Sampai ditempat yang mereka tuju, dua buah batu besar
yang berbentuk sama terpasang disisi kiri dan kanan jalan menuju tempat yang
selama ini mereka sebut-sebut sebagai altar. Sahrul merasa asing berada
ditempat itu mengingat selama ini bayangannya akan tempat pesta adalah suatu
tempat yang terang benderang dan disemarakkan oleh hiasan-hiasan yang beraneka
warna. Yang ada ditempat itu hanyalah suatu pelataran yang lebih terang dan
bersih yang mana disekeliling pelataran itu terdapat tanah-tanah berbukit yang
melingkupinya sehingga tempat itu benar-benar terkurung dari tempat lainnya.
Namun lantai tanah pelataran itu bukan dari tanah melainkan dari batu hitam
yang basah, tapi tidak licin. Suasana di pelataran itu dingin dan berembun.
Embun yang berasal dari uap air terjun yang diterbangkan angin. Memang
berhadapan dengan batu gapura yang dipakai sebagai pintu gerbang itu, terdapat
air terjun yang cukup tinggi. Disisi air terjun itu ada sebuah lorong yang
diatasnya terdapat sebuah batu besar yang menjorok sekitar satu meter keluar
dari bukit batu itu. Lorong yang berada dibawah batu menjorok itu merupakan
satu-satunya jalan menuju altar yang menjadi pusat persembahan warga kampung
itu.
Sesampainya dimulut pelataran melewati gapura yang
terbuat dari dua onggok batu yang serupa, Bandri berhenti disisi-sisi
pelataran. Tidak ada satu suara apapun diantara mereka yang membuat mereka
untuk sepakat tidak melanjutkan perjalanan menuju lorong disisi kiri air terjun
itu. Demikian juga dengan beberapa laki-laki yang tadinya mendampingi kedua
penganten berkeliling kampung dan memasuki pelataran suci itu. Diantara mereka,
hanya lelaki yang berperawakan besar dan berpakaian bagus itu saja yang tetap
berjalan diiringi oleh kedua penganten menuju lorong menuju altar.
Seperti apa yang dikatakan Ranti sebelum mereka sampai
di gapura Altar tadi, tidak ada satu orangpun dari rombongan itu yang berani
mengeluarkan suara. Benar-benar tempat itu menjadi tempat sakral yang dijaga warga kampung kesuciannya.
Altar yang dimaksud oleh warga kampung Ranti ternyata
benar-benar sebuah batu besar yang datar dan berada dibawah air terjun yang
cukup tinggi. Untuk memasuki altar tersebut, peserta upacara adat atau
upacara-upacara sakral lainnya harus lewat lorong tadi. Bagian tanah yang
terlindung oleh batu menjorok tersebut cukup kering namun tetap saja lembab.
Apalagi uap yang dihembuskan angin dari air terjun itu seakan seperti embun
pagi yang bisa membuat tubuh menggigil jika tidak terbiasa ketempat-tempat
seperti itu.
Sahrul seperti warga lainnya yang banyak datang
menemani rombongan calon penganten itu hanya diam. Tak satu suarapun terdengar
dari orang-orang yang ada disana. Seakan tidak ada yang berani buka mulut.
Bahkan untuk mendehem atau batuk sekalipun. Sahrul yang bertanya-tanya dalam
hati berusaha menggamit tangan Ranti. Mana tahu dengan gamitan tangan itu,
Ranti bisa mengerti dan tanpa diminta akan menje;askan apa yang menjadi
pertanyaan bagi orang-orang yang belum pernah berkunjung kesana, walaupun
tadinya Ranti telah menjelaskan tabunya berbicara atau mengeluarkan
bunyi-bunyian di dalam pelataran tempat suci itu. Tentu saja Ranti tidak
berkomentar dan tidak menunjukkan reaksi apapun atas gamitan tangan Sahrul.
Nampak sekali bahwa Ranti dan yang lainnya sangat khusu’ dalam memasuki tempat
itu.
Tak ada penjelasan sedikitpun yng bisa diperoleh
Sahrul dalam arena upacara yang akan dimasukinya besok. Bagaimana dia tahu apa
yang harus dilakukannya besok ditempat asing ini kalau tidak satupun penjelasan
yang didapatnya. Sementara untuk menunggu penjelasan dari Ranti akan semua ini
tentunya dia harus menunggu mereka sampai di rumah terlebih dahulu. Atau
sekurang-kurangnya kalau mereka sudah sampai di luar pelataran suci itu.
Rombongan yang mengiringi calon penganten itu hanya
berdiri tertunduk disisi-sisi pelataran tempat suci tersebut. Seakan tidak ada
yang berani mendekat ke arah altar. Bandri dan Ratihpun hanya berdiri
disisi-sisi pelataran itu. Namun tidak demikian dengan lelaki berpakaian gagah
yang dari tadi mengiringi mereka. Nampaknya diantara lelaki yang menjemput mereka itu, orang yang berpakaian
paling mewah itulah pemimpinnya. Dia berjalan menuju altar. Dibelakangnya Ranti
mengikuti tanpa memberi aba-aba kepada Sahrul sedikitpun. Namun firasat Sahrul
menyuruhnya untuk mengikuti Ranti. Bagaimanapun dia adalah calon penganten,
tentu dia harus mengikuti langkah Ranti untuk mengetahui apa yang harus mereka
lakukan esok harinya. Disisi kiri air terjun dekat jalan masuk ke arah altar itu
terdapat tiga buah kursi batu tua yang hitam legam dan mengkilat karena
dibasahi oleh uap air yang dihembuskan angin dari arah air terjun.
Lelaki berpakaian lebih bagus itu berjalan memasuki
lorong yang diatasnya terdapat batu yang menjorok sekitar satu meter keluar
dari tebing yang dapat berfungsi sebagai pelindung bagi orang yang lewat
dibawahnya. Bawah batu menjorok itu akhirnya digunakan peserta upacara sebagai
lorong menuju altar suci yang mereka sembah. Dibelakang lelaki berbaju bagus
itu Ranti dan Sahrul mengikuti dengan patuh tanpa adanya komando atau
pemberitahuan.
Berjalan dilorong batu itu membuat Sahrul merasa
kedinginan. Betapa tidak, hembusan air yang menerpa wajah mereka mengandung uap
air yang bersumber dari air terjun yang
tepat ada diatas kepala mereka. Bukan hanya perasaan dingin yang Sahrul
rasakan, namun wajahnya juga telah nampak basah bagai butiran keringat yang
memenuhi wajah. Namun ketika dilihatnya Ranti dan lelaki besar itu, mereka seakan
tidak merasakan dinginnya uap air yang menerpa wajah dan tubuh mereka.
Sesampainya mereka dekat batu besar ceper yang mereka
sebut sebagai altar itu, lelaki itu melakukan sembah sujud yang diikuti oleh
Sahrul dan Ranti.
Usai melakukan sembah sujud, mereka keluar melewati
lorong yang dilindungi batu menjorok tadi. Namun kali ini mereka berjalan
mundur seakan tidak boleh membelakangi altar, tempat yang mereka sucikan.
Sesampainya dekat kursi, lelaki itu hanya berdiri
tepat didepan kursi tengah. Sedang Ranti dan Sahrul mundur beberapa tindak
untuk kemudian duduk dikursi kiri-kanan kursi besar tadi. Bukan karena lancang
Sahrul duduk di kursi itu, namun karena
dilihatnya Ranti duduk makanya Sahrul memberanikan diri juga untuk duduk.
Tak lama mereka duduk, lelaki besar yang tidak duduk
itu kembali berjalan mundur meninggalkan ruangan itu. Ranti dan Sahrul hanya
mengikuti dari belakang.
Usai mengelilingi tempat itu, ketika kembali rombongan
nampaknya dilarang membalikkan tubuh dan membelakangi altar itu. Sehingga untuk
meninggalkan tempat itu mereka diharuskan berjalan mundur sampai tiba di gapura
yang berfungsi sebagai pintu gerbang masuk ke komplek yang disucikan itu.
“Aneh. Kenapa ada adat istiadat yang sangat jauh
berbeda dengan kebiasaan di Lubuk Pisang, ya?” tanya Sahrul berulang kali dalam
hatinya.
Namun keanehan dan ketidakwajaran yang sudah berapa
lama ini dirasakannya tidak satupun yang berhasil terjawab. Bahkan untuk
bertanya kepada Ranti tentang masalah inipun Sahrul tidak pernah berhasil.
Dalam perjalanan pulang kerumah Ranti, rombongan
disambut dan dielu-elukan warga disepanjang jalan dengan puji-pujian dan
kekaguman yang berlebihan seakan mereka berdua adalah pasangan paling bahagia
dan serasi di abad ini.
Rata-rata dari warga kampung yang mengelu-elukan
rombongan penganten itu adalah wanita-wanita yang tergolong masih muda dan
kecantikannya diatas rata-rata wanita yang pernah dilihat Sahrul selama ini
dikampungnya bahkan di kota kecamatan sekalipun. Kendati ada ibu dan anak yang
menyambut mereka namun usia mereka antara kedua anak beranak itu tidak jauh
terpaut. Bahkan lebih pantas dikatakan kalau mereka berdua kakak beradik.
Tidak banyak lelaki yang turut menyambut lewatnya
rombongan calon penganten yang akan mengadakan pesta besok harinya itu. Selain
ayah Ranti dan para pengawal Sang Ratu, Sahrul baru bertemu dengan tiga orang
lelaki di kampung itu yang terlibat dan persiapan maupun penyambutan pesta
perkawinan mereka. Itupun dua diantaranya adalah juru kunci penjaga altar dan
satunya lagi orang yang sedang lewat membawa air dalam dua buah tempat dari
pelepah pinang yang dibentuk menjadi tempat air yang digantungkan diujung-ujung
pikulan. Lelaki yang terlihat oleh Sahrul itu hanya bekerja saja tanpa
menghiraukan adanya keramaian dikampungnya. Tidak seperti hari pertama dia
datang yang disambut oleh warga kampung baik pria maupun wanitanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar