“Bu... bukan begitu. Rasanya baru sekali ini abang
melihat adik ini didesa ini. Apakah adik baru datang dari kota atau sedang
kesasar disini?” tanya Sahrul memberanikan diri. Kondisi badannya yang tidak
berpakaian dan hanya mengenakan celana dalampun tidak disadari oleh Sahrul
padahal reaksi dari balik celana dalamnya menunjukkan betapa kagum dan terangsangnya
Sahrul akan keelokkan tubuh wanita itu. Tapi karena dia tidak mendengar ada
nada protes dan perasaan malu dari si wanita dalam menghadapi Sahrul yang hanya
berpakaian celana dalam, membuat Sahrul semakin tidak menyadari kalau dirinya
belum berpakaian.
“Aku memang bukan warga desa ini, Bang. Tapi aku
sering kok mandi disini. Soalnya lubuk ini bagus. Cuma baru kali ini aku
bertemu dengan orang” jawab si gadis sembari tangannya sibuk membereskan
pakaiannya yang halus tertiup angin.
“Jadi kampung adik dimana?” tanya Sahrul semakin
penasaran.
“Itu dibawah. Empat lubuk dari sini” jawab si gadis
sembari menunjuk ke arah hilir sungai. Sahrul mengikuti arah telunjuk si gadis
yang mengarah ke hilir sungai.
“Dekat jembatan gantung?” tanya Sahrul penasaran.
Kampung yang diketahui Sahrul diarah hilir sungai hanya kampung yang memiliki
jembatan gantung. Yaitu sebuah jembatan yang dibuat warga kampung itu dengan
memanfaatkan dua pohon besar yang berdiri disisi-sisi sungai sehingga bisa
dijadikan sebagai gantungan bagi jembatan yang mereka buat.
“Bukan, bang. Sebelum jembatan gantung itu” jawab si
gadis.
“Perasaan disana tidak ada rumah” pikir Sahrul. Memang
dia sewaktu kecil dulu sering main ke jembatan gantung. Bersama kawan-kawan
mereka sering mondar mandir di jembatan itu sembari melihat terjalnya sungai
dibawah jembatan itu. Namun setahu Sahrul tidak ada rumah ditempat yang
ditunjukkan si gadis. “Mungkin aku yang tidak tahu perkembangan desa ini. Soalnya
sudah lama juga aku tidak main ke jembatan itu” pikir Sahrul lagi.
“Kalau abang memang belum pernah kesana. Bisalah aku
ajak abang kesana. Sambil mengantar aku”
kata si gadis menawarkan diri.
Ditengah kekagumannya kepada si gadis yang berpakaian
ala kadarnya itu Sahrul seakan terhipnotis untuk mengangguk dan menurut saja
apa yang dikatakan si gadis.
Gadis itu berjalan melenggok didepan sedang Sahrul
mengikutinya di belakang. Sebagian besar punggung si gadis tidak tertutupi oleh
selendangnya. Sahrul setiap saat berdecak kagum melihat keelokan pemandangan
yang disuguhkan dihadapannya. Kulit punggung yang halus mulus seakan tak pernah
tersentuh tangan sedikitpun, ditambah lekukan pinggang yang aduhai dan sangat
sempurna telah mematri mata Sahrul untuk tidak berpaling sedikitpun dari
indahnya punggung si gadis. Sesekali dilihatnya betis dan paha si gadis yang
menyembul ditengah minimnya selendang yang menutupi bagian pantat si gadis.
Sementara si gadis seakan tahu tubuhnya sedang
dinikmati oleh sepasang mata lelaki yang nyaris hampir keluar malah semakin
mempercantik lenggokan tubuhnya saat berjalan itu. Tidak ditawarinya sedikitpun
Sahrul untuk berjalan dihadapannya atau disampingnya.
Tidak banyak pembicaraan yang mereka lakukan selama
dalam perjalanan. Bahkan Sahrulpun tidak sempat menanyakan nama si gadis,
mulutnya telah terkunci oleh keelokan yang belum pernah dilihatnya, baik di Desa
Lubuk Pisang maupun di kota dimana dia pernah beberapa tahun merantau. Si gadis
seakan memberi kesempatan sepuas-puasnya kepada Sahrul untuk menikmati
keindahan tubuhnya dari belakang.
Berjarak seratus meter dari tempat mereka tengah
berjalan, pandangan Sahrul yang semula diarahkan ke punggung si gadis akhirnya
terpana menatap banyaknya rumah-rumah besar di kampung si gadis. Baru
disadarinya bahwa ia tidak tahu sama sekali jalan yang dipakai menuju kampung
itu karena dari awal mereka berjalan di lubuk batu besar sampai sekarang Sahrul
hanya terpana melihat punggung si gadis. Bahkan untuk menyusuri kembali jalan
yang sudah dilewatinya tadi Sahrul tidak akan sanggup lagi karena memang dia tidak
tahu jalan mana yang telah mereka lalui.
Keheranan Sahrul bertambah besar ketika mereka semakin
mendekati kampung itu.
“Wah ini sih bukan kampung. Tapi sudah jadi kota
kecil” gumam Sahrul seakan berbicara kepada dirinya sendiri.
Orang-orang yang berlalu lalang di kampung itu
seluruhnya melihat kearah Sahrul yang tengah berjalan beriringan dengan si
gadis. Dari sekian banyak mata yang menatap mereka di tengah keheranan mereka
juga tersirat kekaguman seakan yang tengah berjalan ini adalah pasangan yang
sangat serasi dimana si gadis sangat cantik rupawan, sedang yang laki-laki
bagaikan seorang pangeran tampan yang dikagumi para gadis.
Sahrul merasa risih dipandangi sedemikian rupa oleh
warga kampung itu. Rata-rata wanita di kampung itu memiliki wajah yang cantik
dan berpakaian minim. Sedang lelakinya tidak begitu sebanding ketampanannya
dibanding para wanitanya. Bahkan Sahrul berani bertaruh kalau dirinya lebih
tampan dari para lelaki di kampung itu.
Tegur sapa ramah warga kampung itu disambut si gadis
dengan senyum yang merekah. Seakan orang yang baru pulang dari suatu
pertempuran dengan membawa kemenangan, si gadis dengan bangga memasuki
kampungnya. Sementara tangan kirinya menggandeng Sahrul yang dengan risih dan
perasaan kikuk menjawab senyuman dan sapaan orang-orang yang mereka lalui
dengan anggukan.
Kendati rata-rata dari wanita yang tinggal didesa itu
adalah orang-orang muda dan cantik-cantik, namun berulangkali dilihat Sahrul,
gadis yang sedang menggandengnya dan belum diketahuinya namanya itu jauh lebih
cantik dibanding wanita-wanita yang ada disana. Bahkan ketika memasuki
pekarangan rumah yang besar, ternyata rumah si gadispun lebih besar dan mewah
dibanding rumah-rumah lainnya dikampung itu.
“Beruntung sekali gadis ini. disamping cantik ternyata
dia juga kaya” pikir Sahrul. Si gadis yang seakan mengetahui apa yang
dipikirkan Sahrul hanya tersenyum sembari melirik kearah Sahrul.
“Dari mana saja kamu, Ranti?” tegur suara sedikit
parau dari dalam rumah yang besar itu.
“Maafkan aku, Ibu. Aku baru saja tertimpa musibah.
Untunglah ada yang menolong aku. Pemuda itu sudah aku bawa kesini” jawab gadis
yang ternyata bernama Ranti itu.
“Oh. Jadi nama gadis canik ini Ranti” pikir Sahrul
mengangguk-anggukkan kepalanya seakan sedari tadi dia tidak boleh mengetahui nama
gadis itu, padahal memang dia yang tidak terpikir untuk bertanya karena terpana
akan kecantikan si gadis.
“Masuklah. Bawa tamumu masuk sekalian” kata ibunya
lagi seraya membukakan pintu. Seraut wajah cantik kembali hadir dihadapan
Sahrul. Wanita yang dipanggil ibu oleh Ranti itu ternyata tidak jauh berbeda
usianya dibanding Ranti. Penampilannya yang anggun dan kulitnya yang masih
kencang membuat Sahrul heran. “Apa betul ini ibunya. Malah lebih pantas kalau
mereka dikatakan adik kakak” pikir Sahrul seakan tak percaya.
Sahrul mengikuti Ranti masuk ke dalam rumah yang cukup
besar itu. Perabotan rumah itu tergolong mewan dibanding dengan perabotan yang
biasanya ada dikampung Sahrul. “Memang keluarga ini keluarga yang cukup berada.
Sudahlah anaknya cantik. Ibunyapun tak kalah cantiknya dengan anaknya Ranti”
bisik hati Sahrul penuh kekaguman.
“Siapa nama anak yang tampan ini?” sapa ibu Ranti
sambil mengulurkan tangannya yang halus. Dari bibirnya yang merah merekah
terumbar senyum ramah.
“Sahrul, e...e... kak, eh, bu..” jawab Sahrul ragu
apakah harus memanggil kakak atau ibu kepada wanita muda yang berdiri
dihadapannya itu. Dijabatnya tangan wanita itu. “Hangat sekali” pikirnya.
“Panggil saja Ibu. Saya Ratih, ibunya Ranti” kata ibu
itu. Genggaman tangannya seakan tidak ingin dilepaskannya dari tangan Sahrul.
Keraguan Sahrul akan wanita ini semakin besar. Apakah
benar dia adalah ibunya Ranti ataukah memang kakaknya. Apalagi dilihatnya usia
Ratih tidak terpaut jauh dari usia Ranti. Kecantikannyapun tidak kalah. Apalagi
kegenitannya seakan Ratih akan menjadi saingan bagi Ranti dalam memperebutkan
cinta Sahrul.
“Silakan duduk dulu. Biar ibu buatkan minuman” kata
ibunya ramah. Sahrul hanya mengangguk.
Ranti sendiri sejak mereka sampai dirumah itu tak
habis-habisnya memperhatikan Sahrul. Pandangannya yang begitu menggoda membuat
Sahrul semakin terpesona dengan penampilan gadis itu. Pembicaraan yang mereka
lakukan tidak satupun yang masuk dalam ingatan Sahrul, apapun pertanyaan Ranti
seakan dijawab Sahrul tanpa pikir panjang. Yang jelas mata dan hatinya tak
pernah melepaskan sedetikpun Ranti. Justru yang diingat Sahrul hanyalah lembut
gemulainya gerakan-gerakan kecil yang dibuat Ranti seakan memancing dan
mengusik hasrat kelaki-lakian Sahrul.
Tanpa terasa hari sudah menjelang malam. Tamu-tamu
berdatangan untuk melihat dan berkenalan dengan Sahrul, lelaki yang dibawa
Ranti. Baik Ranti maupun Ratih seakan bangga memperkenalkan Sahrul kepada para
tetangganya. Rata-rata tamu yang datang adalah para wanita yang juga
cantik-cantik. Namun memang diantara mereka semua tidak satupun yang menyaingi
kecantikan Ranti. Itu yang diakui Sahrul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar