Selasa, 27 Januari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 6)



Sampai ditempat yang mereka tuju, dua buah batu besar yang berbentuk sama terpasang disisi kiri dan kanan jalan menuju tempat yang selama ini mereka sebut-sebut sebagai altar. Sahrul merasa asing berada ditempat itu mengingat selama ini bayangannya akan tempat pesta adalah suatu tempat yang terang benderang dan disemarakkan oleh hiasan-hiasan yang beraneka warna. Yang ada ditempat itu hanyalah suatu pelataran yang lebih terang dan bersih yang mana disekeliling pelataran itu terdapat tanah-tanah berbukit yang melingkupinya sehingga tempat itu benar-benar terkurung dari tempat lainnya. Namun lantai tanah pelataran itu bukan dari tanah melainkan dari batu hitam yang basah, tapi tidak licin. Suasana di pelataran itu dingin dan berembun. Embun yang berasal dari uap air terjun yang diterbangkan angin. Memang berhadapan dengan batu gapura yang dipakai sebagai pintu gerbang itu, terdapat air terjun yang cukup tinggi. Disisi air terjun itu ada sebuah lorong yang diatasnya terdapat sebuah batu besar yang menjorok sekitar satu meter keluar dari bukit batu itu. Lorong yang berada dibawah batu menjorok itu merupakan satu-satunya jalan menuju altar yang menjadi pusat persembahan warga kampung itu.

Sesampainya dimulut pelataran melewati gapura yang terbuat dari dua onggok batu yang serupa, Bandri berhenti disisi-sisi pelataran. Tidak ada satu suara apapun diantara mereka yang membuat mereka untuk sepakat tidak melanjutkan perjalanan menuju lorong disisi kiri air terjun itu. Demikian juga dengan beberapa laki-laki yang tadinya mendampingi kedua penganten berkeliling kampung dan memasuki pelataran suci itu. Diantara mereka, hanya lelaki yang berperawakan besar dan berpakaian bagus itu saja yang tetap berjalan diiringi oleh kedua penganten menuju lorong menuju altar.
Seperti apa yang dikatakan Ranti sebelum mereka sampai di gapura Altar tadi, tidak ada satu orangpun dari rombongan itu yang berani mengeluarkan suara. Benar-benar tempat itu menjadi tempat  sakral yang dijaga warga kampung kesuciannya.
Altar yang dimaksud oleh warga kampung Ranti ternyata benar-benar sebuah batu besar yang datar dan berada dibawah air terjun yang cukup tinggi. Untuk memasuki altar tersebut, peserta upacara adat atau upacara-upacara sakral lainnya harus lewat lorong tadi. Bagian tanah yang terlindung oleh batu menjorok tersebut cukup kering namun tetap saja lembab. Apalagi uap yang dihembuskan angin dari air terjun itu seakan seperti embun pagi yang bisa membuat tubuh menggigil jika tidak terbiasa ketempat-tempat seperti itu.
Sahrul seperti warga lainnya yang banyak datang menemani rombongan calon penganten itu hanya diam. Tak satu suarapun terdengar dari orang-orang yang ada disana. Seakan tidak ada yang berani buka mulut. Bahkan untuk mendehem atau batuk sekalipun. Sahrul yang bertanya-tanya dalam hati berusaha menggamit tangan Ranti. Mana tahu dengan gamitan tangan itu, Ranti bisa mengerti dan tanpa diminta akan menje;askan apa yang menjadi pertanyaan bagi orang-orang yang belum pernah berkunjung kesana, walaupun tadinya Ranti telah menjelaskan tabunya berbicara atau mengeluarkan bunyi-bunyian di dalam pelataran tempat suci itu. Tentu saja Ranti tidak berkomentar dan tidak menunjukkan reaksi apapun atas gamitan tangan Sahrul. Nampak sekali bahwa Ranti dan yang lainnya sangat khusu’ dalam memasuki tempat itu.
Tak ada penjelasan sedikitpun yng bisa diperoleh Sahrul dalam arena upacara yang akan dimasukinya besok. Bagaimana dia tahu apa yang harus dilakukannya besok ditempat asing ini kalau tidak satupun penjelasan yang didapatnya. Sementara untuk menunggu penjelasan dari Ranti akan semua ini tentunya dia harus menunggu mereka sampai di rumah terlebih dahulu. Atau sekurang-kurangnya kalau mereka sudah sampai di luar pelataran suci itu.
Rombongan yang mengiringi calon penganten itu hanya berdiri tertunduk disisi-sisi pelataran tempat suci tersebut. Seakan tidak ada yang berani mendekat ke arah altar. Bandri dan Ratihpun hanya berdiri disisi-sisi pelataran itu. Namun tidak demikian dengan lelaki berpakaian gagah yang dari tadi mengiringi mereka. Nampaknya diantara lelaki yang  menjemput mereka itu, orang yang berpakaian paling mewah itulah pemimpinnya. Dia berjalan menuju altar. Dibelakangnya Ranti mengikuti tanpa memberi aba-aba kepada Sahrul sedikitpun. Namun firasat Sahrul menyuruhnya untuk mengikuti Ranti. Bagaimanapun dia adalah calon penganten, tentu dia harus mengikuti langkah Ranti untuk mengetahui apa yang harus mereka lakukan esok harinya. Disisi kiri air terjun dekat jalan masuk ke arah altar itu terdapat tiga buah kursi batu tua yang hitam legam dan mengkilat karena dibasahi oleh uap air yang dihembuskan angin dari arah air terjun.
Lelaki berpakaian lebih bagus itu berjalan memasuki lorong yang diatasnya terdapat batu yang menjorok sekitar satu meter keluar dari tebing yang dapat berfungsi sebagai pelindung bagi orang yang lewat dibawahnya. Bawah batu menjorok itu akhirnya digunakan peserta upacara sebagai lorong menuju altar suci yang mereka sembah. Dibelakang lelaki berbaju bagus itu Ranti dan Sahrul mengikuti dengan patuh tanpa adanya komando atau pemberitahuan.
Berjalan dilorong batu itu membuat Sahrul merasa kedinginan. Betapa tidak, hembusan air yang menerpa wajah mereka mengandung uap air  yang bersumber dari air terjun yang tepat ada diatas kepala mereka. Bukan hanya perasaan dingin yang Sahrul rasakan, namun wajahnya juga telah nampak basah bagai butiran keringat yang memenuhi wajah. Namun ketika dilihatnya Ranti dan lelaki besar itu, mereka seakan tidak merasakan dinginnya uap air yang menerpa wajah dan tubuh mereka.
Sesampainya mereka dekat batu besar ceper yang mereka sebut sebagai altar itu, lelaki itu melakukan sembah sujud yang diikuti oleh Sahrul dan Ranti.
Usai melakukan sembah sujud, mereka keluar melewati lorong yang dilindungi batu menjorok tadi. Namun kali ini mereka berjalan mundur seakan tidak boleh membelakangi altar, tempat yang mereka sucikan.
Sesampainya dekat kursi, lelaki itu hanya berdiri tepat didepan kursi tengah. Sedang Ranti dan Sahrul mundur beberapa tindak untuk kemudian duduk dikursi kiri-kanan kursi besar tadi. Bukan karena lancang Sahrul duduk di kursi itu,  namun karena dilihatnya Ranti duduk makanya Sahrul memberanikan diri juga untuk duduk.
Tak lama mereka duduk, lelaki besar yang tidak duduk itu kembali berjalan mundur meninggalkan ruangan itu. Ranti dan Sahrul hanya mengikuti dari belakang.
Usai mengelilingi tempat itu, ketika kembali rombongan nampaknya dilarang membalikkan tubuh dan membelakangi altar itu. Sehingga untuk meninggalkan tempat itu mereka diharuskan berjalan mundur sampai tiba di gapura yang berfungsi sebagai pintu gerbang masuk ke komplek yang disucikan itu.
“Aneh. Kenapa ada adat istiadat yang sangat jauh berbeda dengan kebiasaan di Lubuk Pisang, ya?” tanya Sahrul berulang kali dalam hatinya.
Namun keanehan dan ketidakwajaran yang sudah berapa lama ini dirasakannya tidak satupun yang berhasil terjawab. Bahkan untuk bertanya kepada Ranti tentang masalah inipun Sahrul tidak pernah berhasil.
Dalam perjalanan pulang kerumah Ranti, rombongan disambut dan dielu-elukan warga disepanjang jalan dengan puji-pujian dan kekaguman yang berlebihan seakan mereka berdua adalah pasangan paling bahagia dan serasi di abad ini.
Rata-rata dari warga kampung yang mengelu-elukan rombongan penganten itu adalah wanita-wanita yang tergolong masih muda dan kecantikannya diatas rata-rata wanita yang pernah dilihat Sahrul selama ini dikampungnya bahkan di kota kecamatan sekalipun. Kendati ada ibu dan anak yang menyambut mereka namun usia mereka antara kedua anak beranak itu tidak jauh terpaut. Bahkan lebih pantas dikatakan kalau mereka berdua kakak beradik.
Tidak banyak lelaki yang turut menyambut lewatnya rombongan calon penganten yang akan mengadakan pesta besok harinya itu. Selain ayah Ranti dan para pengawal Sang Ratu, Sahrul baru bertemu dengan tiga orang lelaki di kampung itu yang terlibat dan persiapan maupun penyambutan pesta perkawinan mereka. Itupun dua diantaranya adalah juru kunci penjaga altar dan satunya lagi orang yang sedang lewat membawa air dalam dua buah tempat dari pelepah pinang yang dibentuk menjadi tempat air yang digantungkan diujung-ujung pikulan. Lelaki yang terlihat oleh Sahrul itu hanya bekerja saja tanpa menghiraukan adanya keramaian dikampungnya. Tidak seperti hari pertama dia datang yang disambut oleh warga kampung baik pria maupun wanitanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar