Senin, 20 Maret 2017

Penganten Rang Bunian (Part 55)



“Tentu kedua wanita agung ini merasa bersyukur setelah aku balik kesini. Dengan demikian aku tidak boleh menunjukkan perubahan sikapku kepada kedua wanita yang tengah bahagia ini. Biarlah aku tahan dulu keinginanku untuk segera pulang ke kampungku di Lubuk Pisang” pikirnya.
Dalam hatinya Sahrul berniat untuk tidak akan pernah menceritakan masalah ini kepada kedua wanita ini maupun kepada Ranti dan Ratih. Biarlah rahasia ini kusimpan sendiri sampai aku benar-benar mendapat kejelasan dari semua peristiwa ini, pikirnya lagi.

Usai melakukan pengabdian kepada Sang Ratu dan Mayang, sebagaimana biasa Sahrul pulang kerumahnya. Namun anehnya kali ini tidak ada satupun orang yang menjemputnya, baik itu Ranti, Ratih maupun Bandri sebagaimana hari-hari yang lalu semenjak keinginannya yang kuat untuk membersihkan jalan itu menjadi masalah serius bagi keluarga istrinya itu.
Tahu dirinya tidak dijemput, Sahrul tidak lagi mampir di jalan masuk ke desanya itu karena jalan itu sekarang sudah menjadi jalan yang sah karena telah diketahui oleh masing-masing pihak. Tidak ingin dicurigai oleh keluarga istrinya, Sahrul berusaha untuk berjalan sambil sesekali berlari kecil agar segera sampai di rumah.
Sesampainya di rumah, dilihatnya Ranti, Ratih dan Bandri tengah duduk di ruang tamu. Tidak seperti biasanya, Sahrul yang setiap pulang dari istana selalu saja ditagih untuk melayani nafsu birahi baik oleh Ranti maupun oleh Ratih, kali ini kepulangannya nampaknya ditunggu oleh keluarga istrinya itu.
“Ada apa ini? Ada pertemuan serius nampaknya” tanyanya sambil menghampiri istrinya yang cantik itu.
“Ah... tak ada apa-apa, Bang. Hanya berbincang-bincang sedikit saja. Kebetulan ibu mau bicara dengan Abang” jawab Ranti dengan senyum manisnya yang sedari tadi sudah mengembang begitu melihat Sahrul masuk rumah itu.
“Ada apa, Bu?” tanyanya kepada ibu mertuanya itu. Kali ini dia tidak berani memanggil nama kepada Ratih sebagaimana biasanya mereka bertegur sapa kalau sedang berduaan.
“Ada masalah yang perlu kita dudukkan menyangkut hubungan dirumah ini” jawab Ratih yang membuat telinga Sahrul panas mendengarnya. Takut kalau-kalau hubungan yang selama ini dijalankannya  dengan Ratih menjadi masalah dan menimbulkan kecurigaan dan kemarahan Bandri atau Ranti. Dalam gugupnya Sahrul hanya diam menunggu apa yang disampaikan oleh Ratih.
Belum juga Ratih menyampaikan apa yag menjadi masalah bagi dirinya itu, Bandri tanpa  aba-aba meninggalkan tempat itu. Rasanya tidak mungkin bagi dia untuk ikut mendengar apa yang akan dibicarakan istrinya dengan Sahrul. Kepergian Bandri keluar ruangan itu semakin membuat Sahrul gugup dan dan merasa tengah diadili atas segala perbuatannya selama ini. Kepergian Bandri keluar ruangan dianggap Sahrul sebagai bentuk ketidaksenangannya kepada menantunya itu. Namun untuk menebak-nebak saja tak akan membuahkan hasil, Sahrul hanya pasrah mendengarkan penjelasan menggantung yang diberikan Ratih tadi. Sementara keringat ditubuhnya yang sedari tadi sudah dipacu oleh gerakannya berlari-lari kecil dari istana semakin deras mengalir membasahi pakaian yang sedang dikenakannya.
Dengan gamblang tanpa beban Ratih menjelaskan maksud pembicaraannya kali ini sebagaimana yang dituntutnya kepada Ranti. Dijelaskannya juga kalau hubungannya dengan Sahrul selama ini atas persetujuan Bandri dan Ranti sehingga sangat wajar kalau hubungan mereka selama ini dibuka secara terang-terangan didepan anggota keluarga lainnya. Terutama dihadapan Ranti. Apalagi menurut penjelasan Ratih itu, Ranti mengetahui apa-apa yang mereka kerjakan sehingga Sahrul yang tadinya merasa malu telah tertangkap basah melalui pengakuan Ratih itu sempat merasa malu dan hanya menunduk karena ada Ranti didepannya.
“Jadi berdasarkan keputusan Sang Ratu, aku berhak mendapatkan kenikmatan itu” jelas Ratih tanpa malu-malu lagi.
Sahrul hanya terdiam. Dengan sudut matanya diliriknya Ranti yang tengah duduk dihadapannya itu. Tidak ada reaksi sama sekali dari istrinya itu. Bahkan Ranti terlihat begitu bahagia dan tidak menunjukkan emosi sedikitpun.
“Bagaimana, Nti?” tanyanya memberanikan diri.
“Memang Sang Ratu memberi kesempatan kepada Ibu dan Mayang untuk turut menikmati pelayanan dari Abang. Asalkan Abang bahagia dan rela melakukannya untuk mereka, saya tidak keberatan” jawab Ranti enteng.
Jawaban Ranti itu membuat Sahrul dan Ratih merasa lega. Betapapun hubungan mereka yang selama ini dilakukan di belakang Ranti sekarang sudah dapat mereka lakukan atas sepengetahuan Ranti. Tinggal mengatur waktu yang pas, kapan Ranti mendapat haknya selaku istri dan kapan pula waktunya Ratih memperoleh hakmya sesuai dengan apa yang diputuskan oleh Sang Ratu.
Usai ketiga orang itu melakukan pembicaraan, Bandri masuk rumah dan tanpa banyak komentar mendengarkan apa hasil kesepakatan yang diambil tadi dari mulut Ratih. Tidak ada keberatan atau nada emosional yang keluar dari sikap Bandri yang membuat Sahrul selaku pihak yang diperebutkan merasa tidak enak.
 Adanya pembicaraan yang terbuka dalam mengatur jadwal pelayanan yang harus diberikan Sahrul kepada dua wanita anak beranak di rumah itu membuat suasana rumah begitu meriah oleh gelak tawa kebahagiaan seisi rumah. Alangkah beruntungnya Sahrul yang mendapat izin melakukan permainan mengumbar birahi dengan dua orang sekaligus di rumah itu tanpa adanya perasaan iri atau cemburu antara satu sama lainnya. Ibarat seorang suami yang memiliki dua istri dan menyatukannya dalam rumah, Sahrul hidup rukun dengan kedua orang yang menjadi tanggungjawabnya dalam hal pemuasan nafsu. Sedang Bandri sendiri selaku suami dari Ratih kendati tidak mampu memberikan kepuasan rohani kepada istrinya itu, namun dia tidak juga melarang atau menghalang-halangi istrinya dalam mengumbar nafsu dengan lelaki lain yang notabene adalah menantunya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar