Berbagai
kejanggalan yang dirasakannya membuat Sahrul semakin sadar akan perbedaan-perbedaan
yang ada antara kehidupan dikampung halamannya dengan kampung Lubuk Lungun
dimana sekarang dia hidup. Setiap perbedaan dan keganjilan yang dirasakan
membuat dia semakin rindu untuk pulang ke kampung halamannya. Namun untuk
mengungkapkannya kepada Ranti tidak mungkin bagi dia karena menurut keterangan
yang diterimannya dari Ratih, kesempatan yang diberikan kepada Sahrul untuk
tidak diberkati menjadi penganten yang abadi akan dicabut begitu Sahrul berkeinginan
untuk pulang. Dalam kesehariannya Sahrul berusaha untuk tampil dan bersikap apa
adanya. Tidak satupun tingkah lakunya yang membuat Ranti, Sang Ratu
maupun
Mayang curiga. Hanya kepada Ratih dia bisa bercerita akan perasaannya. Ratih sendiri
dilihatnya tidak begitu mempermasalahkan pertanyaan-pertanyan Sahrul yang menjurus
pada pengingatan akan kampung halamannya. Sebab kalau sikap Sahrul ini
diceritakannya kepada Ranti mapun Sang Ratu tentu Sang Ratu akan mengambil
tindakan pemberkatan kepada Sahrul sehingga dia akan dijadikan suami yang abadi
bagi Ranti yang berarti juga bencana bagi Ratih kerena tidak kan pernah bisa
memperoleh kenikmatan dari Sahrul.
Namun
kerap kali Ratih mengingatkan Sahrul untuk tidak bertingkah macam-macam.
Apalagi berpikir untuk pulang ke kampung halamannya. Guna menghilangkan
kekhawatiran Ratih, Sahrul selalu menjamin kalau keinginannya untuk mengetahui
semua itu hanyalah untuk melengkapi sejarah hidupnya saja. Bukan untuk
meninggalkan kampung Lubuk Lungun dengan segala kenikmatan hidup dan pemuasan
nafsu yang menggebu-gebu itu.
Bukan
hanya takut kehilangan keperkasaan yang membuat Sahrul tidk ingin diketahui
oleh Sang Ratu akan jalan pikirannya yang berkemungkinan besar akan
meninggalkan kampung itu. Kalau saja Sang Ratu tahu jalan pikirannya yang ingin
pergi dari kampung itu, tentu dirinya akan diberkati menjadi warga abadi
kampung Lubuku Lungun yang akhirnya benar-benar membuat dia lupa akan kampung
halaman dan masa lalunya. Kalau hal itu terjadi, dapat dibayangkan kalau dia
akan hilang ingatan sama sekali akan masa lalunya. Tidak akan ada lagi bayangan
keluarganya, istrinya Siti, orang tua dan mertuanya di Kampung Lubuk Pisang
yang baru saja diingatnya kembali itu. Semuanya akan hilang seiring dengan
pemberkatan dirinya menjadi warga tetap kampung
Lubuk Lungun. Tentu saja Sahrul tak rela akan kehilangan itu semua.
Apalagi perjuangannya untuk mendapatkan kembali ingatan akan keluarga dan
kampung halamannya itu cukup berat dan mendapat tantangan yang keras dari keluarga
Ranti sampai melibatkan Sang Ratu segala dalam masalah ini. Untuk tidak
menimbulkan kecurigaan para wanita di kampung itu yang selama ini dipuaskan
nafsu birhinya oleh Sahrul itu makanya dia hanya diam dan tidak menunjukkan
kepeduliannya pada Kampung Lubuk Pisang seakan dia memang tidak memiliki
keinginan untuk pergi ke kampung halamannya itu.
Namun
banyaknya keganjilan kehidupan di Kampung Lubuk Lungun yang dirasakan oleh
Sahrul yang menyebabkan timbulnya kerinduan pada kampung halaman dihatinya
rupanya tidak serta merta membuat Sahrul berkeinginan untuk pulang ke kampung
halamnnya. Bagaimanapun juga dia merasa bersalah kepada Siti, istrinya di
kampung Lubuk Pisang yang sudah puluhan tahun ini ditinggalkannya. Rasanya dia
tidak punya muka lagi untuk menghadapi istrinya itu. Bagaimanapun tabahnya
seorang wanita dalam menghadapi penantian, tidak akan mungkin dia sanggup
menunggu suaminya pulang selama puluhan tahun lebih. Apalagi kepergian suaminya
ini tanpa alasan dan pemberitahuan yang jelas dan entah untuk waktu berapa
lama, tidak ada kepastiannya. Seandainya Siti sudah menikah lagi dan memiliki
keluarga yang bahagia dengan anak-anak dari hasil perkawinannya yang baru itu,
sangat wajar karena Sahrul telah meninggalkannya dalam ketidakpastian.
“Aku
harus menemui Siti dan keluargaku yang lain. Walaupun mereka takkan mau lagi
menerimaku, tapi aku harus minta ampun dan melihat keadaan mereka sejak aku
tinggalkan” pikir hati Sahrul yang terus menerus dihantui perasaan bersalah pada
istrinya yang pada saat ditinggalkan baru saja dinikahinya.
Namun
bayangan apa yang akan dihadapinyanya terkadang membuat dia berpikir apakah
kedatangan dia nantinya akan mengganggu hubungan Siti dengan suami dan keluarga
barunya? Bagaimana kalau kehadirannya di rumah Siti nantinya justru akan
menimbulkan pertengkaran dan keributan di rumah tangga Siti yang baru.
“Entah
sudah berapa anak Siti sekarang. Apakah dari perkawinannya dengan aku dulu
sempat membuahkan seorang anak?”
Memikirkan
kemungkinan dia memiliki anak dari perkawinannya yang ditinggalkannya begitu
saja dengan Siti membuat Sahrul kembali teringat akan anak-anak dari hasil
perkawinannya dengan Ranti. Begitu juga
hasil pengabdiannya kepada Sang Ratu dan Mayang yang pasti membuahkan
anak-anak yang banyak sebagaimana sering dilihatnya. Namun sayangnya selama ini
demi mengejar kenikmatan seks, dia tak pernah peduli kalau anak-anak yang
lahir, besar kemudian menghilang dari rumah para wanita cantik itu adalah
anak-anaknya.
“Alangkah
berdosanya aku karena tidak pernah mempedulikan anak-anakku yang dilahirkan
keempat wanita di kampung ini” pikirnya berulang-ulang.
Untuk
tidak menimbulkan kecurigaan Ranti, Sang Ratu ataupun Mayang akan apa yang
dipikirkannya, Sahrul selalu tampil ceria dan penuh nafsu birahi bergejolak
sebagaimana biasanya dia dalam melayani wanita-wanita yang menjadi
tanggungjawabnya dalam hal pelayanan seks itu. Dan untuk mengobati hatinya yang
luka atas kejadian-kejadian yang penuh tanda tanya itu, Sahrul selalu mencurahkan
perasaannya yang bergejolak itu kepada Ratih yang dengan rela menampung segala
keluh kesah yang disampaikan Sahrul. Yang penting bagi Ratih adalah pelayanan
seks yang diberikan tidak berkurang seiring seringnya dia mencurahkan perasaan
atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar masalah kehidupan dan posisi dia
dihadapan penguasa kampung itu, Sang Ratu Datuk Puti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar