Banyak hal yang sebenarnya ingin ditanyakan Sahrul
kepada Ranti, namun ada saja hal-hal tak terduga yang membuat Sahrul
membatalkan niatnya untuk bertanya. Baik itu sikap Ranti yang berusaha membuat
Sahrul terlena sehingga melupakan apa yang akan ditanyakannya sampai pada
hilangnya masalah tersebut dari pikiran Sahrul secara tiba-tiba sehingga dia
hanya bertanya-tanya dalam hati akan apa yang pernah terpikirkan dalam
benaknya. Namun tak berapa lama akhirnya Sahrul akan melupakan apa yang hendak
ditanyakannya itu.
Banyaknya wanita yang rata-rata sebaya dan
cantik-cantik dikampung itu sementara kaum lelakinya yang rata-rata berada
dibawah standar ketampanan dan jumlahnya sangat terbatas, pernah terlintas
dibenak Sahrul untuk ditanyakannya kepada Ranti. Namun Ranti hanya menjawabnya
dengan tersenyum. Akhirnya Sahrul mengalihkan pikirannya menjadi satu
kebanggaan dimana diantara wanita-wanita cantik yang ada didesa tersebut
ternyata calon istrinyalah yang paling cantik. Dan Sahrul boleh berbangga diri
karena dilihatnya hanya dia sendirilah yang lebih memenuhi syarat untuk dikatakan
ganteng di desa itu. Apalagi dilihatnya rencana perkawinannya ini seakan
menjadi berkah bagi orang-orang dikampung itu, yang mereka nampakkan dari
kegembiraan yang mereka rasakan menyambut perkawinan itu. Seakan-akan yang akan
kawin ini adalah seorang pangeran tampan dengan puteri yang cantik jelita.
Hari perkawinan Sahrul dan Ranti semakin dekat. Kesibukan
warga kampung dalam mempersiapkan acara itupun semakin terlihat padat. Acara ini
benar-benar merupakan perhelatan adat yang dinanti-nanti oleh warga kampung
itu. Sahrul sendiri merasa heran akan solidaritas yang ditunjukkan warga
kampung. “Mungkinkah status sosial Ranti diatas orang awam lainnya? Atau memang
beginikah cara orang kampung ini dalam bermasyarakat?” tanya hati Sahrul. Namun
lagi-lagi perasaan aneh dan ganjil tersebut seakan hanya menjadi buah pikiran
Sahrul yang tak akan pernah bisa ditanyakannya kepada Ranti atau kepada orang
lain.
Orangtua Ranti sendiri sudah beberapa kali dipanggil
untuk menghadap Sang Ratu, Datuk Puti. Tidak hanya untuk menanyakan persiapan
perhelatan, namun juga untuk mengetahui tentang aturan-aturan yang harus
dipatuhi Sahrul.
Sepulang menghadap Datuk Puti, Bandri memanggil Ranti
dan Sahrul yang sedang dipingit dikamar mereka.
“Ada yang harus bapak sampaikan kepada Sahrul sebelum
kita memulai upacara peresmian hubungan kalian. Ini yang dipesankan Sang Ratu
kepada bapak sewaktu beliau memanggil kami tadi” kata Bandri begitu Sahrul dan
Ranti duduk di sofa panjang.
Ranti hanya diam seakan sudah memahami maksud bapaknya
memanggil mereka. Sedang Sahrul dalam diamnya menunggu apa yang akan
disampaikan calon mertuanya itu.
“Sang Ratu akan hadir dan memimpin langsung upacara itu
nantinya. Ini adalah suatu penghormatan bagi keluarga kita yang berarti Sang Ratu
merestui kehadiran Sahrul ditengah-tengah kaum kita” katanya.
Sahrul hanya mengangguk tanpa menanggapi ucapan
Bandri.
“Sahrul. Sebelum kamu menjadi anggota dari kaum kami,
ada beberapa aturan adat yang harus kamu ketahui” kata Bandri lagi. Dilihatnya reaksi
Sahrul dalam menanggapi ucapannya itu.
Lagi-lagi Sahrul hanya diam.
“Kaum kami hidup dalam pengabdian kepada yang agung
Sang Ratu Datuk Puti. Beliau yang menentukan hidup mati kami. Untuk itu kamupun
kelak harus mengabdi kepadanya. Apa yang merupakan titahnya harus benar-benar
diikuti” katanya.
“Apa yang harus saya perbuat untuk Sang Ratu Datuk
Puti, pak?” tanya Sahrul mulai membuka suara.
“Kamu sebagaimana kaum lelaki lainnya akan bekerja
melayani Sang Ratu demi kelestarian kaum kami. Apa yang diperintahkannya harus kau patuhi sebagaimana kami disini”
jelas Bandri. “Masalah lainnya tak usah kau pikirkan. Nikmati saja hidupmu
dengan istrimu ini sampai tiba waktunya kalian harus berpisah” tambahnya.
“Kenapa kami harus berpisah, pak” tanya Sahrul heran
seakan belum siap menghadapi kenyataan bila suatu waktu mereka harus berpisah.
“Setiap pertemuan tentu harus ada perpisahan. Tentu kalian
tidak bisa hidup berdua selamanya” jelas Bandri lagi.
Sahrul maklum dengan penjelasan terakhir Bandri ini
karena memang orang hidup memang tidak akan selamanya bersatu. Apalagi jika
ajal menjemput mereka. Tidak terpikir oleh Sahrul bahwa perpisahan yang
dimaksud oleh calon mertuanya itu adalah perpisahan yang kapan saja bisa
terjadi tanpa harus melalui suatu kematian.
“Sebagai wujud bakti kamu kepada Sang Ratu, Ranti akan
memberitahukan kepada kamu bagaimana harus bersikap kepada Sang Ratu. Mengingat
kamu adalah orang asing bagi kaum kami yang tentu saja belum mengenal adat dan
kebiasaan kami di alam ini. terutama disaat upacara dilakukan besok” kali ini
Ratih yang turut memberi wejangan kepada calon menantunya itu. Sahrul hanya
mengangguk. Apalagi dilihatnya Ranti juga mengangguk pertanda dia tahu apa yang
harus disampaikannya kepada Sahrul nanti.
“Kalau begitu, silakan kalian persiapkan diri kalian
untuk menghadapi upacara itu. Sedang kami akan melihat persiapan warga di altar”
kata Bandri menutup pembicaraan mereka. Digamitnya istrinya untuk meninggalkan
ruang tamu itu meninggalkan anak dan calon menantunya.
Rantipun begitu melihat orangtuanya berlalu segera
menarik tangan Sahrul dan membawanya masuk ke kamar.
Tidak seperti biasanya, kali ini mereka benar-benar
hanya melakukan pembicaraan di kamar itu. Berulang kali Ranti memberikan petunjuk
kepada Sahrul untuk melakukan apa-apa yang diwajibkan dalam upacara yang
semakin dekat harinya.
Beberapa kali Sahrul mengajukan pertanyaan tentang
kewajiban yang harus dilakukannya yang tidak pernah didengarnya selama ini, karena
dalam upacara tersebut tidak ada ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat sah
nikah yang disampaikan Ranti. Apalagi Sahrul masih tergolong baru beberapa hari
yang lalu mengucapkan ijab kabul di depan penghulu ketika menikahi Siti di Desa
Lubuk Pisang.
Namun berkat kelihaian Ranti memberikan petunjuk
singkat membuat Sahrul cepat mengerti dan siap untuk melakukan apa yang sudah
menjadi ketentuan adat di kampung itu walaupun bertentangan dengan apa yang
diketahuinya di kampungnya sendiri. Dari anggukan kepalanya nampaknya Sahrul
sudah paham benar akan apa yang harus dilakukannya dalam upacara perkawinan itu
nantinya.
Sore hari yang cerah sebelum hari upacara yang telah
ditentukan, Sahrul dan Ranti dibawa mengelilingi kampung untuk melihat-lihat
tempat yang akan dilalui dalam upacara besok. Rombongan calon penganten itu
selain didampingi oleh orangtuanya, juga dipandu oleh beberapa orang lelaki
berperawakan lebih besar dan berpakaian ala pengawal elit yang menunjukkan
kelas mereka lebih tinggi dari warga biasa lainnya.
Baru kali itu Sahrul berkesempatan untuk berkeliling
kampung yang walaupun harinya tergolong cerah namun udaranya bagaikan basah dan
lembab. Hari yang cerah itu dirasakan Sahrul justru seakan berada diantara
celah batu besar dan berlumut. Padahal disisi-sisi jalan tak dilihatnya
sedikitpun bebatuan besar sebagaimana yang dirasakannya. Wajar saja kalau baru
kali ini suasana seperti itu dirasakannya karena selama ini Sahrul selalu
berada dalam hangatnya pelukan Ranti sehingga udara yang lembab itu tak
dirasakannya. Namun Sahrul tidak berani memastikan bahwa suasana begitu adalah
ciri dari kampung itu karena baru kali ini dia berada diluar rumah.
Sepuluh meter dari jalan berbelok yang akan mereka
lalui, Ranti menggamit tangan Sahrul dan
menarik kepala Sahrul dengan mesranya.
“Begitu kita masuk ketempat belokkan sebelah kanan itu
nantinya, jangan ada satu suarapun yang dikeluarkan. Dan jangan ada juga
gerakan-gerakan badan yang menimbulkan suara sedikitpun. Itu adalah altar
tempat suci yang akan dipakai untuk upacara perkawinan kita besok” bisik Ranti
ke telinga Sahrul.
Sahrul hanya mengangguk. Namun tak dilihatnya adanya
umbul-umbul atau tanda-tanda keramaian di jalan menuju tempat yang akan
digunakan sebagai tempat upacara perkawinan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar