Lama permainana itu
baru usai, sementara hari sudah menjelang sore. Dengan setengah memaksa Bandri
menarik tangan istrinya untuk segera berlalu menuju istana Sang Ratu.
Di istana, Bandri dan
Ratih diterima oleh Mayang untuk menanyai maksud dan tujuan mereka menghadap
Sang Ratu. Secara lengkap Bandri menceritakan perkembangan sikap Sahrul yang
dinilainya sangat berubah dan jauh dari apa yang mereka khawatirkan.
“Baguslah kalau
begitu. Sebaiknya kita laporkan saja masalah ini kepada Sang Ratu segera” ajak
Mayang. Terlihat secercah kegembiraan diwajah cantik Mayang yang rupanya merasa
beruntung juga atas keputusan Sahrul untuk menetap di kampung itu tanpa
diperintah oleh Sang Ratu secara ghaib melalui pemberkatan menjadi warga abadi.
“Kami juga ingin
melaporkan persiapan pemberkatan pada malam purnama penuh beberapa hari lagi,
Putri” tambah Bandri. Namun kali ini laporan yang diberikan Bandri agaknya
menyurutkan kegembiraan yang tadi terpancar di wajah Mayang.
“Kalau memang Sahrul
sudah memiliki kesadaran untuk tetap tinggal disini, apakah harus diadakan lagi
pemberkatan?” katanya setengah bergumam. Nampaknya gumamannya kali ini tidak
ditujukan pada Bandri atau Ratih walaupun kedua orang ini turut mendengarkannya.
“Hamba tak tahu,
Putri” jawab Bandri yang tentu saja membuat Mayang kaget karena gumamannya itu
bukanlah tanggapan resminya.
“Oh... ng... Sebaiknya
masalah ini kita bicarakan dengan Sang Ratu” timpalnya buru-buru begitu dia
sadar akan kekeliruannya tadi. Tanpa banyak bicara lagi, Mayang beranjak dari
duduknya dan berlalu menuju kediaman Sang Ratu di istana utama. Sedang Bandri
dan Ratih mengikutinya dari belakang.
Dihadapan Sang Ratu ketiga
orang abdi ini membungkukkan badan seraya memberi hormat. Cara hormat yang ditunjukkan
oleh Mayang sangat berbeda dengan cara hormat yang ditunjukkan Bandri dan
Ratih. Mayang dalam memberi penghormatannya hanya menundukkan wajah sedikit
saja dalam sembah sujudnya, sedangkan Bandri dan Ratih lebih menundukkan
kepalanya sampai menyentuh lantai dengan keras.
“Ada apa, Mayang?”
“Hormat , Yang Mulia. Kedua
orang tua Ranti mohon menghadap kepada Yang Mulia”
“Ada apa, Bandri.
Apakah persiapanmu untuk upacara pemberkatan menantumu menjadi menantu yang
abadi sudah selesai?”
“Mohon ampun, Yang Mulia.
Hamba belum selesai mempersiapkannya. Namun ada perkembangan baru yang harus
segera hamba laporkan kepada Yang Mulia untuk dapat diberikan petunjuk” kata
Bandri memulai laporannya.
“Sampaikanlah. Apa
yang hendak kau laporkan?” tanya Sang Ratu tak sabar ingin segera mengetahui
apa yang membuat kedua abdinya itu ingin sekali memberikan laporan padahal
pekerjaannya belum tuntas.
Dengan hati-hati
Bandri menceritakan apa-apa yang dialaminya berkaitan dengan usaha mereka
menutup jalan masuk yang akan mengingatkan Sahrul pada masa lalunya. Sekaligus
juga tentang kenyataan Sahrul yang sudah mengetahu jalan itu sampai ke sungai
namun tetap memutuskan untuk tinggal bersama keluarganya di Lubuk Lungun.
Seketika wajah Sang
Ratu berseri mendengar kabar bahagia itu. Namun demi menjaga wibawanya,
berusaha ditahannya kegembiraan hatinya mendengar kabar itu. Kendati Sang Ratu berusaha menutupi
kegembiraannya, selaku orang yang paling dekat dengan Sang Ratu Mayang dapat
menangkap cahaya kebahagiaan dari wajah cantik Sang Ratu itu meskipun hanya
sekilas saja. Segera saja ditangkapnya kesempatan itu untuk membujuk Sang Ratu
agar mengurungkan niatnya dalam memberikan pemberkatan kepada Sahrul sebagai
warga tetap kampung itu.
“Ampun, Yang Mulia.
Tujuan dari pemberkatan yang akan dilakukan kepada Sahrul adalah agar dia tidak
lagi mengingat kampung halaman dan masa lalunya. Sekarang dia telah memilih
antara masa lalu dan kampung halamannya itu dengan kampung kita dan dia tetap
memilih untuk hidup disini. Apakah pemberkatan masih akan tetap dilakukan?”
tanyanya berhati-hati. Namun Sang Ratu sudah dapat menangkap maksud dari
perkataan Mayang tadi yang tampaknya tak rela kalau Sahrul diberkati menjadi
warga kampung dan suami abadi Ranti karena kalau hal itu dilakukan akan
menghilangkan kesempatannya untuk dapat menikmati pelayanan dari pengabdian
Sahrul yang selama ini setiap minggu diperolehnya. Apalagi alasan untuk
dilakukannya pemberkatan itu sudah tidak ada lagi.
Begitu juga ketika
Sang Ratu mengalihkan pandangannya pada Ratih. Tampaknya wanita ini juga tidak
rela membiarkan Sahrul diberkati menjadi menantunya yang abadi karena dia akan
kehilangan kesempatan mendapatkan pelayanan seks brutal dari menantunya
sebagaimana yang akan dialami oleh Mayang.
Sang Ratu sendiri
dalam hatinya sangat setuju dengan apa yang dikhawatirkan Mayang dan Ratih tadi.
Karena meskipun dia sendiri masih boleh memperoleh pelayanan dari Sahrul dalam
bentuk pengabdian, tapi kesempatan itu tidak akan pernah diambilnya karena
setelah diberkati menjadi warga tetap kampung itu, praktis Sahrul juga akan
kehilangan kemampuannya dalam permainan seks yang selama ini sangat
menggairahkan. Dengan tidak lagi melayani Ratih atau Mayang, tentu Sahrul akan
kehilangan kesempatan meminum ramuan mujarab yang dibuatkan oleh Ratih. Atau pijatan-pijatan
pembangkit birahi yang selalu dilakukan Mayang setiap Sahrul akan melakukan
pengabdian kepada Sang Ratu.
“Hal ini perlu kita
bicarakan dulu, Mayang. Untuk itu Ratih dan Bandri silakan tunggu diluar. Kami ada
pembicaraan serius yang tak perlu kalian ketahui” titah Sang Ratu yang dijawab
Bandri dan Ratih dengan memberi hormat dan mundur beberapa tindak untuk
kemudian segera berlalu menuju ruang tunggu istana.
“Kenapa, Mayang?
Kenapa kamu begitu keberatan dengan pemberkatan itu? Bukankah dengan
pemberkatan itu akan hilang kesempatan Sahrul untuk kembali kekampung halaman
yang sudah terlanjur diketahuinya?” tanya Sang Ratu begitu bayangan Bandri dan Ratih
hilang dari ruang kendali kekuasaan Sang Ratu.
“Maaf, Yang Mulia.
Hamba tidak bermaksud menghalangi niat Yang Mulia untuk memberkati Sahrul
menjadi warga tetap kampung kita. Tapi kalau pemberkatan itu tetap dilakukan,
hamba hanya memikirkan bagaimana nasib hamba yang tidak lagi bisa mendapatkan
kemesraan dan kegairahan hidup dari Sahrul” jawab Mayang. Kali ini sikapnya
dalam berbicara dengan Sang Ratu tidak lagi santun sebagaimana tadi ketika
menghadap bersama Bandri dan Ratih karena antara dia dengan Sang Ratu memiliki
hubungan khusus yang membuat mereka sangat akrab seperti kakak adik.
“Aku memaklumi
kekhawatiranmu, Mayang. Tapi yang aku pikirkan bagaimana kalau dia akhirnya
lepas dari kampung ini. Sedang Ranti sendiri tidak lagi bisa kita harapkan
untuk mempengaruhi pikiran Sahrul. Kamu pasti maklum bagaimana perasaan Ranti
saat ini kepada Sahrul setelah suaminya
itu memilih untuk tetap tinggal di kampung ini. Tentu cinta dia kepada suaminya
itu semakin bertambah besar yang akhirnya menghilangkan kemampuannya untuk
mengendalikan pikiran suaminya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar