“Ya. Lebih baik kita begini terus daripada kita
memikirkan sesuatu yang bisa membuat kita pusing dan kehilangan gairah” kata
Sahrul nakal. Saat iu yang dia tahu hanyalah bagaimana agar dapat terus
melakukan hubungan dengan gadis pujaan yang sebentar lagi akan dikawininya
melalui suatu upacara ritual yang sebenarnya sangat aneh baginya.
Sahrul sendiri sebenarnya merasa heran dengan tenaga
yang dimilikinya. Seakan tak pernah puas-puasnya dan tak pernah habis-habisnya dia
dan Ranti melakukan hubungan seksual seakan hidup di kampung Ranti hanyalah
untuk mengejar kepuasan birahi semata. Tenaga yang dimiliki Sahrulpun seakan
tak habis-habisnya. Berulangkali dia mencapai orgasme, namun begitu selesai
mencapai puncak kenikmatan, tenaga dan gairah Sahrul kembali pulih dan
hasratnya untuk berhubungan dengan Rantipun kembali membara.
Siang malam tak terhitung lagi bagi Sahrul berapa kali
mereka melakukan hubungan. Rantipun dilihatnya tak pernah puas-puasnya dan tak pernah lelah. Jangankan menolak untuk
melakukan hubungan, Sahrul terlambat sedikit saja, Ranti selalu mengambil
inisiatif untuk melakukannya.
Sangat berbeda dibandingkan dengan istrinya Siti yang
ditinggalkannya di Lubuk Pisang. Dalam perkawinannya dengan Siti yang baru
beberapa hari, boleh dibilang Sahrul dan Siti baru melakukan hubungan beberapa
kali saja. Itupun sewaktu malam hari tiba. Sangat tidak memungkinkan rasanya
bagi mereka untuk melakukan hubungan suami istri di siang hari. Apalagi mereka
masih tinggal di rumah mertua, yakni Datuk Sati. Lagian, baik Sahrul maupun
Siti memiliki kemampuan dan hasrat yang terbatas sehingga mereka hanya
menjalankan kewajiban sebagaimana layaknya penganten baru di kampungnya.
Hari yang dinanti-nanti banyak orang di kampung itu
akhirnya tiba. Pagi-pagi sekali telah terdengar
bunyi tabuh-tabuhan menyemarakkan keheningan kampung di pagi hari.
Sementara, di rumah Bandri kedua penganten telah
dihiasi dengan pakaian mewah dan beraroma bunga-bunga setaman. Asap-asapan dupa
disudut-sudut kampung sudah tercium menyengat hidung. Penduduk hilir mudik
dengan satu tujuan mensukseskan upacara ritual. Tidak seperti hari kemarin,
hari ini kaum lelaki lebih tampak banyak dan sibuk dengan pakaian beraneka
warna. Namun mereka lebih banyak disibukkan dengan kegiatan untuk menyambut
kehadiran Sang Ratu Datuk Puti.
Selang beberapa saat setelah calon penganten usai
dirias, datang rombongan muda-mudi dan orang-orang tua menjemput kedua calon
mempelai dan orangtuanya untuk segera berangkat menuju Altar.
Sahrul turun dari rumah itu didampingi oleh Ratih,
calon mertua perempuannya. Sementara dibelakang, Ranti digandeng oleh Bandri,
ayahnya.
Tetangga mereka mengiringi dari belakang dengan
membawa berbagai jamba (tempat menyimpan berbagai macam makanan yang khusus
dibawa dalam iring-iringan penganten sebagai barang bawaan keluarga mempelai)
yang dihias dengan daun-daun dan bunga-bunga aneka warna.
Di depan rombongan, telah siap regu alat musik dan
genderang dari berbagai bentuk dan ukuran. Yang paling menonjol dari semua alat
musik itu adalah terompet-terompet yang terbuat dari kerang-kerang besar dan
berbunyi melengking dan bergemuruh ketika ditiup pemainnya.
Sementara pemandu rombongan dengan berbagai atraksi
yang penuh nuansa ritualnya tidak henti-hentinya melakukan gerakan-gerakan aneh
yang bagi orang awam bisa dibilang lucu disaat melewati jalan-jalan berbelok
dan mendaki.
Sahrul hanya terpana melihat keramaian upacara itu.
Apalagi disepanjang jalan mereka ditonton oleh ratusan pasang mata penduduk
yang sengaja menunggu lewatnya rombongan.
“Betul-betul upacara yang dipersiapkan dengan matang”
pikir Sahrul.
Betapa tersanjungnya dia mendapat perlakuan seperti
itu. Kemeriahan pesta itu sangat jauh berbeda dengan apa yang sudah dialaminya
di Lubuk Pisang ketika menyunting Siti dulu. Semakin yakinlah Sahrul kalau
Ranti yang dipersuntingnya adalah anak dari keluarga terhormat di kampung itu.
Memasuki arena Altar, tak satupun dari alat musik
ataupun suara orang yang tadinya ramai terdengar lagi. Semua orang seakan
maklum kalau mereka sudah memasuki tempat suci yang harus dijaga ketenangannya.
Bahkan untuk mendengar bisikkan orangpun disana tidak bisa. Tak satupun langkah
kaki yang terdengar. Semua bagaikan beringsut agar tidak menimbulkan
bunyi-bunyian. Gerakan-gerakan tubuh yang tidak perlupun tidak dilakukan orang.
Disudut kiri air terjun telah tersedia tiga kursi
besar yang telah dihiasi dengan daun-daun dan bunga-bunga yang indah. Entah
siapa yang menghias ketiga kursi itu, sebab kemarin sewaktu melakukan upacara
gladi resik, Sahrul tidak melihat adanya hiasan-hiasan kursi tersebut. Apalagi
mereka pulang dari tempat itu sudah sangat sore sehingga tidak mungkin rasanya
kalau ada orang yang sengaja menghiasnya semalaman. Kursi yang lebih besar dan
berada ditengah-tengah nampaknya lebih mewah hiasannya. Walaupun semua kursi
tersebut dihiasi dengan daun-daunan dan bunga-bungaan setaman, namun jelas
sekali kalau kursi yang ditengah jauh lebih mewah.
“Mungkin itulah tempat Sang Ratu Datuk Puti nantinya”
pikir Sahrul.
Kalau Sang Ratu memang akan datang, wajar saja dia
menempati tempat yang lebih tinggi dan terhormat karena semua yang ada
dikampung itu mengabdikan diri kepadanya.
Perlahan rombongan penganten disertai orangtua Ranti
berjalan menuju kursi yang telah disediakan. Sementara rombongan penabuh
alat-alat musik yang dari rumah Bandri mengiringi penganten tadi hanya sampai
dipintu masuk Altar. Hanya orangtua penganten dan rombongan pengawal Sang Ratu
yang terdiri dari para lelaki yang ditugaskan untuk mempersiapkan segala
sesuatu yang berkaiatan dengan kehadiran Sang Ratu yang mengikuti penganten
sampai ke kursi.
Sampai di kursi dekat sudut kiri air terjun Sahrul dan
Ranti dipersilakan berdiri menunggu kehadiran Sang Ratu. Bandri dan Ratih
beserta rombongan pengawal Sang Ratu kembali kearah pintu masuk Altar sambil
berjalan mundur. Tinggallah Sahrul dan Ranti berdiri diam disisi kiri kanan
kursi yang berjejer tiga buah itu. Tak terlihat reaksi apapun dari wajah
mereka. Sahrul yang semalaman diajari oleh Ranti tentang tata krama dan sikap
ketika berada di Altar nampaknya sudah bisa mengerti. Namun hatinya masih
penasaran akan diri Sang Ratu yang sebentar lagi tentu akan dilihatnya.
“Apakah Sang Ratu masih muda seperti lainnya. Dan
apakah kecantikan Sang Ratu bisa menandingi kecantikan Ranti yang selama ini
aku lihat dikampung ini tidak ada yang menandingi?” kata hati Sahrul.
Dengan hati berdebar ditunggunya Sang Ratu yang selalu
dipuja-puja warga kampung itu.
Tak lama terdengar kelompok penabuh musik masuk
memainkan bunyi-bunyian yang teratur, namun iramanya sangat aneh dan terdengar
memilukan hati. Lengkingan suara dari kerang yang ditiup terasa menusuk ke ulu
hati yang mendengarnya. Begitu mendengar bunyi musik yang disisipi kekuatan
magic itu, warga kampung yang hadir di ruang Altar itu menjatuhkan badan
menundukkan kepala dalam-dalam ke lantai dengan mengambil posisi bersujud.
Tangannya dijulurkan kedepan. Sementara beban badannya ditopang oleh kening
yang menyentuh lantai. Sebagaimana penduduk lainnya, Sahrul yang sudah
diberitahu oleh Ranti juga melakukan hal yang sama. Kendati hatinya
bertanya-tanya penasaran akan wajah Sang Ratu yang selama ini sering
didengarnya dari keluarga Ranti.
Dari arah gapura terlihat sesosok wanita cantik dan
anggun dengan pakaian kebesarannya yang sangat menawan memasuki pelataran Altar.
Keagungan dan kewibawaan yang tinggi tercermin dari parasnya yang ayu. Yang
membuat Sang Ratu lebih dibanding warga lainnya adalah sinar matanya yang
begitu memikat dan bersahaya. Dari pancaran matanya itu pula dia bisa mengatur
warga kampung itu. Tidak tampak sedikitpun kekejaman dari sudut matanya. Justru
keramahan dan kecantikannya terkadang juga diselingi dengan senyum genit yang
bisa membuai siapa saja yang memandangnya. Kalau saja bukan Sang Ratu tentu
wanita ini sudah menjadi incaran semua warga. Kewibawaannya itulah yang membuat
semua laki-laki di kampung itu tidak berani mengkhayalkan kecantikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar