“Celaka. Jalannya
terbentang luas. Ada apa ini” tanya Bandri tak habis pikir.
“Nampaknya Bang Sahrul
menemukan jawaban dari pertanyaannya selama ini tentang jalan ini. Tolonglah,
yah. Kita harus melakukan sesuatu untuk menutupnya” pinta Ranti.
Nampak sekali
kekhawatiran di wajahnya yang mulai memucat mendapatkan kenyataan di luar
dugaan ini. Betapa tidak. Dia yang tinggal beberapa hari lagi akan menikmati
kehidupan abadi dengan orang yang dicintainya tiba-tiba saja terganggu oleh
terbentangnya jalan itu.
Kalau saja saat itu ada Sahrul disana, pastilah dia
akan mengetahui semua jawabannya dan bisa saja dia berlalu menuju kampung
halamannya. Sedang purnama penuh yang dipilih sebagai saat yang tepat untuk
melakukan pemberkatannya tinggal beberapa hari lagi. Tentu saja Ranti sangat khawatir
akan kenyataan yang dihadapinya itu. Bagaimanapun juga dia tidak akan rela menerima
kenyataan harus kehilangan suaminya tercinta apalagi beberapa hari lagi dia
akan menerima Sahrul sebagai suaminya yang abadi tanpa ada satupun yang bisa
menghalanginya.
“Apa yang harus kita
lakukan? Apa yag dilakukan ibumu dirumah? Apa dia tidak bisa meladeni suamimu
sehingga pikirannya begitu terbuka?” tanya Bandri tak habis pikir.
“Sebaiknya ayah pergi
kerumah. Pastikan kalau Bang Sahrul masih di rumah dengan ibu. Kalau Bang
Sahrul memaksa untuk kesini suruh ibu membuatkan ramuan yang langsung
memabukkan Bang Sahrul. Aku tidak ingin kehilangan Bang Sahrul, Yah” pinta Ranti penuh kecemasan.
Tanpa membuang waktu
lagi Bandri berlari menuju rumahnya dengan satu tujuan untuk menahan Sahrul
dengan segala cara agar tidak mengetahui jalan masuk yang terbuka lebar itu
karena purnama penuh yang dipilih sebagai saat yang tepat untuk melakukan
pemberkatan Sahrul sebagai suami Ranti yang abadi tinggal beberapa hari lagi.
Sahrul sendiri yang
sebenarnya sudah sampai di mulut jalan itu sudah mengetahui kehebohan percakapan
kedua anak beranak itu dari balik semak-semak yang dipakainya untuk bersembunyi,
tak lama setelah Bandri berlalu. Sebenarnya tadi sesampainya di mulut jalan,
dia sangat kaget begitu mendapatkan jalan itu begitu terang dan bersih dari
belukar-belukar yang selama ini menghalanginya. Bahkan jalan itu juga sangat
jauh menuju suatu tempat yang ada kaitannya dengan pikiran Sahrul. Belum habis
keterkejutannya, muncul pula kejutan yang lain disaat Ranti dan Bandri heboh
membicarakan dirinya. Tentu saja Sahrul segera menghilangkan diri dan
bersembunyi dibalik belukar yang ada di pinggir jalan.
Setelah Bandri berlalu
dari jalan itu menuju rumah, didekatinya Ranti dengan langkah perlahan. Begitu posisi
tegaknya sudah dekat dengan tempat istrinya bersemedi, Sahrul menghentikan
langkahnya.
“Ehm...” katanya
mendehem yang membuat Ranti terperanjat saking kagetnya.
“Abang....” Hanya itu
yang terucap dari bibir mungil Ranti yang terlihat tegang.
“Apa yang kamu
lakukan, Ranti? Kenapa kamu duduk sendiri disini? Mana Ayah?” tanya Sahrul
beruntun yang tentu saja membuat Ranti gugup dan tak bisa menjawab.
“Kenapa Ranti? Apakah kamu
tak bisa lagi bicara?” tanyanya lagi. Kali ini nampak kekesalan di wajah Sahrul
yang merasa telah ditipu selama ini oleh istrinya yang begitu dicintainya itu.
“Maafkan saya, Bang. Saya
hanya sedang menunggu ayah untuk pulang. Abang mau kemana?” tanyanya gugup.
“Aku mau ke ujung
jalan itu untuk melihat dari mana aku berasal dan dimana sebetulnya kampungku?”
jawab Sahrul sambil menunjuk ke ujung jalan yang terbentang luas.Langkahnyapun
berangsur menuju ujung jalan yang ditunjuknya itu. Dilewatinya tempat Ranti
duduk di selembar tikar pandan di jalan itu.
Segera saja Ranti
meraih kaki Sahrul dan menahannya sekuat tenaga.
“Tunggu dulu, Bang. Lebih
baik kita tunggu ayah sebelum abang kesana” pintanya.
“Aku hanya ingin
berjalan sendiri kesana. Tak usah kamu halangi. Aku sekarang sudah tahu dari
mana aku berasal. Walaupun aku belum tahu persis ujung jalan ini, yang pasti
aku tahu kalau kampungku ada di ujung jalan itu” Dilepaskannya pegangan Ranti
di kakinya.
“Jangan, Bang. Aku mohon”
rintih Ranti terdengar memohon.
“Sudahlah, Ranti. Tak usah
kau halangi aku mengetahui masa laluku. Kalau memang masa laluku sudah aku
ketahui, nanti aku akan membawamu kesana” Langkahnya terus dilanjutkan menuju
ujung jalan yang masih jauh itu.
“Aku mohon, Bang.
Jangan abang kesana. Aku sangat mencintaimu, Bang” rintihnya lagi. Diikutinya terus
langkah suaminya yang semakin lama semakin jauh meninggalkan tempat semedinya
tadi.
Nampaknya Sahrul tak
bergeming sedikitpun pada tangisan
istrinya yang dengan tulus memohon kepadanya untuk tetap tinggal bersamanya di
desa itu.
Dalam benak Sahrul
sendiri semakin jauh dia mengikuti jalan itu semakin jelas kalau dia pernah
melalui jalan itu. Bahkan hampir sampai di tepi sungai semakin jelas gambaran
dibenaknya kalau dia adalah warga kampung Lubuk Pisang yang letaknya tak jauh
dari jalan itu. Teringat kembali di benaknya betapa dulu sebelum dia ke kampung
ini mengikuti Ranti sebenarnya dia adalah seorang suami dari wanita yang
dinikahinya di kampung Lubuk Lisang.
“Astaga. Sebenarnya aku
memiliki istri di Kampung Lubuk Pisang. Entah bagaimana nasib Siti, istriku itu
sekarang setelah puluhan tahun aku tingggalkan , pikirnya. Berbagai penyesalan
akan tindakannya meninggalkan istrinya tanpa tanggungjawab dan kepastian itu
membuat dia merasa sangat bersalah. Alangkah malunya dia karena meninggalkan
istrinya begitu saja. Entah bagaimana nasib Siti sekarang. Apakah dia sudah
menikah lagi dan entah sudah berapa banyak anaknya sekarang. Seandainya istrinya
itu sudah menikah lagi, wajar saja karena dia telah meninggalkan istrinya itu
dalam waktu yang sangat lama. Tidak mungkin dia akan menyalahkan istri yang
ditinggalkannya tanpa kepastian itu jika memang dia mengambil tindakan untuk
menikah lagi. Siapapun akan melakukan hal yang sama jika diperlakukan begitu.
Memikirkan bayangan
kehidupan istrinya yang mungkin saja sudah menikah dan telah melupakannya
membuat Sahrul merasa enggan untuk kembali ke kampung halamannya itu. Bagaimana
mungkin dia masih memiliki muka untuk muncul di kampung itu. Apa kata
orang-orang dikampungnya jika dia yang
sudah puluhan tahun meninggalkan istrinya tanpa tanggungjawab akhirnya kembali
lagi walaupun hanya untuk meminta maaf.
Tak kuasa membayangkan
cemoohan orang kampungnya dan kemarahan keluarganya akan kelakuannya itu, akhirnya
Sahrul hanya terpaku di pinggir sungai itu.
“Kembalilah, Bang. Tak
ada gunannya abang mengetahui masa lalu abang. Dunia abang ada disini. Kita akan
berbahagia utuk selamanya disini” bujuk Ranti yang tak kuasa menahan deraian
air mata dipipinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar