Jumat, 11 September 2015

Penganten Rang Bunian (Part 52)



Lama permainana itu baru usai, sementara hari sudah menjelang sore. Dengan setengah memaksa Bandri menarik tangan istrinya untuk segera berlalu menuju istana Sang Ratu.
Di istana, Bandri dan Ratih diterima oleh Mayang untuk menanyai maksud dan tujuan mereka menghadap Sang Ratu. Secara lengkap Bandri menceritakan perkembangan sikap Sahrul yang dinilainya sangat berubah dan jauh dari apa yang mereka khawatirkan.
“Baguslah kalau begitu. Sebaiknya kita laporkan saja masalah ini kepada Sang Ratu segera” ajak Mayang. Terlihat secercah kegembiraan diwajah cantik Mayang yang rupanya merasa beruntung juga atas keputusan Sahrul untuk menetap di kampung itu tanpa diperintah oleh Sang Ratu secara ghaib melalui pemberkatan menjadi warga abadi.
“Kami juga ingin melaporkan persiapan pemberkatan pada malam purnama penuh beberapa hari lagi, Putri” tambah Bandri. Namun kali ini laporan yang diberikan Bandri agaknya menyurutkan kegembiraan yang tadi terpancar di wajah Mayang.

“Kalau memang Sahrul sudah memiliki kesadaran untuk tetap tinggal disini, apakah harus diadakan lagi pemberkatan?” katanya setengah bergumam. Nampaknya gumamannya kali ini tidak ditujukan pada Bandri atau Ratih walaupun kedua orang ini turut mendengarkannya.
“Hamba tak tahu, Putri” jawab Bandri yang tentu saja membuat Mayang kaget karena gumamannya itu bukanlah tanggapan resminya.
“Oh... ng... Sebaiknya masalah ini kita bicarakan dengan Sang Ratu” timpalnya buru-buru begitu dia sadar akan kekeliruannya tadi. Tanpa banyak bicara lagi, Mayang beranjak dari duduknya dan berlalu menuju kediaman Sang Ratu di istana utama. Sedang Bandri dan Ratih mengikutinya dari belakang.
Dihadapan Sang Ratu ketiga orang abdi ini membungkukkan badan seraya memberi hormat. Cara hormat yang ditunjukkan oleh Mayang sangat berbeda dengan cara hormat yang ditunjukkan Bandri dan Ratih. Mayang dalam memberi penghormatannya hanya menundukkan wajah sedikit saja dalam sembah sujudnya, sedangkan Bandri dan Ratih lebih menundukkan kepalanya sampai menyentuh lantai dengan keras.
“Ada apa, Mayang?”
“Hormat , Yang Mulia. Kedua orang tua Ranti mohon menghadap kepada Yang Mulia”
“Ada apa, Bandri. Apakah persiapanmu untuk upacara pemberkatan menantumu menjadi menantu yang abadi sudah selesai?”
“Mohon ampun, Yang Mulia. Hamba belum selesai mempersiapkannya. Namun ada perkembangan baru yang harus segera hamba laporkan kepada Yang Mulia untuk dapat diberikan petunjuk” kata Bandri memulai laporannya.
“Sampaikanlah. Apa yang hendak kau laporkan?” tanya Sang Ratu tak sabar ingin segera mengetahui apa yang membuat kedua abdinya itu ingin sekali memberikan laporan padahal pekerjaannya belum tuntas.
Dengan hati-hati Bandri menceritakan apa-apa yang dialaminya berkaitan dengan usaha mereka menutup jalan masuk yang akan mengingatkan Sahrul pada masa lalunya. Sekaligus juga tentang kenyataan Sahrul yang sudah mengetahu jalan itu sampai ke sungai namun tetap memutuskan untuk tinggal bersama keluarganya di Lubuk Lungun.
Seketika wajah Sang Ratu berseri mendengar kabar bahagia itu. Namun demi menjaga wibawanya, berusaha ditahannya kegembiraan hatinya mendengar kabar itu.  Kendati Sang Ratu berusaha menutupi kegembiraannya, selaku orang yang paling dekat dengan Sang Ratu Mayang dapat menangkap cahaya kebahagiaan dari wajah cantik Sang Ratu itu meskipun hanya sekilas saja. Segera saja ditangkapnya kesempatan itu untuk membujuk Sang Ratu agar mengurungkan niatnya dalam memberikan pemberkatan kepada Sahrul sebagai warga tetap kampung itu.
“Ampun, Yang Mulia. Tujuan dari pemberkatan yang akan dilakukan kepada Sahrul adalah agar dia tidak lagi mengingat kampung halaman dan masa lalunya. Sekarang dia telah memilih antara masa lalu dan kampung halamannya itu dengan kampung kita dan dia tetap memilih untuk hidup disini. Apakah pemberkatan masih akan tetap dilakukan?” tanyanya berhati-hati. Namun Sang Ratu sudah dapat menangkap maksud dari perkataan Mayang tadi yang tampaknya tak rela kalau Sahrul diberkati menjadi warga kampung dan suami abadi Ranti karena kalau hal itu dilakukan akan menghilangkan kesempatannya untuk dapat menikmati pelayanan dari pengabdian Sahrul yang selama ini setiap minggu diperolehnya. Apalagi alasan untuk dilakukannya pemberkatan itu sudah tidak ada lagi.
Begitu juga ketika Sang Ratu mengalihkan pandangannya pada Ratih. Tampaknya wanita ini juga tidak rela membiarkan Sahrul diberkati menjadi menantunya yang abadi karena dia akan kehilangan kesempatan mendapatkan pelayanan seks brutal dari menantunya sebagaimana yang akan dialami oleh Mayang.
Sang Ratu sendiri dalam hatinya sangat setuju dengan apa yang dikhawatirkan Mayang dan Ratih tadi. Karena meskipun dia sendiri masih boleh memperoleh pelayanan dari Sahrul dalam bentuk pengabdian, tapi kesempatan itu tidak akan pernah diambilnya karena setelah diberkati menjadi warga tetap kampung itu, praktis Sahrul juga akan kehilangan kemampuannya dalam permainan seks yang selama ini sangat menggairahkan. Dengan tidak lagi melayani Ratih atau Mayang, tentu Sahrul akan kehilangan kesempatan meminum ramuan mujarab yang dibuatkan oleh Ratih. Atau pijatan-pijatan pembangkit birahi yang selalu dilakukan Mayang setiap Sahrul akan melakukan pengabdian kepada Sang Ratu.
“Hal ini perlu kita bicarakan dulu, Mayang. Untuk itu Ratih dan Bandri silakan tunggu diluar. Kami ada pembicaraan serius yang tak perlu kalian ketahui” titah Sang Ratu yang dijawab Bandri dan Ratih dengan memberi hormat dan mundur beberapa tindak untuk kemudian segera berlalu menuju ruang tunggu istana.
“Kenapa, Mayang? Kenapa kamu begitu keberatan dengan pemberkatan itu? Bukankah dengan pemberkatan itu akan hilang kesempatan Sahrul untuk kembali kekampung halaman yang sudah terlanjur diketahuinya?” tanya Sang Ratu begitu bayangan Bandri dan Ratih hilang dari ruang kendali kekuasaan Sang Ratu.
“Maaf, Yang Mulia. Hamba tidak bermaksud menghalangi niat Yang Mulia untuk memberkati Sahrul menjadi warga tetap kampung kita. Tapi kalau pemberkatan itu tetap dilakukan, hamba hanya memikirkan bagaimana nasib hamba yang tidak lagi bisa mendapatkan kemesraan dan kegairahan hidup dari Sahrul” jawab Mayang. Kali ini sikapnya dalam berbicara dengan Sang Ratu tidak lagi santun sebagaimana tadi ketika menghadap bersama Bandri dan Ratih karena antara dia dengan Sang Ratu memiliki hubungan khusus yang membuat mereka sangat akrab seperti kakak adik.
“Aku memaklumi kekhawatiranmu, Mayang. Tapi yang aku pikirkan bagaimana kalau dia akhirnya lepas dari kampung ini. Sedang Ranti sendiri tidak lagi bisa kita harapkan untuk mempengaruhi pikiran Sahrul. Kamu pasti maklum bagaimana perasaan Ranti saat ini kepada Sahrul  setelah suaminya itu memilih untuk tetap tinggal di kampung ini. Tentu cinta dia kepada suaminya itu semakin bertambah besar yang akhirnya menghilangkan kemampuannya untuk mengendalikan pikiran suaminya”.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar