Jumat, 30 Januari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 9)



Sang Ratu berjalan menuju kursi yang telah tersedia disisi kiri lorong menuju Altar didampingi dua orang pengawal berbadan kokoh dan berpakaian lebih mewah dibanding semua orang yang hadir di ruangan itu. Sesampainya dekat kursi yang tersedia itu, tanpa duduk atau berhenti dekat kursi itu Sang Ratu masuk ke celah yang dilindungi batu menjorok untuk memberi penghormatan pada Altar yang mereka sanjung. Berbeda dengan cara warga memberi penghormatan kepada Altar, Sang Ratu justru naik keatas batu besar yang dijadikan Altar itu dan mengangkat tangan setinggi-tingginya. Entah apa yang diucapkannya, hanya terdengar seperti suatu gumaman yang bergemuruh. Suara itu tidaklah parau, bahkan bisa dibilang merdu. Namun anehnya lengkingan merdu itu menusuk kehulu hati bagi yang mendengarnya. Tak lama dia turun dan berjalan mundur menuju kursinya. Tepat dikursi tengah, Sang Ratu duduk dengan anggunnya.

Tak satupun dari warga kampung yang berani mendongakkan kepalanya selama Sang Ratu belum mengizinkannya.
“Hai, pemuda. Kaukah yang telah berani meminang abdiku?” terdengar suara lantang Sang Ratu.
Entah kepada siapa ditujukannya pertanyaan itu, namun semua orang telah maklum kalau pertanyaan itu ditujukan kepada Sahrul calon penganten lelaki.
“Hamba, Yang Mulya” jawab Sahrul dengan posisi badan tetap bersujud.
“Berdirilah” titah Sang Ratu.
“Hamba, Yang Mulya” jawab Sahrul lagi. Perlahan sambil tetap menundukkan kepala Sahrul berdiri tepat dihadapan Sang Ratu. Tangannya dirapatkan didada sebagai pertanda tetap menyembah Sang Ratu.
“Angkat kepalamu dan pandanglah aku” kata Sang Ratu lagi.
“Hamba, Yang Mulya” jawab Sahrul sembari mengangkat kepala dan memandang Sang Ratu yang berada disisi kanan tempat dia berdiri. Memang kesempatan untuk dapat memandang Sang Ratu itu yang dari tadi mengganggu pikiran dan selalu ditunggu-tunggu Sahrul.
Alangkah terkejutnya dia melihat sinar kecantikan yang tiada tara terpancar dari wajah Sang Ratu. Baru kali ini dia melihat kecantikan yang tak tertandingi. Sayangnya yang dihadapinya adalah Sang Ratu. Kalau tidak, mungkin keisengan dan nafsu kelaki-lakiannya telah membuat dia bersikap kurang ajar.
Dibuangnya segala pikiran kotor yang sempat terlintas dibenaknya tentang kecantikan Sang Ratu. Takut dianggap kurang ajar. Namun reaksi kelaki-lakiannya tidak bisa didustai dan bahkan menimbulkan reaksi yang sangat kuat dibalik celananya.
“Gawat. Bisa-bisa aku ejakulasi nih” rutuk Sahrul mendapatkan kenyataan bahwa kejantanannya tidak bisa diajak kompromi menyesuaikan diri dengan situasi.
Segera ditundukkannya pandangannya untuk mencegah semakin kerasnya reaksi kejantanannya sebagai laki-laki normal terhadap Sang Ratu. Namun begitu dia memalingkan pandangannya kebawah terdengar Sang Ratu mendehem lembut pertanda bahwa Sahrul harus tetap memandang kearah Sang Ratu sebelum ada aba-aba untuk menunduk atau bersujud kembali.
Sang Ratu mengamat-amati wajah lelaki tampan dihadapannya itu. Lama sekali Sang Ratu mengamati Sahrul. Baik Sang Ratu maupun Sahrul seakan lupa diri dan terus menikmati pemandangan indah dihadapan mereka.
Suasana hening diruang itu berjalan cukup lama. Seakan semua yang hadir diruangan itu bisu. Sesekali hanya terdengar suara nafas lembut dari masing-masing pengunjung.
Sadar dari keterpanaannya, Sang Ratu menepukkan tangannya dua kali pertanda warganya boleh mengangkat mukanya dan berdiri. Begitu juga dengan Ranti yang dari tadi ikut menyembah sebagaimana warga kampung lainnya. Sementara Sahrul sudah kembali menunduk. Menahan gejolak didadanya mendapatkan tatapan mematikan dari Sang Ratu yang kecantikannya sangat dikagumi Sahrul.
Tanpa aba-aba, dari luar pintu ruangan itu itu berjalan beberapa pasang muda-mudi yang nampaknya akan menari. Mereka berjalan menuju Altar, namun tidak sampai masuk ke lorong batu besar. Dari jauh mereka menyampaikan sembah sujud. Masing-masing dengan gayanya sendiri yang pada intinya memberikan penghormatan mendalam ke arah Altar yang merek puji sebagai tempat suci.
Berbeda dengan warga umum lainnya dan Sang Ratu, para penari memiliki gaya menyembah yang khas dan mengandung nilai seni yang tinggi. Sembah sujud yang mereka lakukan tidak hanya menempelkan kening kelantai, namun juga tangan mereka yang bebas bergerak di kiri kanan tubuhnya membentuk gerakan-hgerakan indah yang mengarah ke Altar tersebut.
Beberapa kali gerakan itu mereka ulang, baru kemudian mereka beriringan menghadap Sang Ratu dan melakukan persembahan. Sang Ratu hanya mengangguk. Tak lama para penari itu memainkan gerakan-gerakan erotis yang mampu memberi rangsangan yang kuat bagi penontonnya. Tubuhnya meliuk-liuk dan menonjolkan sisi indah tubuh wanita, sementara penari laki-laki melakukan gerakan seakan-akan mereka benar-benar menikmati keindahan yang dipertontonkan penari wanita.
Gerakan-gerakan tari erotis dan mengandung nilai mistik itu membuat penonton terkagum-kagum dan terlena dengan keindahan gerakan yang sengaja memberikan rangsangan birahi bagi yang melihatnya. Untungnya Sahrul tidak begitu memperhatikan tarian erotis itu sehingga dia tidak terangsang. Pikirannnya justru tertuju pada kecantikan  Sang Ratu yang cukup lama ditatapnya tadi. Saat ini dia ingin sekali menatap Sang Ratu, namun tiada keberanian hatinya untuk melirik Sang Ratu sedikitpun.
Berbeda  dengan Sahrul, Sang Ratu seringkali memandangi Sahrul yang dilihatnya tertunduk. Jelas sekali kalau dia tidak memperhatikan tarian yang sedang dimainkan para penari. Ada perasaan bangga didiri Sang Ratu melihat kenyataan bahwa Sahrul tidak memperhatikan tari-tarian erotis yang dibawakan para penari karena besarnya pengaruh kecantikan Sang Ratu yang menimbulkan rangsangan bagi kaum laki-laki yang hadir. Dari tatapannya, nampaknya Sang Ratu sedang mempertimbangkan sesuatu yang menyangkut kelangsungan hidup Sahrul di kampung itu. Entah apa bentuk restu yang akan diberikan Sang Ratu kepada Sahrul.
Tarian ritual usai sudah. Masing-masing penari kembali ketempatnya di gapura pintu keluar dan hilang dari pandangan.
Sang Ratu berdiri dan berjalan menuju Altar. Di belakangnya menyusul Ranti dan Sahrul yang sehari sebelumnya sudah mengikuti persiapan upacara ritual sehingga dia tahu apa yang harius dilakukannya tanpa adanya aba-aba dari Sang Ratu ataupun pihak pemangku adat mereka.
Memasuki celah disisi air terjun itu Sang Ratu menundukkan kepalanya dan tetap berjalan perlahan ke arah Altar. Begitu juga dengan Ranti dan Sahrul. Namun kedua penganten ini lebih membungkuk dibanding Sang Ratu yang hanya menundukkan kepala. Pertanda bahwa Sang Ratu lebih tinggi derajatnya dimuka Altar.
Berbeda dari hari kemarin, saat berjalan menuju Altar melewati lorong yang dilindungi batu besar yang menjorok itu tak satu tetes embun atau uap air yang ditiupkan anginpun yang mengenai badan dan wajah Sahrul. Begitu juga yang terlihat pada diri Ranti. Jika sehari sebelumnya mereka melewati lorong itu tetap hembusan angin yang membawa uap air terjun menerpa halus ke wajah-wajah mereka yang lewat dibawah batu itu namun anehnya saat mereka berjalan bersama Sang Ratu baru terasa oleh Sahrul bahwa dia tidak kena sedikitpun uap air yang dihembuskan angin itu. Jangankan diterpa uap air terjun, rasa dingin dan lembab yang kemarin terasapun sekarang tidak terasa sama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar