Rabu, 21 Januari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 2)



“Bu... bukan begitu. Rasanya baru sekali ini abang melihat adik ini didesa ini. Apakah adik baru datang dari kota atau sedang kesasar disini?” tanya Sahrul memberanikan diri. Kondisi badannya yang tidak berpakaian dan hanya mengenakan celana dalampun tidak disadari oleh Sahrul padahal reaksi dari balik celana dalamnya menunjukkan betapa kagum dan terangsangnya Sahrul akan keelokkan tubuh wanita itu. Tapi karena dia tidak mendengar ada nada protes dan perasaan malu dari si wanita dalam menghadapi Sahrul yang hanya berpakaian celana dalam, membuat Sahrul semakin tidak menyadari kalau dirinya belum berpakaian.
“Aku memang bukan warga desa ini, Bang. Tapi aku sering kok mandi disini. Soalnya lubuk ini bagus. Cuma baru kali ini aku bertemu dengan orang” jawab si gadis sembari tangannya sibuk membereskan pakaiannya yang halus tertiup angin.
“Jadi kampung adik dimana?” tanya Sahrul semakin penasaran.
“Itu dibawah. Empat lubuk dari sini” jawab si gadis sembari menunjuk ke arah hilir sungai. Sahrul mengikuti arah telunjuk si gadis yang mengarah ke hilir sungai.
“Dekat jembatan gantung?” tanya Sahrul penasaran. Kampung yang diketahui Sahrul diarah hilir sungai hanya kampung yang memiliki jembatan gantung. Yaitu sebuah jembatan yang dibuat warga kampung itu dengan memanfaatkan dua pohon besar yang berdiri disisi-sisi sungai sehingga bisa dijadikan sebagai gantungan bagi jembatan yang mereka buat.
“Bukan, bang. Sebelum jembatan gantung itu” jawab si gadis.
“Perasaan disana tidak ada rumah” pikir Sahrul. Memang dia sewaktu kecil dulu sering main ke jembatan gantung. Bersama kawan-kawan mereka sering mondar mandir di jembatan itu sembari melihat terjalnya sungai dibawah jembatan itu. Namun setahu Sahrul tidak ada rumah ditempat yang ditunjukkan si gadis. “Mungkin aku yang tidak tahu perkembangan desa ini. Soalnya sudah lama juga aku tidak main ke jembatan itu” pikir Sahrul lagi.
“Kalau abang memang belum pernah kesana. Bisalah aku ajak abang kesana. Sambil mengantar aku”  kata si gadis menawarkan diri.
Ditengah kekagumannya kepada si gadis yang berpakaian ala kadarnya itu Sahrul seakan terhipnotis untuk mengangguk dan menurut saja apa yang dikatakan si gadis.
Gadis itu berjalan melenggok didepan sedang Sahrul mengikutinya di belakang. Sebagian besar punggung si gadis tidak tertutupi oleh selendangnya. Sahrul setiap saat berdecak kagum melihat keelokan pemandangan yang disuguhkan dihadapannya. Kulit punggung yang halus mulus seakan tak pernah tersentuh tangan sedikitpun, ditambah lekukan pinggang yang aduhai dan sangat sempurna telah mematri mata Sahrul untuk tidak berpaling sedikitpun dari indahnya punggung si gadis. Sesekali dilihatnya betis dan paha si gadis yang menyembul ditengah minimnya selendang yang menutupi bagian pantat si gadis.
Sementara si gadis seakan tahu tubuhnya sedang dinikmati oleh sepasang mata lelaki yang nyaris hampir keluar malah semakin mempercantik lenggokan tubuhnya saat berjalan itu. Tidak ditawarinya sedikitpun Sahrul untuk berjalan dihadapannya atau disampingnya.
Tidak banyak pembicaraan yang mereka lakukan selama dalam perjalanan. Bahkan Sahrulpun tidak sempat menanyakan nama si gadis, mulutnya telah terkunci oleh keelokan yang belum pernah dilihatnya, baik di Desa Lubuk Pisang maupun di kota dimana dia pernah beberapa tahun merantau. Si gadis seakan memberi kesempatan sepuas-puasnya kepada Sahrul untuk menikmati keindahan tubuhnya dari belakang.
Berjarak seratus meter dari tempat mereka tengah berjalan, pandangan Sahrul yang semula diarahkan ke punggung si gadis akhirnya terpana menatap banyaknya rumah-rumah besar di kampung si gadis. Baru disadarinya bahwa ia tidak tahu sama sekali jalan yang dipakai menuju kampung itu karena dari awal mereka berjalan di lubuk batu besar sampai sekarang Sahrul hanya terpana melihat punggung si gadis. Bahkan untuk menyusuri kembali jalan yang sudah dilewatinya tadi Sahrul tidak akan sanggup lagi karena memang dia tidak tahu jalan mana yang telah mereka lalui.
Keheranan Sahrul bertambah besar ketika mereka semakin mendekati kampung itu.
“Wah ini sih bukan kampung. Tapi sudah jadi kota kecil” gumam Sahrul seakan berbicara kepada dirinya sendiri.
Orang-orang yang berlalu lalang di kampung itu seluruhnya melihat kearah Sahrul yang tengah berjalan beriringan dengan si gadis. Dari sekian banyak mata yang menatap mereka di tengah keheranan mereka juga tersirat kekaguman seakan yang tengah berjalan ini adalah pasangan yang sangat serasi dimana si gadis sangat cantik rupawan, sedang yang laki-laki bagaikan seorang pangeran tampan yang dikagumi para gadis.
Sahrul merasa risih dipandangi sedemikian rupa oleh warga kampung itu. Rata-rata wanita di kampung itu memiliki wajah yang cantik dan berpakaian minim. Sedang lelakinya tidak begitu sebanding ketampanannya dibanding para wanitanya. Bahkan Sahrul berani bertaruh kalau dirinya lebih tampan dari para lelaki di kampung itu.
Tegur sapa ramah warga kampung itu disambut si gadis dengan senyum yang merekah. Seakan orang yang baru pulang dari suatu pertempuran dengan membawa kemenangan, si gadis dengan bangga memasuki kampungnya. Sementara tangan kirinya menggandeng Sahrul yang dengan risih dan perasaan kikuk menjawab senyuman dan sapaan orang-orang yang mereka lalui dengan anggukan.
Kendati rata-rata dari wanita yang tinggal didesa itu adalah orang-orang muda dan cantik-cantik, namun berulangkali dilihat Sahrul, gadis yang sedang menggandengnya dan belum diketahuinya namanya itu jauh lebih cantik dibanding wanita-wanita yang ada disana. Bahkan ketika memasuki pekarangan rumah yang besar, ternyata rumah si gadispun lebih besar dan mewah dibanding rumah-rumah lainnya dikampung itu.
“Beruntung sekali gadis ini. disamping cantik ternyata dia juga kaya” pikir Sahrul. Si gadis yang seakan mengetahui apa yang dipikirkan Sahrul hanya tersenyum sembari melirik kearah Sahrul.
“Dari mana saja kamu, Ranti?” tegur suara sedikit parau dari dalam rumah yang besar itu.
“Maafkan aku, Ibu. Aku baru saja tertimpa musibah. Untunglah ada yang menolong aku. Pemuda itu sudah aku bawa kesini” jawab gadis yang ternyata bernama Ranti itu.
“Oh. Jadi nama gadis canik ini Ranti” pikir Sahrul mengangguk-anggukkan kepalanya seakan sedari tadi dia tidak boleh mengetahui nama gadis itu, padahal memang dia yang tidak terpikir untuk bertanya karena terpana akan kecantikan si gadis.
“Masuklah. Bawa tamumu masuk sekalian” kata ibunya lagi seraya membukakan pintu. Seraut wajah cantik kembali hadir dihadapan Sahrul. Wanita yang dipanggil ibu oleh Ranti itu ternyata tidak jauh berbeda usianya dibanding Ranti. Penampilannya yang anggun dan kulitnya yang masih kencang membuat Sahrul heran. “Apa betul ini ibunya. Malah lebih pantas kalau mereka dikatakan adik kakak” pikir Sahrul seakan tak percaya.
Sahrul mengikuti Ranti masuk ke dalam rumah yang cukup besar itu. Perabotan rumah itu tergolong mewan dibanding dengan perabotan yang biasanya ada dikampung Sahrul. “Memang keluarga ini keluarga yang cukup berada. Sudahlah anaknya cantik. Ibunyapun tak kalah cantiknya dengan anaknya Ranti” bisik hati Sahrul penuh kekaguman.
“Siapa nama anak yang tampan ini?” sapa ibu Ranti sambil mengulurkan tangannya yang halus. Dari bibirnya yang merah merekah terumbar senyum ramah.
“Sahrul, e...e... kak, eh, bu..” jawab Sahrul ragu apakah harus memanggil kakak atau ibu kepada wanita muda yang berdiri dihadapannya itu. Dijabatnya tangan wanita itu. “Hangat sekali” pikirnya.
“Panggil saja Ibu. Saya Ratih, ibunya Ranti” kata ibu itu. Genggaman tangannya seakan tidak ingin dilepaskannya dari tangan Sahrul.
Keraguan Sahrul akan wanita ini semakin besar. Apakah benar dia adalah ibunya Ranti ataukah memang kakaknya. Apalagi dilihatnya usia Ratih tidak terpaut jauh dari usia Ranti. Kecantikannyapun tidak kalah. Apalagi kegenitannya seakan Ratih akan menjadi saingan bagi Ranti dalam memperebutkan cinta Sahrul.
“Silakan duduk dulu. Biar ibu buatkan minuman” kata ibunya ramah. Sahrul hanya mengangguk.
Ranti sendiri sejak mereka sampai dirumah itu tak habis-habisnya memperhatikan Sahrul. Pandangannya yang begitu menggoda membuat Sahrul semakin terpesona dengan penampilan gadis itu. Pembicaraan yang mereka lakukan tidak satupun yang masuk dalam ingatan Sahrul, apapun pertanyaan Ranti seakan dijawab Sahrul tanpa pikir panjang. Yang jelas mata dan hatinya tak pernah melepaskan sedetikpun Ranti. Justru yang diingat Sahrul hanyalah lembut gemulainya gerakan-gerakan kecil yang dibuat Ranti seakan memancing dan mengusik hasrat kelaki-lakian Sahrul.
Tanpa terasa hari sudah menjelang malam. Tamu-tamu berdatangan untuk melihat dan berkenalan dengan Sahrul, lelaki yang dibawa Ranti. Baik Ranti maupun Ratih seakan bangga memperkenalkan Sahrul kepada para tetangganya. Rata-rata tamu yang datang adalah para wanita yang juga cantik-cantik. Namun memang diantara mereka semua tidak satupun yang menyaingi kecantikan Ranti. Itu yang diakui Sahrul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar