Sabtu, 25 Maret 2017

Penganten Rang Bunian (Part 59)



Berbagai kejanggalan yang dirasakannya membuat Sahrul semakin sadar akan perbedaan-perbedaan yang ada antara kehidupan dikampung halamannya dengan kampung Lubuk Lungun dimana sekarang dia hidup. Setiap perbedaan dan keganjilan yang dirasakan membuat dia semakin rindu untuk pulang ke kampung halamannya. Namun untuk mengungkapkannya kepada Ranti tidak mungkin bagi dia karena menurut keterangan yang diterimannya dari Ratih, kesempatan yang diberikan kepada Sahrul untuk tidak diberkati menjadi penganten yang abadi akan dicabut begitu Sahrul berkeinginan untuk pulang. Dalam kesehariannya Sahrul berusaha untuk tampil dan bersikap apa adanya. Tidak satupun  tingkah  lakunya  yang  membuat  Ranti,  Sang  Ratu
maupun Mayang curiga. Hanya kepada Ratih dia bisa bercerita akan perasaannya. Ratih sendiri dilihatnya tidak begitu mempermasalahkan pertanyaan-pertanyan Sahrul yang menjurus pada pengingatan akan kampung halamannya. Sebab kalau sikap Sahrul ini diceritakannya kepada Ranti mapun Sang Ratu tentu Sang Ratu akan mengambil tindakan pemberkatan kepada Sahrul sehingga dia akan dijadikan suami yang abadi bagi Ranti yang berarti juga bencana bagi Ratih kerena tidak kan pernah bisa memperoleh kenikmatan dari Sahrul.
Namun kerap kali Ratih mengingatkan Sahrul untuk tidak bertingkah macam-macam. Apalagi berpikir untuk pulang ke kampung halamannya. Guna menghilangkan kekhawatiran Ratih, Sahrul selalu menjamin kalau keinginannya untuk mengetahui semua itu hanyalah untuk melengkapi sejarah hidupnya saja. Bukan untuk meninggalkan kampung Lubuk Lungun dengan segala kenikmatan hidup dan pemuasan nafsu yang menggebu-gebu itu.
Bukan hanya takut kehilangan keperkasaan yang membuat Sahrul tidk ingin diketahui oleh Sang Ratu akan jalan pikirannya yang berkemungkinan besar akan meninggalkan kampung itu. Kalau saja Sang Ratu tahu jalan pikirannya yang ingin pergi dari kampung itu, tentu dirinya akan diberkati menjadi warga abadi kampung Lubuku Lungun yang akhirnya benar-benar membuat dia lupa akan kampung halaman dan masa lalunya. Kalau hal itu terjadi, dapat dibayangkan kalau dia akan hilang ingatan sama sekali akan masa lalunya. Tidak akan ada lagi bayangan keluarganya, istrinya Siti, orang tua dan mertuanya di Kampung Lubuk Pisang yang baru saja diingatnya kembali itu. Semuanya akan hilang seiring dengan pemberkatan dirinya menjadi warga tetap kampung  Lubuk Lungun. Tentu saja Sahrul tak rela akan kehilangan itu semua. Apalagi perjuangannya untuk mendapatkan kembali ingatan akan keluarga dan kampung halamannya itu cukup berat dan mendapat tantangan yang keras dari keluarga Ranti sampai melibatkan Sang Ratu segala dalam masalah ini. Untuk tidak menimbulkan kecurigaan para wanita di kampung itu yang selama ini dipuaskan nafsu birhinya oleh Sahrul itu makanya dia hanya diam dan tidak menunjukkan kepeduliannya pada Kampung Lubuk Pisang seakan dia memang tidak memiliki keinginan untuk pergi ke kampung halamannya itu.
Namun banyaknya keganjilan kehidupan di Kampung Lubuk Lungun yang dirasakan oleh Sahrul yang menyebabkan timbulnya kerinduan pada kampung halaman dihatinya rupanya tidak serta merta membuat Sahrul berkeinginan untuk pulang ke kampung halamnnya. Bagaimanapun juga dia merasa bersalah kepada Siti, istrinya di kampung Lubuk Pisang yang sudah puluhan tahun ini ditinggalkannya. Rasanya dia tidak punya muka lagi untuk menghadapi istrinya itu. Bagaimanapun tabahnya seorang wanita dalam menghadapi penantian, tidak akan mungkin dia sanggup menunggu suaminya pulang selama puluhan tahun lebih. Apalagi kepergian suaminya ini tanpa alasan dan pemberitahuan yang jelas dan entah untuk waktu berapa lama, tidak ada kepastiannya. Seandainya Siti sudah menikah lagi dan memiliki keluarga yang bahagia dengan anak-anak dari hasil perkawinannya yang baru itu, sangat wajar karena Sahrul telah meninggalkannya dalam ketidakpastian.
“Aku harus menemui Siti dan keluargaku yang lain. Walaupun mereka takkan mau lagi menerimaku, tapi aku harus minta ampun dan melihat keadaan mereka sejak aku tinggalkan” pikir hati Sahrul yang terus menerus dihantui perasaan bersalah pada istrinya yang pada saat ditinggalkan baru saja dinikahinya.
Namun bayangan apa yang akan dihadapinyanya terkadang membuat dia berpikir apakah kedatangan dia nantinya akan mengganggu hubungan Siti dengan suami dan keluarga barunya? Bagaimana kalau kehadirannya di rumah Siti nantinya justru akan menimbulkan pertengkaran dan keributan di rumah tangga Siti yang baru.
“Entah sudah berapa anak Siti sekarang. Apakah dari perkawinannya dengan aku dulu sempat membuahkan seorang anak?”
Memikirkan kemungkinan dia memiliki anak dari perkawinannya yang ditinggalkannya begitu saja dengan Siti membuat Sahrul kembali teringat akan anak-anak dari hasil perkawinannya dengan Ranti. Begitu juga  hasil pengabdiannya kepada Sang Ratu dan Mayang yang pasti membuahkan anak-anak yang banyak sebagaimana sering dilihatnya. Namun sayangnya selama ini demi mengejar kenikmatan seks, dia tak pernah peduli kalau anak-anak yang lahir, besar kemudian menghilang dari rumah para wanita cantik itu adalah anak-anaknya.
“Alangkah berdosanya aku karena tidak pernah mempedulikan anak-anakku yang dilahirkan keempat wanita di kampung ini” pikirnya berulang-ulang.
Untuk tidak menimbulkan kecurigaan Ranti, Sang Ratu ataupun Mayang akan apa yang dipikirkannya, Sahrul selalu tampil ceria dan penuh nafsu birahi bergejolak sebagaimana biasanya dia dalam melayani wanita-wanita yang menjadi tanggungjawabnya dalam hal pelayanan seks itu. Dan untuk mengobati hatinya yang luka atas kejadian-kejadian yang penuh tanda tanya itu, Sahrul selalu mencurahkan perasaannya yang bergejolak itu kepada Ratih yang dengan rela menampung segala keluh kesah yang disampaikan Sahrul. Yang penting bagi Ratih adalah pelayanan seks yang diberikan tidak berkurang seiring seringnya dia mencurahkan perasaan atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar masalah kehidupan dan posisi dia dihadapan penguasa kampung itu, Sang Ratu Datuk Puti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar