“Tentu
kedua wanita agung ini merasa bersyukur setelah aku balik kesini. Dengan
demikian aku tidak boleh menunjukkan perubahan sikapku kepada kedua wanita yang
tengah bahagia ini. Biarlah aku tahan dulu keinginanku untuk segera pulang ke
kampungku di Lubuk Pisang” pikirnya.
Dalam
hatinya Sahrul berniat untuk tidak akan pernah menceritakan masalah ini kepada
kedua wanita ini maupun kepada Ranti dan Ratih. Biarlah rahasia ini kusimpan
sendiri sampai aku benar-benar mendapat kejelasan dari semua peristiwa ini,
pikirnya lagi.
Usai
melakukan pengabdian kepada Sang Ratu dan Mayang, sebagaimana biasa Sahrul
pulang kerumahnya. Namun anehnya kali ini tidak ada satupun orang yang
menjemputnya, baik itu Ranti, Ratih maupun Bandri sebagaimana hari-hari yang lalu
semenjak keinginannya yang kuat untuk membersihkan jalan itu menjadi masalah
serius bagi keluarga istrinya itu.
Tahu
dirinya tidak dijemput, Sahrul tidak lagi mampir di jalan masuk ke desanya itu
karena jalan itu sekarang sudah menjadi jalan yang sah karena telah diketahui
oleh masing-masing pihak. Tidak ingin dicurigai oleh keluarga istrinya, Sahrul
berusaha untuk berjalan sambil sesekali berlari kecil agar segera sampai di
rumah.
Sesampainya
di rumah, dilihatnya Ranti, Ratih dan Bandri tengah duduk di ruang tamu. Tidak
seperti biasanya, Sahrul yang setiap pulang dari istana selalu saja ditagih
untuk melayani nafsu birahi baik oleh Ranti maupun oleh Ratih, kali ini
kepulangannya nampaknya ditunggu oleh keluarga istrinya itu.
“Ada
apa ini? Ada pertemuan serius nampaknya” tanyanya sambil menghampiri istrinya
yang cantik itu.
“Ah...
tak ada apa-apa, Bang. Hanya berbincang-bincang sedikit saja. Kebetulan ibu mau
bicara dengan Abang” jawab Ranti dengan senyum manisnya yang sedari tadi sudah
mengembang begitu melihat Sahrul masuk rumah itu.
“Ada
apa, Bu?” tanyanya kepada ibu mertuanya itu. Kali ini dia tidak berani
memanggil nama kepada Ratih sebagaimana biasanya mereka bertegur sapa kalau
sedang berduaan.
“Ada
masalah yang perlu kita dudukkan menyangkut hubungan dirumah ini” jawab Ratih
yang membuat telinga Sahrul panas mendengarnya. Takut kalau-kalau hubungan yang
selama ini dijalankannya dengan Ratih
menjadi masalah dan menimbulkan kecurigaan dan kemarahan Bandri atau Ranti.
Dalam gugupnya Sahrul hanya diam menunggu apa yang disampaikan oleh Ratih.
Belum
juga Ratih menyampaikan apa yag menjadi masalah bagi dirinya itu, Bandri
tanpa aba-aba meninggalkan tempat itu.
Rasanya tidak mungkin bagi dia untuk ikut mendengar apa yang akan dibicarakan
istrinya dengan Sahrul. Kepergian Bandri keluar ruangan itu semakin membuat
Sahrul gugup dan dan merasa tengah diadili atas segala perbuatannya selama ini.
Kepergian Bandri keluar ruangan dianggap Sahrul sebagai bentuk
ketidaksenangannya kepada menantunya itu. Namun untuk menebak-nebak saja tak
akan membuahkan hasil, Sahrul hanya pasrah mendengarkan penjelasan menggantung
yang diberikan Ratih tadi. Sementara keringat ditubuhnya yang sedari tadi sudah
dipacu oleh gerakannya berlari-lari kecil dari istana semakin deras mengalir
membasahi pakaian yang sedang dikenakannya.
Dengan
gamblang tanpa beban Ratih menjelaskan maksud pembicaraannya kali ini
sebagaimana yang dituntutnya kepada Ranti. Dijelaskannya juga kalau hubungannya
dengan Sahrul selama ini atas persetujuan Bandri dan Ranti sehingga sangat
wajar kalau hubungan mereka selama ini dibuka secara terang-terangan didepan
anggota keluarga lainnya. Terutama dihadapan Ranti. Apalagi menurut penjelasan
Ratih itu, Ranti mengetahui apa-apa yang mereka kerjakan sehingga Sahrul yang
tadinya merasa malu telah tertangkap basah melalui pengakuan Ratih itu sempat
merasa malu dan hanya menunduk karena ada Ranti didepannya.
“Jadi
berdasarkan keputusan Sang Ratu, aku berhak mendapatkan kenikmatan itu” jelas
Ratih tanpa malu-malu lagi.
Sahrul
hanya terdiam. Dengan sudut matanya diliriknya Ranti yang tengah duduk
dihadapannya itu. Tidak ada reaksi sama sekali dari istrinya itu. Bahkan Ranti
terlihat begitu bahagia dan tidak menunjukkan emosi sedikitpun.
“Bagaimana,
Nti?” tanyanya memberanikan diri.
“Memang
Sang Ratu memberi kesempatan kepada Ibu dan Mayang untuk turut menikmati
pelayanan dari Abang. Asalkan Abang bahagia dan rela melakukannya untuk mereka,
saya tidak keberatan” jawab Ranti enteng.
Jawaban
Ranti itu membuat Sahrul dan Ratih merasa lega. Betapapun hubungan mereka yang
selama ini dilakukan di belakang Ranti sekarang sudah dapat mereka lakukan atas
sepengetahuan Ranti. Tinggal mengatur waktu yang pas, kapan Ranti mendapat
haknya selaku istri dan kapan pula waktunya Ratih memperoleh hakmya sesuai
dengan apa yang diputuskan oleh Sang Ratu.
Usai
ketiga orang itu melakukan pembicaraan, Bandri masuk rumah dan tanpa banyak
komentar mendengarkan apa hasil kesepakatan yang diambil tadi dari mulut Ratih.
Tidak ada keberatan atau nada emosional yang keluar dari sikap Bandri yang
membuat Sahrul selaku pihak yang diperebutkan merasa tidak enak.
Adanya pembicaraan yang terbuka dalam mengatur
jadwal pelayanan yang harus diberikan Sahrul kepada dua wanita anak beranak di
rumah itu membuat suasana rumah begitu meriah oleh gelak tawa kebahagiaan seisi
rumah. Alangkah beruntungnya Sahrul yang mendapat izin melakukan permainan
mengumbar birahi dengan dua orang sekaligus di rumah itu tanpa adanya perasaan
iri atau cemburu antara satu sama lainnya. Ibarat seorang suami yang memiliki
dua istri dan menyatukannya dalam rumah, Sahrul hidup rukun dengan kedua orang
yang menjadi tanggungjawabnya dalam hal pemuasan nafsu. Sedang Bandri sendiri
selaku suami dari Ratih kendati tidak mampu memberikan kepuasan rohani kepada
istrinya itu, namun dia tidak juga melarang atau menghalang-halangi istrinya
dalam mengumbar nafsu dengan lelaki lain yang notabene adalah menantunya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar