang lebih mesra dan menggebu dari biasanya karena kabar gembira yang didapatnya dari keputusan Sang Ratu tadi, Bandri justru mencari istrinya untuk menyampaikan sesuatu yang sangat penting sehubungan dengan keputusan Sang Ratu.
Ratih yang menyaksikan anak dan menantunya baru saja masuk kamar agaknya tidak menggubris ajakan Bandri untuk berbicara diluar.
“Tunggu sebentar. Jangan sampai kita melewatkan permainan ini” katanya tak peduli.
Diraihnya tangan suaminya dan ditariknya untuk mengikuti langkahnya menuju dinding yang memisahkan kamar mereka dengan kamar anaknya. Dua buah lubang yang cukup besar dan tersembunyi sudah tersedia di dinding itu. Tanpa menunggu aba-aba dari istrinya yang menyeretnya tadi, Bandri berusaha menempelkan sebelah matanya sebagaimana yang dilakukan Ratih. Sebuah pemandangan indah tak terlukiskan  tengah mereka saksikan di kamar Ranti. Keganasan Sahrul dalam meladeni istrinya membuat Ratih dan Bandri beberapa kali menelan ludah tak tahan menyaksikannya. Apalagi dilihatnya Sahrul dan Ranti tengah berusaha mencapai puncak kenikmatan mereka masing-masing dengan caranya sendiri-sendiri. Tanpa mempedulikan pasangannya kedua insan itu berusaha agar bisa mencapai puncak kenikmatan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar