Sang Ratu berjalan menuju kursi yang telah tersedia
disisi kiri lorong menuju Altar didampingi dua orang pengawal berbadan kokoh
dan berpakaian lebih mewah dibanding semua orang yang hadir di ruangan itu.
Sesampainya dekat kursi yang tersedia itu, tanpa duduk atau berhenti dekat
kursi itu Sang Ratu masuk ke celah yang dilindungi batu menjorok untuk memberi
penghormatan pada Altar yang mereka sanjung. Berbeda dengan cara warga memberi
penghormatan kepada Altar, Sang Ratu justru naik keatas batu besar yang
dijadikan Altar itu dan mengangkat tangan setinggi-tingginya. Entah apa yang
diucapkannya, hanya terdengar seperti suatu gumaman yang bergemuruh. Suara itu
tidaklah parau, bahkan bisa dibilang merdu. Namun anehnya lengkingan merdu itu
menusuk kehulu hati bagi yang mendengarnya. Tak lama dia turun dan berjalan
mundur menuju kursinya. Tepat dikursi tengah, Sang Ratu duduk dengan anggunnya.
Tak satupun dari warga kampung yang berani
mendongakkan kepalanya selama Sang Ratu belum mengizinkannya.
“Hai, pemuda. Kaukah yang telah berani meminang
abdiku?” terdengar suara lantang Sang Ratu.
Entah kepada siapa ditujukannya pertanyaan itu, namun
semua orang telah maklum kalau pertanyaan itu ditujukan kepada Sahrul calon
penganten lelaki.
“Hamba, Yang Mulya” jawab Sahrul dengan posisi badan
tetap bersujud.
“Berdirilah” titah Sang Ratu.
“Hamba, Yang Mulya” jawab Sahrul lagi. Perlahan sambil
tetap menundukkan kepala Sahrul berdiri tepat dihadapan Sang Ratu. Tangannya
dirapatkan didada sebagai pertanda tetap menyembah Sang Ratu.
“Angkat kepalamu dan pandanglah aku” kata Sang Ratu
lagi.
“Hamba, Yang Mulya” jawab Sahrul sembari mengangkat
kepala dan memandang Sang Ratu yang berada disisi kanan tempat dia berdiri.
Memang kesempatan untuk dapat memandang Sang Ratu itu yang dari tadi mengganggu
pikiran dan selalu ditunggu-tunggu Sahrul.
Alangkah terkejutnya dia melihat sinar kecantikan yang
tiada tara terpancar dari wajah Sang Ratu. Baru kali ini dia melihat kecantikan
yang tak tertandingi. Sayangnya yang dihadapinya adalah Sang Ratu. Kalau tidak,
mungkin keisengan dan nafsu kelaki-lakiannya telah membuat dia bersikap kurang
ajar.
Dibuangnya segala pikiran kotor yang sempat terlintas
dibenaknya tentang kecantikan Sang Ratu. Takut dianggap kurang ajar. Namun
reaksi kelaki-lakiannya tidak bisa didustai dan bahkan menimbulkan reaksi yang
sangat kuat dibalik celananya.
“Gawat. Bisa-bisa aku ejakulasi nih” rutuk Sahrul
mendapatkan kenyataan bahwa kejantanannya tidak bisa diajak kompromi menyesuaikan
diri dengan situasi.
Segera ditundukkannya pandangannya untuk mencegah
semakin kerasnya reaksi kejantanannya sebagai laki-laki normal terhadap Sang Ratu.
Namun begitu dia memalingkan pandangannya kebawah terdengar Sang Ratu mendehem
lembut pertanda bahwa Sahrul harus tetap memandang kearah Sang Ratu sebelum ada
aba-aba untuk menunduk atau bersujud kembali.
Sang Ratu mengamat-amati wajah lelaki tampan
dihadapannya itu. Lama sekali Sang Ratu mengamati Sahrul. Baik Sang Ratu maupun
Sahrul seakan lupa diri dan terus menikmati pemandangan indah dihadapan mereka.
Suasana hening diruang itu berjalan cukup lama. Seakan
semua yang hadir diruangan itu bisu. Sesekali hanya terdengar suara nafas
lembut dari masing-masing pengunjung.
Sadar dari keterpanaannya, Sang Ratu menepukkan
tangannya dua kali pertanda warganya boleh mengangkat mukanya dan berdiri.
Begitu juga dengan Ranti yang dari tadi ikut menyembah sebagaimana warga
kampung lainnya. Sementara Sahrul sudah kembali menunduk. Menahan gejolak
didadanya mendapatkan tatapan mematikan dari Sang Ratu yang kecantikannya
sangat dikagumi Sahrul.
Tanpa aba-aba, dari luar pintu ruangan itu itu
berjalan beberapa pasang muda-mudi yang nampaknya akan menari. Mereka berjalan
menuju Altar, namun tidak sampai masuk ke lorong batu besar. Dari jauh mereka
menyampaikan sembah sujud. Masing-masing dengan gayanya sendiri yang pada
intinya memberikan penghormatan mendalam ke arah Altar yang merek puji sebagai
tempat suci.
Berbeda dengan warga umum lainnya dan Sang Ratu, para
penari memiliki gaya menyembah yang khas dan mengandung nilai seni yang tinggi.
Sembah sujud yang mereka lakukan tidak hanya menempelkan kening kelantai, namun
juga tangan mereka yang bebas bergerak di kiri kanan tubuhnya membentuk
gerakan-hgerakan indah yang mengarah ke Altar tersebut.
Beberapa kali gerakan itu mereka ulang, baru kemudian
mereka beriringan menghadap Sang Ratu dan melakukan persembahan. Sang Ratu
hanya mengangguk. Tak lama para penari itu memainkan gerakan-gerakan erotis
yang mampu memberi rangsangan yang kuat bagi penontonnya. Tubuhnya meliuk-liuk
dan menonjolkan sisi indah tubuh wanita, sementara penari laki-laki melakukan
gerakan seakan-akan mereka benar-benar menikmati keindahan yang dipertontonkan
penari wanita.
Gerakan-gerakan tari erotis dan mengandung nilai
mistik itu membuat penonton terkagum-kagum dan terlena dengan keindahan gerakan
yang sengaja memberikan rangsangan birahi bagi yang melihatnya. Untungnya
Sahrul tidak begitu memperhatikan tarian erotis itu sehingga dia tidak
terangsang. Pikirannnya justru tertuju pada kecantikan Sang Ratu yang cukup lama ditatapnya tadi. Saat
ini dia ingin sekali menatap Sang Ratu, namun tiada keberanian hatinya untuk
melirik Sang Ratu sedikitpun.
Berbeda dengan Sahrul,
Sang Ratu seringkali memandangi Sahrul yang dilihatnya tertunduk. Jelas sekali kalau
dia tidak memperhatikan tarian yang sedang dimainkan para penari. Ada perasaan
bangga didiri Sang Ratu melihat kenyataan bahwa Sahrul tidak memperhatikan
tari-tarian erotis yang dibawakan para penari karena besarnya pengaruh
kecantikan Sang Ratu yang menimbulkan rangsangan bagi kaum laki-laki yang
hadir. Dari tatapannya, nampaknya Sang Ratu sedang mempertimbangkan sesuatu
yang menyangkut kelangsungan hidup Sahrul di kampung itu. Entah apa bentuk
restu yang akan diberikan Sang Ratu kepada Sahrul.
Tarian ritual usai sudah. Masing-masing penari kembali
ketempatnya di gapura pintu keluar dan hilang dari pandangan.
Sang Ratu berdiri dan berjalan menuju Altar. Di belakangnya
menyusul Ranti dan Sahrul yang sehari sebelumnya sudah mengikuti persiapan
upacara ritual sehingga dia tahu apa yang harius dilakukannya tanpa adanya
aba-aba dari Sang Ratu ataupun pihak pemangku adat mereka.
Memasuki celah disisi air terjun itu Sang Ratu
menundukkan kepalanya dan tetap berjalan perlahan ke arah Altar. Begitu juga
dengan Ranti dan Sahrul. Namun kedua penganten ini lebih membungkuk dibanding
Sang Ratu yang hanya menundukkan kepala. Pertanda bahwa Sang Ratu lebih tinggi
derajatnya dimuka Altar.
Berbeda dari hari kemarin, saat berjalan menuju Altar
melewati lorong yang dilindungi batu besar yang menjorok itu tak satu tetes
embun atau uap air yang ditiupkan anginpun yang mengenai badan dan wajah
Sahrul. Begitu juga yang terlihat pada diri Ranti. Jika sehari sebelumnya
mereka melewati lorong itu tetap hembusan angin yang membawa uap air terjun
menerpa halus ke wajah-wajah mereka yang lewat dibawah batu itu namun anehnya
saat mereka berjalan bersama Sang Ratu baru terasa oleh Sahrul bahwa dia tidak
kena sedikitpun uap air yang dihembuskan angin itu. Jangankan diterpa uap air
terjun, rasa dingin dan lembab yang kemarin terasapun sekarang tidak terasa
sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar