Sabtu, 31 Januari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 10)



Sesampainya dihadapan batu besar ceper yang mereka jadikan Altar itu, Sang Ratu berdiri dan menunduk sejenak. Sedangkan dibelakangnya Ranti dan Sahrul tertunduk lebih dalam lagi. Tak lama berselang Sang Ratu naik ke atas batu ceper besar itu. Tadinya Ranti dan Sahrul merasa ragu untuk mengikuti langkah Sang Ratu naik keatas batu ceper itu karena sebelumnya dalam gladi resik persiapan upacara perkawinan mereka tidak dijelaskan terlebih dahulu, namun sebagaimana upacara-upacara perkawinan yang selama ini berlangsung di desa itu, beberapa upacara perkawinan juga ada yang dilengkapi dengan naiknya Sang Ratu dan kedua penganten keatas batu Altar. Sedang upacara-upacara yang tidak terlalu istimewa, kendati dihadiri oleh Sang Ratu banyak yang tidak dilengkapi dengan pemberkatan perkawinan di atas Altar. Begitu juga dengan saat ini, yang berarti bahwa kedua penganten dan keluarganya mendapat kehormatan dari Sang Ratu dengan melakukan pemberkatan perkawinan mereka di atas Altar. Melihat Sang Ratu menaiki Altar, segera Ranti yang sangat gembira menyaksikan kenyataan itu mengikutinya dan kemudian disusul oleh Sahrul. Kendati tidak tahu apa yang diperbuatnya, dia hanya mengikuti langkah apa yang dilakukan oleh Ranti.

Baru kali ini Sahrul naik keatas batu ceper hitam yang mereka jadikan Altar itu. Sehari sebelumnya dalam persiapan upacara perkawinan tidak ada latihan naik keatas Altar sehingga Sahrul benar-benar bingung akan apa yang harus diperbuatnya. Sahrul yang tidak menduga sama sekali akan adanya prosesi yang mengharuskan mereka naik keatas Altar hanya bengong dan mengikut saja dari belakang. Sesekali diliriknya Ranti untuk menyamakan gerakan sehingga apa yang dilakukan Ranti ditiru oleh Sahrul.
Sang Ratu membalikkan badannya dan berhadapan dengan kedua mempelai. Ranti dan Sahrul hanya tertunduk dengan posisi jongkok. Sang Ratu mengangkat tangannya dan kembali terdengar gemuruh yang tidak jelas dari mulutnya. Nampaknya dia sedang membaca mantera dengan mulut yang tak henti-hentinya berkomat kamit.
Perlahan diturunkannya tangannya dan diletakkannya dikepala kedua mempelai yang tertunduk itu.
“Sang Penguasa merestui kalian. Aku merestui kalian dan aku turut bahagia dalam kebahagiaan kalian. Mulai sekarang kau akan menjadi warga kehormatan di Kampung Lubuk Lungun ini dengan hak-hak istimewa tingkat II” katanya yang jelas sekali ditujukan kepada Sahrul.
Ranti dan Sahrul tidak memberikan reaksi apapun atas restu yang baru saja diucapkan Sang Ratu. Mereka tetap dalam posisi berjongkok dan menunduk. Kendati tidak mengerti dengan maksud Sang Ratu memberikannya hak-hak istimewa tingkat II, tetapi Sahrul hanya diam dengan menyimpan pertanyaan untuk nantinya ditanyakannya kepada Ranti sesampainya mereka dirumah. Bahkan nama Kampung Lubuk Lungun itupun baru diketahui oleh Sahrul setelah Sang Ratu mengucapkan kalimat-kalimat pemberkatannya yang menyatakan dia diterima menjadi warga kehormatan Kampung Lubuk Lungun.
Usai mengucapkan restunya Sang Ratu kembali mengangkat tangannya dan suara gemuruh yang tak jelas kembali terdengar dari mulut mungilnya yang sangat dikagumi Sahrul.
Tak lama diapun turun dengan posisi mundur. Ranti hanya terdiam, begitu juga dengan Sahrul yang menunggu respon dari Ranti. Begitu Sang Ratu telah menginjakkan kakinya di tanah, berangsur Ranti dan Sahrul merangkak mundur dan turun dari Altar itu.
Begitu kaki mereka menginjak tanah, kedua penganten itupun berjalan mundur menuju kursi yang telah disediakan. Alangkah kagetnya Sahrul begitu dilihatnya Sang Ratu telah duduk dikursinya tadi sementara kursi tengah masih kosong. Apalagi kemaren tidak sedikitpun masalah pergantian kursi ini disinggung oleh pemandunya maupun oleh Ranti.
“Apa yang harus kulakukan. Apa mungkin aku yang disuruh duduk dikursi tengah?” bisik hatinya.
Ditunggunya Ranti duduk duluan. Kejadian ini benar-benar diluar dugaannya karena dia tidak diberitahu dalam persiapan upacara yang mereka gunakan sebagai gladi resik kemarin. Dengan memberanikan diri Sahrul hanya berdiri seakan menunggu aba-aba tentang apa yang harus dilakukannya dengan kejadian begini.
“Anak muda, duduklah. Itulah tempatmu” terdengar suara Sang Ratu memberikan sabda.
“Hamba, Yang Mulya” jawab Sahrul.
Sahrul tak berani bertanya, apalagi membantah. Dia hanya tahu bahwa dia harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan Sang ratu.
Posisi duduk Sahrul diapit oleh dua orang wanita cantik, yang satu istrinya dan satu lagi Sang Ratu yang akan menjadi sesembahannya. Rasa penasaran akan kecantikan Sang Ratu sangat mengganggu pikiran Sahrul. Apalagi samar-samar dan semakin jelas, aroma wewangian yang dipakai Sang Ratu menusuk hidungnya. Wewangian itu begitu membuat Sahrul merasa terangsang. Betapa tidak, wewangian itu memang khas aromanya dan berpengaruh terhadap nafsu birahi siapapun yang menghirup kesegarannya.
Tak tahan dengan wewangian yang menusuk ke lubang hidung dan hatinya, Sahrul memberanikan diri untuk mencuri pandang kearah Sang Ratu dengan sudut matanya. Upaya keras untuk bisa melihat Sang Ratu dengan sudut matanya membuat mata Sahrul cukup perih. Tapi rasa penasaran memaksa matanya untuk lari dari jalur penglihatan yang normal. Sedang untuk memalingkan sedikit wajahnya sekedar melihat Sang Ratu sama sekali Sahrul tak berani.
Begitu sudut matanya berhasil mencapai sosok tubuh Sang Ratu yang sedang duduk disisi kanannya, alangkah terkejut dan gugupnya Sahrul  begitu didapatinya Sang Ratu sedang memandang mesra kepadanya dengan senyuman kecil yang lebih mengarah kepada senyuman nakal ketimbang senyum berwibawa seorang ratu.
Dengan gugup dan grogi karena ketahuan mencuri pandang, Sahrul hanya nyengir dan cepat-cepat memperbaiki sikapnya dalam menghadapi Sang Ratu.
Acara-acara lain yang menyusul seakan tidak dihiraukan lagi oleh Sahrul. Dihatinya saat ini hanya ada khayalan akan kemolekkan tubuh dan kecantikan Sang Ratu. Dilihat dari usia, nampaknya Sang Ratu tidak jauh berbeda dari Ranti. Bahkan kecantikannya jauh diatas Ranti. Walaupun dikampung itu selama ini Sahrul tidak menemukan adanya gadis-gadis yang lebih cantik dari Ranti.
“Apa yang harus aku perbuat, nampaknya Sang Ratu tidak keberatan aku melihat kepadanya. Tapi akan sangat lancang bagiku untuk memberanikan diri melihat dia lebih jelas lagi” pikir hati Sahrul.
Ditahan-tahannya gejolak nafsu birahi kepada Sang Ratu yang ditimbulkan oleh kecantikan, senyum dan aroma wewangian yang dipakai Sang Ratu. Sedang acara demi acara yang digelar tidak satupun yang menjadi perhatian Sahrul. Padahal selain tarian pertama tadi masih ada beberapa tarian yang dilakukan oleh kelompok muda-mudi penari tadi.
Sang Ratu sendiri jelas sekali tidak turut menikmati hiburan-hiburan ritual yang dilakukan para penari. Pikiran dan matanya tertuju ke arah Sahrul. Tidak satu kalipun dia berkedip. Bahkan hatinya berharap kalau Sahrul memberanikan diri untuk menatapnya lagi agar isyarat-isyarat cinta dan nafsu birahi bisa ditunjukkannya kepada lelaki tampan yang telah beruntung mempersunting Ranti itu. Namun harapan Sang Ratu untuk dapat bertemu pandang dengan Sahrul sia-sia belaka karena Sahrul begitu takutnya untuk bersikap lancang. Apalagi kepada Sang Ratu yang dipuja-puja dan disembah warga kampung itu.
Kelompok penari yang membawakan tarian terakhir telah usai melakukan tugasnya dan berangsur meninggalkan pelataran halaman Altar itu. Namun Sang Ratu yang dari tadi terus menerus memandang kagum kearah Sahrul seakan tidak sadar akan apa yang seharusnya dilakukan selanjutnya. Tentu saja semua yang hadir di pelataran itu tidak ada yang berani beranjak ataupun mengeluarkan suara sedikitpun. Mengingat semua acara yang harus dilakukan harus berdasarkan perintah Sang Ratu. Tidak ada yang berhak untuk mengeluarkan suara sedikitpun di pelataran air terjun itu selain Sang Ratu sendiri.

1 komentar:

  1. Sama dengan Mitos tentang Orang Bunian di kampung saya di Kalimantan Barat

    BalasHapus