Kamis, 10 September 2015

Penganten Rang Bunian (Part 50)



“Celaka. Jalannya terbentang luas. Ada apa ini” tanya Bandri tak habis pikir.
“Nampaknya Bang Sahrul menemukan jawaban dari pertanyaannya selama ini tentang jalan ini. Tolonglah, yah. Kita harus melakukan sesuatu untuk menutupnya” pinta Ranti.
Nampak sekali kekhawatiran di wajahnya yang mulai memucat mendapatkan kenyataan di luar dugaan ini. Betapa tidak. Dia yang tinggal beberapa hari lagi akan menikmati kehidupan abadi dengan orang yang dicintainya tiba-tiba saja terganggu oleh terbentangnya jalan itu.
Kalau saja saat itu ada Sahrul disana, pastilah dia akan mengetahui semua jawabannya dan bisa saja dia berlalu menuju kampung halamannya. Sedang purnama penuh yang dipilih sebagai saat yang tepat untuk melakukan pemberkatannya tinggal beberapa hari lagi. Tentu saja Ranti sangat khawatir akan kenyataan yang dihadapinya itu. Bagaimanapun juga dia tidak akan rela menerima kenyataan harus kehilangan suaminya tercinta apalagi beberapa hari lagi dia akan menerima Sahrul sebagai suaminya yang abadi tanpa ada satupun yang bisa menghalanginya.
“Apa yang harus kita lakukan? Apa yag dilakukan ibumu dirumah? Apa dia tidak bisa meladeni suamimu sehingga pikirannya begitu terbuka?” tanya Bandri tak habis pikir.
“Sebaiknya ayah pergi kerumah. Pastikan kalau Bang Sahrul masih di rumah dengan ibu. Kalau Bang Sahrul memaksa untuk kesini suruh ibu membuatkan ramuan yang langsung memabukkan Bang Sahrul. Aku tidak ingin kehilangan  Bang Sahrul, Yah” pinta Ranti penuh kecemasan.
Tanpa membuang waktu lagi Bandri berlari menuju rumahnya dengan satu tujuan untuk menahan Sahrul dengan segala cara agar tidak mengetahui jalan masuk yang terbuka lebar itu karena purnama penuh yang dipilih sebagai saat yang tepat untuk melakukan pemberkatan Sahrul sebagai suami Ranti yang abadi tinggal beberapa hari lagi.
Sahrul sendiri yang sebenarnya sudah sampai di mulut jalan itu sudah mengetahui kehebohan percakapan kedua anak beranak itu dari balik semak-semak yang dipakainya untuk bersembunyi, tak lama setelah Bandri berlalu. Sebenarnya tadi sesampainya di mulut jalan, dia sangat kaget begitu mendapatkan jalan itu begitu terang dan bersih dari belukar-belukar yang selama ini menghalanginya. Bahkan jalan itu juga sangat jauh menuju suatu tempat yang ada kaitannya dengan pikiran Sahrul. Belum habis keterkejutannya, muncul pula kejutan yang lain disaat Ranti dan Bandri heboh membicarakan dirinya. Tentu saja Sahrul segera menghilangkan diri dan bersembunyi dibalik belukar yang ada di pinggir jalan.
Setelah Bandri berlalu dari jalan itu menuju rumah, didekatinya Ranti dengan langkah perlahan. Begitu posisi tegaknya sudah dekat dengan tempat istrinya bersemedi, Sahrul menghentikan langkahnya.
“Ehm...” katanya mendehem yang membuat Ranti terperanjat saking kagetnya.
“Abang....” Hanya itu yang terucap dari bibir mungil Ranti yang terlihat tegang.
“Apa yang kamu lakukan, Ranti? Kenapa kamu duduk sendiri disini? Mana Ayah?” tanya Sahrul beruntun yang tentu saja membuat Ranti gugup dan tak bisa menjawab.
“Kenapa Ranti? Apakah kamu tak bisa lagi bicara?” tanyanya lagi. Kali ini nampak kekesalan di wajah Sahrul yang merasa telah ditipu selama ini oleh istrinya yang begitu dicintainya itu.
“Maafkan saya, Bang. Saya hanya sedang menunggu ayah untuk pulang. Abang mau kemana?” tanyanya gugup.
“Aku mau ke ujung jalan itu untuk melihat dari mana aku berasal dan dimana sebetulnya kampungku?” jawab Sahrul sambil menunjuk ke ujung jalan yang terbentang luas.Langkahnyapun berangsur menuju ujung jalan yang ditunjuknya itu. Dilewatinya tempat Ranti duduk di selembar tikar pandan di jalan itu.
Segera saja Ranti meraih kaki Sahrul dan menahannya sekuat tenaga.
“Tunggu dulu, Bang. Lebih baik kita tunggu ayah sebelum abang kesana” pintanya.
“Aku hanya ingin berjalan sendiri kesana. Tak usah kamu halangi. Aku sekarang sudah tahu dari mana aku berasal. Walaupun aku belum tahu persis ujung jalan ini, yang pasti aku tahu kalau kampungku ada di ujung jalan itu” Dilepaskannya pegangan Ranti di kakinya.
“Jangan, Bang. Aku mohon” rintih Ranti terdengar memohon.
“Sudahlah, Ranti. Tak usah kau halangi aku mengetahui masa laluku. Kalau memang masa laluku sudah aku ketahui, nanti aku akan membawamu kesana” Langkahnya terus dilanjutkan menuju ujung jalan yang masih jauh itu.
“Aku mohon, Bang. Jangan abang kesana. Aku sangat mencintaimu, Bang” rintihnya lagi. Diikutinya terus langkah suaminya yang semakin lama semakin jauh meninggalkan tempat semedinya tadi.
Nampaknya Sahrul tak bergeming sedikitpun  pada tangisan istrinya yang dengan tulus memohon kepadanya untuk tetap tinggal bersamanya di desa itu.
Dalam benak Sahrul sendiri semakin jauh dia mengikuti jalan itu semakin jelas kalau dia pernah melalui jalan itu. Bahkan hampir sampai di tepi sungai semakin jelas gambaran dibenaknya kalau dia adalah warga kampung Lubuk Pisang yang letaknya tak jauh dari jalan itu. Teringat kembali di benaknya betapa dulu sebelum dia ke kampung ini mengikuti Ranti sebenarnya dia adalah seorang suami dari wanita yang dinikahinya di kampung Lubuk Lisang.
“Astaga. Sebenarnya aku memiliki istri di Kampung Lubuk Pisang. Entah bagaimana nasib Siti, istriku itu sekarang setelah puluhan tahun aku tingggalkan , pikirnya. Berbagai penyesalan akan tindakannya meninggalkan istrinya tanpa tanggungjawab dan kepastian itu membuat dia merasa sangat bersalah. Alangkah malunya dia karena meninggalkan istrinya begitu saja. Entah bagaimana nasib Siti sekarang. Apakah dia sudah menikah lagi dan entah sudah berapa banyak anaknya sekarang. Seandainya istrinya itu sudah menikah lagi, wajar saja karena dia telah meninggalkan istrinya itu dalam waktu yang sangat lama. Tidak mungkin dia akan menyalahkan istri yang ditinggalkannya tanpa kepastian itu jika memang dia mengambil tindakan untuk menikah lagi. Siapapun akan melakukan hal yang sama jika diperlakukan begitu.
Memikirkan bayangan kehidupan istrinya yang mungkin saja sudah menikah dan telah melupakannya membuat Sahrul merasa enggan untuk kembali ke kampung halamannya itu. Bagaimana mungkin dia masih memiliki muka untuk muncul di kampung itu. Apa kata orang-orang dikampungnya jika dia  yang sudah puluhan tahun meninggalkan istrinya tanpa tanggungjawab akhirnya kembali lagi walaupun hanya untuk meminta maaf.
Tak kuasa membayangkan cemoohan orang kampungnya dan kemarahan keluarganya akan kelakuannya itu, akhirnya Sahrul hanya terpaku di pinggir sungai itu.
“Kembalilah, Bang. Tak ada gunannya abang mengetahui masa lalu abang. Dunia abang ada disini. Kita akan berbahagia utuk selamanya disini” bujuk Ranti yang tak kuasa menahan deraian air mata dipipinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar