Kamis, 29 Januari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 8)



“Ya. Lebih baik kita begini terus daripada kita memikirkan sesuatu yang bisa membuat kita pusing dan kehilangan gairah” kata Sahrul nakal. Saat iu yang dia tahu hanyalah bagaimana agar dapat terus melakukan hubungan dengan gadis pujaan yang sebentar lagi akan dikawininya melalui suatu upacara ritual yang sebenarnya sangat aneh baginya.
Sahrul sendiri sebenarnya merasa heran dengan tenaga yang dimilikinya. Seakan tak pernah puas-puasnya dan tak pernah habis-habisnya dia dan Ranti melakukan hubungan seksual seakan hidup di kampung Ranti hanyalah untuk mengejar kepuasan birahi semata. Tenaga yang dimiliki Sahrulpun seakan tak habis-habisnya. Berulangkali dia mencapai orgasme, namun begitu selesai mencapai puncak kenikmatan, tenaga dan gairah Sahrul kembali pulih dan hasratnya untuk berhubungan dengan Rantipun kembali membara.

Siang malam tak terhitung lagi bagi Sahrul berapa kali mereka melakukan hubungan. Rantipun dilihatnya tak pernah puas-puasnya  dan tak pernah lelah. Jangankan menolak untuk melakukan hubungan, Sahrul terlambat sedikit saja, Ranti selalu mengambil inisiatif untuk melakukannya.
Sangat berbeda dibandingkan dengan istrinya Siti yang ditinggalkannya di Lubuk Pisang. Dalam perkawinannya dengan Siti yang baru beberapa hari, boleh dibilang Sahrul dan Siti baru melakukan hubungan beberapa kali saja. Itupun sewaktu malam hari tiba. Sangat tidak memungkinkan rasanya bagi mereka untuk melakukan hubungan suami istri di siang hari. Apalagi mereka masih tinggal di rumah mertua, yakni Datuk Sati. Lagian, baik Sahrul maupun Siti memiliki kemampuan dan hasrat yang terbatas sehingga mereka hanya menjalankan kewajiban sebagaimana layaknya penganten baru di kampungnya.
Hari yang dinanti-nanti banyak orang di kampung itu akhirnya tiba. Pagi-pagi sekali telah terdengar  bunyi tabuh-tabuhan menyemarakkan keheningan kampung di pagi hari.
Sementara, di rumah Bandri kedua penganten telah dihiasi dengan pakaian mewah dan beraroma bunga-bunga setaman. Asap-asapan dupa disudut-sudut kampung sudah tercium menyengat hidung. Penduduk hilir mudik dengan satu tujuan mensukseskan upacara ritual. Tidak seperti hari kemarin, hari ini kaum lelaki lebih tampak banyak dan sibuk dengan pakaian beraneka warna. Namun mereka lebih banyak disibukkan dengan kegiatan untuk menyambut kehadiran Sang Ratu Datuk Puti.
Selang beberapa saat setelah calon penganten usai dirias, datang rombongan muda-mudi dan orang-orang tua menjemput kedua calon mempelai dan orangtuanya untuk segera berangkat menuju Altar.
Sahrul turun dari rumah itu didampingi oleh Ratih, calon mertua perempuannya. Sementara dibelakang, Ranti digandeng oleh Bandri, ayahnya.
Tetangga mereka mengiringi dari belakang dengan membawa berbagai jamba (tempat menyimpan berbagai macam makanan yang khusus dibawa dalam iring-iringan penganten sebagai barang bawaan keluarga mempelai) yang dihias dengan daun-daun dan bunga-bunga aneka warna.
Di depan rombongan, telah siap regu alat musik dan genderang dari berbagai bentuk dan ukuran. Yang paling menonjol dari semua alat musik itu adalah terompet-terompet yang terbuat dari kerang-kerang besar dan berbunyi melengking dan bergemuruh ketika ditiup pemainnya.
Sementara pemandu rombongan dengan berbagai atraksi yang penuh nuansa ritualnya tidak henti-hentinya melakukan gerakan-gerakan aneh yang bagi orang awam bisa dibilang lucu disaat melewati jalan-jalan berbelok dan mendaki.

Sahrul hanya terpana melihat keramaian upacara itu. Apalagi disepanjang jalan mereka ditonton oleh ratusan pasang mata penduduk yang sengaja menunggu lewatnya rombongan.
“Betul-betul upacara yang dipersiapkan dengan matang” pikir Sahrul.
Betapa tersanjungnya dia mendapat perlakuan seperti itu. Kemeriahan pesta itu sangat jauh berbeda dengan apa yang sudah dialaminya di Lubuk Pisang ketika menyunting Siti dulu. Semakin yakinlah Sahrul kalau Ranti yang dipersuntingnya adalah anak dari keluarga terhormat di kampung itu.
Memasuki arena Altar, tak satupun dari alat musik ataupun suara orang yang tadinya ramai terdengar lagi. Semua orang seakan maklum kalau mereka sudah memasuki tempat suci yang harus dijaga ketenangannya. Bahkan untuk mendengar bisikkan orangpun disana tidak bisa. Tak satupun langkah kaki yang terdengar. Semua bagaikan beringsut agar tidak menimbulkan bunyi-bunyian. Gerakan-gerakan tubuh yang tidak perlupun tidak dilakukan orang.
Disudut kiri air terjun telah tersedia tiga kursi besar yang telah dihiasi dengan daun-daun dan bunga-bunga yang indah. Entah siapa yang menghias ketiga kursi itu, sebab kemarin sewaktu melakukan upacara gladi resik, Sahrul tidak melihat adanya hiasan-hiasan kursi tersebut. Apalagi mereka pulang dari tempat itu sudah sangat sore sehingga tidak mungkin rasanya kalau ada orang yang sengaja menghiasnya semalaman. Kursi yang lebih besar dan berada ditengah-tengah nampaknya lebih mewah hiasannya. Walaupun semua kursi tersebut dihiasi dengan daun-daunan dan bunga-bungaan setaman, namun jelas sekali kalau kursi yang ditengah jauh lebih mewah.
“Mungkin itulah tempat Sang Ratu Datuk Puti nantinya” pikir Sahrul.
Kalau Sang Ratu memang akan datang, wajar saja dia menempati tempat yang lebih tinggi dan terhormat karena semua yang ada dikampung itu mengabdikan diri kepadanya.
Perlahan rombongan penganten disertai orangtua Ranti berjalan menuju kursi yang telah disediakan. Sementara rombongan penabuh alat-alat musik yang dari rumah Bandri mengiringi penganten tadi hanya sampai dipintu masuk Altar. Hanya orangtua penganten dan rombongan pengawal Sang Ratu yang terdiri dari para lelaki yang ditugaskan untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaiatan dengan kehadiran Sang Ratu yang mengikuti penganten sampai ke kursi.
Sampai di kursi dekat sudut kiri air terjun Sahrul dan Ranti dipersilakan berdiri menunggu kehadiran Sang Ratu. Bandri dan Ratih beserta rombongan pengawal Sang Ratu kembali kearah pintu masuk Altar sambil berjalan mundur. Tinggallah Sahrul dan Ranti berdiri diam disisi kiri kanan kursi yang berjejer tiga buah itu. Tak terlihat reaksi apapun dari wajah mereka. Sahrul yang semalaman diajari oleh Ranti tentang tata krama dan sikap ketika berada di Altar nampaknya sudah bisa mengerti. Namun hatinya masih penasaran akan diri Sang Ratu yang sebentar lagi tentu akan dilihatnya.
“Apakah Sang Ratu masih muda seperti lainnya. Dan apakah kecantikan Sang Ratu bisa menandingi kecantikan Ranti yang selama ini aku lihat dikampung ini tidak ada yang menandingi?” kata hati Sahrul.
Dengan hati berdebar ditunggunya Sang Ratu yang selalu dipuja-puja warga kampung itu.
Tak lama terdengar kelompok penabuh musik masuk memainkan bunyi-bunyian yang teratur, namun iramanya sangat aneh dan terdengar memilukan hati. Lengkingan suara dari kerang yang ditiup terasa menusuk ke ulu hati yang mendengarnya. Begitu mendengar bunyi musik yang disisipi kekuatan magic itu, warga kampung yang hadir di ruang Altar itu menjatuhkan badan menundukkan kepala dalam-dalam ke lantai dengan mengambil posisi bersujud. Tangannya dijulurkan kedepan. Sementara beban badannya ditopang oleh kening yang menyentuh lantai. Sebagaimana penduduk lainnya, Sahrul yang sudah diberitahu oleh Ranti juga melakukan hal yang sama. Kendati hatinya bertanya-tanya penasaran akan wajah Sang Ratu yang selama ini sering didengarnya dari keluarga Ranti.
Dari arah gapura terlihat sesosok wanita cantik dan anggun dengan pakaian kebesarannya yang sangat menawan memasuki pelataran Altar. Keagungan dan kewibawaan yang tinggi tercermin dari parasnya yang ayu. Yang membuat Sang Ratu lebih dibanding warga lainnya adalah sinar matanya yang begitu memikat dan bersahaya. Dari pancaran matanya itu pula dia bisa mengatur warga kampung itu. Tidak tampak sedikitpun kekejaman dari sudut matanya. Justru keramahan dan kecantikannya terkadang juga diselingi dengan senyum genit yang bisa membuai siapa saja yang memandangnya. Kalau saja bukan Sang Ratu tentu wanita ini sudah menjadi incaran semua warga. Kewibawaannya itulah yang membuat semua laki-laki di kampung itu tidak berani mengkhayalkan kecantikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar