Minggu, 25 Januari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 5)



Banyak hal yang sebenarnya ingin ditanyakan Sahrul kepada Ranti, namun ada saja hal-hal tak terduga yang membuat Sahrul membatalkan niatnya untuk bertanya. Baik itu sikap Ranti yang berusaha membuat Sahrul terlena sehingga melupakan apa yang akan ditanyakannya sampai pada hilangnya masalah tersebut dari pikiran Sahrul secara tiba-tiba sehingga dia hanya bertanya-tanya dalam hati akan apa yang pernah terpikirkan dalam benaknya. Namun tak berapa lama akhirnya Sahrul akan melupakan apa yang hendak ditanyakannya itu.

Banyaknya wanita yang rata-rata sebaya dan cantik-cantik dikampung itu sementara kaum lelakinya yang rata-rata berada dibawah standar ketampanan dan jumlahnya sangat terbatas, pernah terlintas dibenak Sahrul untuk ditanyakannya kepada Ranti. Namun Ranti hanya menjawabnya dengan tersenyum. Akhirnya Sahrul mengalihkan pikirannya menjadi satu kebanggaan dimana diantara wanita-wanita cantik yang ada didesa tersebut ternyata calon istrinyalah yang paling cantik. Dan Sahrul boleh berbangga diri karena dilihatnya hanya dia sendirilah yang lebih memenuhi syarat untuk dikatakan ganteng di desa itu. Apalagi dilihatnya rencana perkawinannya ini seakan menjadi berkah bagi orang-orang dikampung itu, yang mereka nampakkan dari kegembiraan yang mereka rasakan menyambut perkawinan itu. Seakan-akan yang akan kawin ini adalah seorang pangeran tampan dengan puteri yang cantik jelita.
Hari perkawinan Sahrul dan Ranti semakin dekat. Kesibukan warga kampung dalam mempersiapkan acara itupun semakin terlihat padat. Acara ini benar-benar merupakan perhelatan adat yang dinanti-nanti oleh warga kampung itu. Sahrul sendiri merasa heran akan solidaritas yang ditunjukkan warga kampung. “Mungkinkah status sosial Ranti diatas orang awam lainnya? Atau memang beginikah cara orang kampung ini dalam bermasyarakat?” tanya hati Sahrul. Namun lagi-lagi perasaan aneh dan ganjil tersebut seakan hanya menjadi buah pikiran Sahrul yang tak akan pernah bisa ditanyakannya kepada Ranti atau kepada orang lain.
Orangtua Ranti sendiri sudah beberapa kali dipanggil untuk menghadap Sang Ratu, Datuk Puti. Tidak hanya untuk menanyakan persiapan perhelatan, namun juga untuk mengetahui tentang aturan-aturan yang harus dipatuhi Sahrul.
Sepulang menghadap Datuk Puti, Bandri memanggil Ranti dan Sahrul yang sedang dipingit dikamar mereka.
“Ada yang harus bapak sampaikan kepada Sahrul sebelum kita memulai upacara peresmian hubungan kalian. Ini yang dipesankan Sang Ratu kepada bapak sewaktu beliau memanggil kami tadi” kata Bandri begitu Sahrul dan Ranti duduk di sofa panjang.
Ranti hanya diam seakan sudah memahami maksud bapaknya memanggil mereka. Sedang Sahrul dalam diamnya menunggu apa yang akan disampaikan calon mertuanya itu.
“Sang Ratu akan hadir dan memimpin langsung upacara itu nantinya. Ini adalah suatu penghormatan bagi keluarga kita yang berarti Sang Ratu merestui kehadiran Sahrul ditengah-tengah kaum kita” katanya.
Sahrul hanya mengangguk tanpa menanggapi ucapan Bandri.
“Sahrul. Sebelum kamu menjadi anggota dari kaum kami, ada beberapa aturan adat yang harus kamu ketahui” kata Bandri lagi. Dilihatnya reaksi Sahrul dalam menanggapi ucapannya itu.
Lagi-lagi Sahrul hanya diam.
“Kaum kami hidup dalam pengabdian kepada yang agung Sang Ratu Datuk Puti. Beliau yang menentukan hidup mati kami. Untuk itu kamupun kelak harus mengabdi kepadanya. Apa yang merupakan titahnya harus benar-benar diikuti” katanya.
“Apa yang harus saya perbuat untuk Sang Ratu Datuk Puti, pak?” tanya Sahrul mulai membuka suara.
“Kamu sebagaimana kaum lelaki lainnya akan bekerja melayani Sang Ratu demi kelestarian kaum kami. Apa yang diperintahkannya  harus kau patuhi sebagaimana kami disini” jelas Bandri. “Masalah lainnya tak usah kau pikirkan. Nikmati saja hidupmu dengan istrimu ini sampai tiba waktunya kalian harus berpisah” tambahnya.
“Kenapa kami harus berpisah, pak” tanya Sahrul heran seakan belum siap menghadapi kenyataan bila suatu waktu mereka harus berpisah.
“Setiap pertemuan tentu harus ada perpisahan. Tentu kalian tidak bisa hidup berdua selamanya” jelas Bandri lagi.
Sahrul maklum dengan penjelasan terakhir Bandri ini karena memang orang hidup memang tidak akan selamanya bersatu. Apalagi jika ajal menjemput mereka. Tidak terpikir oleh Sahrul bahwa perpisahan yang dimaksud oleh calon mertuanya itu adalah perpisahan yang kapan saja bisa terjadi tanpa harus melalui suatu kematian.
“Sebagai wujud bakti kamu kepada Sang Ratu, Ranti akan memberitahukan kepada kamu bagaimana harus bersikap kepada Sang Ratu. Mengingat kamu adalah orang asing bagi kaum kami yang tentu saja belum mengenal adat dan kebiasaan kami di alam ini. terutama disaat upacara dilakukan besok” kali ini Ratih yang turut memberi wejangan kepada calon menantunya itu. Sahrul hanya mengangguk. Apalagi dilihatnya Ranti juga mengangguk pertanda dia tahu apa yang harus disampaikannya kepada Sahrul nanti.
“Kalau begitu, silakan kalian persiapkan diri kalian untuk menghadapi upacara itu. Sedang kami akan melihat persiapan warga di altar” kata Bandri menutup pembicaraan mereka. Digamitnya istrinya untuk meninggalkan ruang tamu itu meninggalkan anak dan calon menantunya.
Rantipun begitu melihat orangtuanya berlalu segera menarik tangan Sahrul dan membawanya masuk ke kamar.
Tidak seperti biasanya, kali ini mereka benar-benar hanya melakukan pembicaraan di kamar itu. Berulang kali Ranti memberikan petunjuk kepada Sahrul untuk melakukan apa-apa yang diwajibkan dalam upacara yang semakin dekat harinya.
Beberapa kali Sahrul mengajukan pertanyaan tentang kewajiban yang harus dilakukannya yang tidak pernah didengarnya selama ini, karena dalam upacara tersebut tidak ada ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat sah nikah yang disampaikan Ranti. Apalagi Sahrul masih tergolong baru beberapa hari yang lalu mengucapkan ijab kabul di depan penghulu ketika menikahi Siti di Desa Lubuk Pisang.
Namun berkat kelihaian Ranti memberikan petunjuk singkat membuat Sahrul cepat mengerti dan siap untuk melakukan apa yang sudah menjadi ketentuan adat di kampung itu walaupun bertentangan dengan apa yang diketahuinya di kampungnya sendiri. Dari anggukan kepalanya nampaknya Sahrul sudah paham benar akan apa yang harus dilakukannya dalam upacara perkawinan itu nantinya.
Sore hari yang cerah sebelum hari upacara yang telah ditentukan, Sahrul dan Ranti dibawa mengelilingi kampung untuk melihat-lihat tempat yang akan dilalui dalam upacara besok. Rombongan calon penganten itu selain didampingi oleh orangtuanya, juga dipandu oleh beberapa orang lelaki berperawakan lebih besar dan berpakaian ala pengawal elit yang menunjukkan kelas mereka lebih tinggi dari warga biasa lainnya.
Baru kali itu Sahrul berkesempatan untuk berkeliling kampung yang walaupun harinya tergolong cerah namun udaranya bagaikan basah dan lembab. Hari yang cerah itu dirasakan Sahrul justru seakan berada diantara celah batu besar dan berlumut. Padahal disisi-sisi jalan tak dilihatnya sedikitpun bebatuan besar sebagaimana yang dirasakannya. Wajar saja kalau baru kali ini suasana seperti itu dirasakannya karena selama ini Sahrul selalu berada dalam hangatnya pelukan Ranti sehingga udara yang lembab itu tak dirasakannya. Namun Sahrul tidak berani memastikan bahwa suasana begitu adalah ciri dari kampung itu karena baru kali ini dia berada diluar rumah.
Sepuluh meter dari jalan berbelok yang akan mereka lalui, Ranti menggamit tangan Sahrul  dan menarik kepala Sahrul dengan mesranya.
“Begitu kita masuk ketempat belokkan sebelah kanan itu nantinya, jangan ada satu suarapun yang dikeluarkan. Dan jangan ada juga gerakan-gerakan badan yang menimbulkan suara sedikitpun. Itu adalah altar tempat suci yang akan dipakai untuk upacara perkawinan kita besok” bisik Ranti ke telinga Sahrul.
Sahrul hanya mengangguk. Namun tak dilihatnya adanya umbul-umbul atau tanda-tanda keramaian di jalan menuju tempat yang akan digunakan sebagai tempat upacara perkawinan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar