Sesampainya dihadapan batu besar ceper yang mereka
jadikan Altar itu, Sang Ratu berdiri dan menunduk sejenak. Sedangkan dibelakangnya
Ranti dan Sahrul tertunduk lebih dalam lagi. Tak lama berselang Sang Ratu naik
ke atas batu ceper besar itu. Tadinya Ranti dan Sahrul merasa ragu untuk
mengikuti langkah Sang Ratu naik keatas batu ceper itu karena sebelumnya dalam
gladi resik persiapan upacara perkawinan mereka tidak dijelaskan terlebih
dahulu, namun sebagaimana upacara-upacara perkawinan yang selama ini
berlangsung di desa itu, beberapa upacara perkawinan juga ada yang dilengkapi
dengan naiknya Sang Ratu dan kedua penganten keatas batu Altar. Sedang upacara-upacara
yang tidak terlalu istimewa, kendati dihadiri oleh Sang Ratu banyak yang tidak
dilengkapi dengan pemberkatan perkawinan di atas Altar. Begitu juga dengan saat
ini, yang berarti bahwa kedua penganten dan keluarganya mendapat kehormatan
dari Sang Ratu dengan melakukan pemberkatan perkawinan mereka di atas Altar.
Melihat Sang Ratu menaiki Altar, segera Ranti yang sangat gembira menyaksikan
kenyataan itu mengikutinya dan kemudian disusul oleh Sahrul. Kendati tidak tahu
apa yang diperbuatnya, dia hanya mengikuti langkah apa yang dilakukan oleh Ranti.
Baru kali ini Sahrul naik keatas batu ceper hitam yang
mereka jadikan Altar itu. Sehari sebelumnya dalam persiapan upacara perkawinan
tidak ada latihan naik keatas Altar sehingga Sahrul benar-benar bingung akan
apa yang harus diperbuatnya. Sahrul yang tidak menduga sama sekali akan adanya
prosesi yang mengharuskan mereka naik keatas Altar hanya bengong dan mengikut
saja dari belakang. Sesekali diliriknya Ranti untuk menyamakan gerakan sehingga
apa yang dilakukan Ranti ditiru oleh Sahrul.
Sang Ratu membalikkan badannya dan berhadapan dengan
kedua mempelai. Ranti dan Sahrul hanya tertunduk dengan posisi jongkok. Sang Ratu
mengangkat tangannya dan kembali terdengar gemuruh yang tidak jelas dari
mulutnya. Nampaknya dia sedang membaca mantera dengan mulut yang tak
henti-hentinya berkomat kamit.
Perlahan diturunkannya tangannya dan diletakkannya
dikepala kedua mempelai yang tertunduk itu.
“Sang Penguasa merestui kalian. Aku merestui kalian
dan aku turut bahagia dalam kebahagiaan kalian. Mulai sekarang kau akan menjadi
warga kehormatan di Kampung Lubuk Lungun ini dengan hak-hak istimewa tingkat II”
katanya yang jelas sekali ditujukan kepada Sahrul.
Ranti dan Sahrul tidak memberikan reaksi apapun atas
restu yang baru saja diucapkan Sang Ratu. Mereka tetap dalam posisi berjongkok
dan menunduk. Kendati tidak mengerti dengan maksud Sang Ratu memberikannya
hak-hak istimewa tingkat II, tetapi Sahrul hanya diam dengan menyimpan
pertanyaan untuk nantinya ditanyakannya kepada Ranti sesampainya mereka dirumah.
Bahkan nama Kampung Lubuk Lungun itupun baru diketahui oleh Sahrul setelah Sang
Ratu mengucapkan kalimat-kalimat pemberkatannya yang menyatakan dia diterima
menjadi warga kehormatan Kampung Lubuk Lungun.
Usai mengucapkan restunya Sang Ratu kembali mengangkat
tangannya dan suara gemuruh yang tak jelas kembali terdengar dari mulut
mungilnya yang sangat dikagumi Sahrul.
Tak lama diapun turun dengan posisi mundur. Ranti
hanya terdiam, begitu juga dengan Sahrul yang menunggu respon dari Ranti. Begitu
Sang Ratu telah menginjakkan kakinya di tanah, berangsur Ranti dan Sahrul
merangkak mundur dan turun dari Altar itu.
Begitu kaki mereka menginjak tanah, kedua penganten
itupun berjalan mundur menuju kursi yang telah disediakan. Alangkah kagetnya
Sahrul begitu dilihatnya Sang Ratu telah duduk dikursinya tadi sementara kursi
tengah masih kosong. Apalagi kemaren tidak sedikitpun masalah pergantian kursi
ini disinggung oleh pemandunya maupun oleh Ranti.
“Apa yang harus kulakukan. Apa mungkin aku yang
disuruh duduk dikursi tengah?” bisik hatinya.
Ditunggunya Ranti duduk duluan. Kejadian ini
benar-benar diluar dugaannya karena dia tidak diberitahu dalam persiapan
upacara yang mereka gunakan sebagai gladi resik kemarin. Dengan memberanikan
diri Sahrul hanya berdiri seakan menunggu aba-aba tentang apa yang harus
dilakukannya dengan kejadian begini.
“Anak muda, duduklah. Itulah tempatmu” terdengar suara
Sang Ratu memberikan sabda.
“Hamba, Yang Mulya” jawab Sahrul.
Sahrul tak berani bertanya, apalagi membantah. Dia hanya
tahu bahwa dia harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan Sang ratu.
Posisi duduk Sahrul diapit oleh dua orang wanita
cantik, yang satu istrinya dan satu lagi Sang Ratu yang akan menjadi
sesembahannya. Rasa penasaran akan kecantikan Sang Ratu sangat mengganggu pikiran
Sahrul. Apalagi samar-samar dan semakin jelas, aroma wewangian yang dipakai
Sang Ratu menusuk hidungnya. Wewangian itu begitu membuat Sahrul merasa
terangsang. Betapa tidak, wewangian itu memang khas aromanya dan berpengaruh
terhadap nafsu birahi siapapun yang menghirup kesegarannya.
Tak tahan dengan wewangian yang menusuk ke lubang hidung
dan hatinya, Sahrul memberanikan diri untuk mencuri pandang kearah Sang Ratu
dengan sudut matanya. Upaya keras untuk bisa melihat Sang Ratu dengan sudut
matanya membuat mata Sahrul cukup perih. Tapi rasa penasaran memaksa matanya
untuk lari dari jalur penglihatan yang normal. Sedang untuk memalingkan sedikit
wajahnya sekedar melihat Sang Ratu sama sekali Sahrul tak berani.
Begitu sudut matanya berhasil mencapai sosok tubuh
Sang Ratu yang sedang duduk disisi kanannya, alangkah terkejut dan gugupnya
Sahrul begitu didapatinya Sang Ratu
sedang memandang mesra kepadanya dengan senyuman kecil yang lebih mengarah
kepada senyuman nakal ketimbang senyum berwibawa seorang ratu.
Dengan gugup dan grogi karena ketahuan mencuri
pandang, Sahrul hanya nyengir dan cepat-cepat memperbaiki sikapnya dalam
menghadapi Sang Ratu.
Acara-acara lain yang menyusul seakan tidak dihiraukan
lagi oleh Sahrul. Dihatinya saat ini hanya ada khayalan akan kemolekkan tubuh
dan kecantikan Sang Ratu. Dilihat dari usia, nampaknya Sang Ratu tidak jauh
berbeda dari Ranti. Bahkan kecantikannya jauh diatas Ranti. Walaupun dikampung itu
selama ini Sahrul tidak menemukan adanya gadis-gadis yang lebih cantik dari
Ranti.
“Apa yang harus aku perbuat, nampaknya Sang Ratu tidak
keberatan aku melihat kepadanya. Tapi akan sangat lancang bagiku untuk
memberanikan diri melihat dia lebih jelas lagi” pikir hati Sahrul.
Ditahan-tahannya gejolak nafsu birahi kepada Sang Ratu
yang ditimbulkan oleh kecantikan, senyum dan aroma wewangian yang dipakai Sang Ratu.
Sedang acara demi acara yang digelar tidak satupun yang menjadi perhatian
Sahrul. Padahal selain tarian pertama tadi masih ada beberapa tarian yang
dilakukan oleh kelompok muda-mudi penari tadi.
Sang Ratu sendiri jelas sekali tidak turut menikmati
hiburan-hiburan ritual yang dilakukan para penari. Pikiran dan matanya tertuju
ke arah Sahrul. Tidak satu kalipun dia berkedip. Bahkan hatinya berharap kalau
Sahrul memberanikan diri untuk menatapnya lagi agar isyarat-isyarat cinta dan
nafsu birahi bisa ditunjukkannya kepada lelaki tampan yang telah beruntung
mempersunting Ranti itu. Namun harapan Sang Ratu untuk dapat bertemu pandang
dengan Sahrul sia-sia belaka karena Sahrul begitu takutnya untuk bersikap
lancang. Apalagi kepada Sang Ratu yang dipuja-puja dan disembah warga kampung
itu.
Kelompok penari yang membawakan tarian terakhir telah
usai melakukan tugasnya dan berangsur meninggalkan pelataran halaman Altar itu.
Namun Sang Ratu yang dari tadi terus menerus memandang kagum kearah Sahrul seakan
tidak sadar akan apa yang seharusnya dilakukan selanjutnya. Tentu saja semua
yang hadir di pelataran itu tidak ada yang berani beranjak ataupun mengeluarkan
suara sedikitpun. Mengingat semua acara yang harus dilakukan harus berdasarkan
perintah Sang Ratu. Tidak ada yang berhak untuk mengeluarkan suara sedikitpun
di pelataran air terjun itu selain Sang Ratu sendiri.
Sama dengan Mitos tentang Orang Bunian di kampung saya di Kalimantan Barat
BalasHapus