Selasa, 20 Januari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 1)




Seiring meningginya matahari pagi, yang disertai kicauan burung Murai yang hinggap di pohon jeruk nipis dibelakang rumah, Siti telah pula selesai membersihkan Udang yang akan digulainya sebagai menu istimewa yang akan disuguhkannya pada suaminya hari ini. Kendati sudah terbangun dari tidurnya, namun Sahrul, suami tercintanya agaknya masih malas-malasan untuk bangun dari tempat tidurnya yang hangat. Tentunya Siti sangat memaklumi jika Sahrul masih juga malas bangun karena sebagai penganten baru Sahrul masih belum mulai membuka tokonya tempat mencari nafkah sehari-hari. Biarlah dia menikmati indahnya pagi ini ditempat tidur, pikir Siti. Sementara dirinya sendiri tidak mungkin harus bermalas-malasan juga seperti suaminya karena sebagai seorang istri  dia harus mempersiapkan makanan untuk makan siang mereka. Apalagi sebagai orang desa mereka tidak punya pembantu, sedang untuk membebankan tugas pengurus rumah tangga tidak mungkin diserahkannya kepada ibunya, walaupun mereka masih penganten baru yang menikah enam hari yang lalu.
Siti adalah anak bungsu dari Datuk Sati dan ibu Mariam yang kedudukannya di desa itu cukup dipandang oleh masyarakat. Selaku pemangku adat, disamping karena kekuasaannya secara kesukuan, Datuk Sati juga dikenal akan kebijaksanaan dan kearifannya. Bukan hanya tokoh adat, Datuk Sati juga seorang ulama dan orang pandai yang selalu dijadikan tempat bertanya dan tempat minta tolong bagi warga desa Lubuk Pisang, tempat mereka tinggal sekarang ini. Dalam keluarganya, Siti termasuk anak kesayangan. Bukan hanya karena   dia adalah anak paling kecil, namun dia adalah juga anak perempuan satu-satunya bagi keluarga Datuk Sati. Tentu saja kedua orangtuanya sangat menyayangi anak ini. Namun demikian bukan berarti Siti menjadi gadis manja yang tidak bisa berbuat apa-apa. Sebagaimana layaknya anak-anak perempuan didesa itu, Siti sangat cekatan dan tahu akan tugas-tugas seorang wanita yang jika sudah menikah nantinya harus menjadi ibu rumah tangga yang baik dan mampu melayani suami dan menjaga anak-anaknya.
“Mau mandi, Bang? Kok cepat sekali. Kan belum mau ke kedai?” tanya Siti begitu dilihatnya suaminya menghampirinya. Handuk merah tua disandang dipundaknya dan tangannya mulai meraih ember kecil tempat sabun yang diambilnya di dapur.
“Memang tidak. Tapi abang mau ke mudik sebentar melihat emak dulu” katanya. Dirangkulnya kepala istrinya dan sebuah ciuman mendarat di kening Siti.
“Bau ah, belum mandi sudah nyosor aja” goda Siti.
“Yang dicium kan bau juga. Jadi gak salah kan kalau orang yang belum mandi berciuman” kilah Sahrul sembari matanya menatap kuali yang terjerang di tungku. “Masak apa, Sit?”
“Udang, bang. Abang suka kan?” tanya Siti.
‘Suka sekali. Pasti enak nih makan sehabis mandi” katanya.
“Pergilah mandi dulu. Begitu abang siap mandi udangnya sudah masak” kata Siti sambil mendorong suaminya yang kelihatannya masih malas beranjak dari dapur.
Sahrul berlalu dengan senyum manis yang disuguhkannya khusus untuk istrinya yang cantik itu.
Biasanya pagi-pagi sekali Sahrul sudah membuka tokonya agar rezeki semakin banyak didapatkannya. Namun karena belum lama menikah, dia masih menutup tokonya. Rencananya baru dihari kesepuluh nanti baru dia akan kembali menjalani aktifitasnya sebagai pedagang di pasar.
Kendati pasar di Lubuk Pisang itu hanya sekali seminggu, namun karena Sahrul berdagang bahan-bahan kebutuhan sehari-hari maka dia tetap membuka tokonya setiap hari. Apalagi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari warga desa itu tidak banyak toko yang menjualnya sehingga dagangan Sahrul cukup laris dihari-hari biasa. Kecuali sayur-sayuran, Sahrul menjual berbagai kebutuhan pokok yang diperlukan warga desa.
Sejak bujang memang Sahrul sudah berdagang. Usahanya ini cukup berhasil sehingga sampai saat ini Sahrul sudah bisa mengembangkan usahanya dan membangun toko sendiri di pasar Lubuk Pisang. Dihari pasar dagangan Sahrul juga tidak kalah lakunya dari hari-hari biasa. Terutama karena banyak pedagang-pedagang kecil didusun-dusun yang berbelanja ketokonya. Apalagi harga yang diberikan Sahrul untuk para pedagang yang akan menjual kembali barang-barang tersebut tidak jauh berbeda dengan toke-toke di kota kecamatan yang jaraknya tiga puluh kilometer dari desa itu.
“Wah.. penganten baru kok baru mandi nih?” goda Pak Ilyas yang sedang menyiangi (membersihkan rumput) padinya di sawah. Sawah itu selalu dilalui warga Desa Lubuk Pisang yang akan mandi atau mencuci di Lubuk Batu Besar, Sungai Lubuk Pisang.
“Biasalah, pak. Ini kalau nggak ada perlu ke mudik, mungkin aku belum mau mandi lagi. Mendingan dirumah saja sama istri” jawab Sahrul. “Mari, pak. Aku mandi dulu” sambungnya.
Pak Ilyas hanya ketawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ocehannya dibalas Sahrul dengan kelakar yang sama.
Sahrul berjalan di pematang sawah yang lebih lebar itu. Memang tidak seperti biasanya, pematang sawah dipinggir sawah Pak Ilyas itu dibuat lebih lebar karena warga banyak yang lewat di pematang sawah itu, baik yang bertujuan menuju Lubuk Batu Besar, maupun sebagai jalan pintas menuju jembatan. Walaupun ada jalan resmi yang lebih besar menuju jembatan itu, namun anak-anak sekolah dan para pejalan kaki dari kampung seberang banyak yang memanfaatkan jalan itu menuju sekolah atau pasar desa.
Lubuk Batu Besar adalah bagian dari sungai Lubuk Pisang yang memiliki lubuk yang lebih besar sehingga warga dusun satu banyak yang suka mandi disana. Sungai Lubuk Pisang itu sendiri terdiri dari banyak lubuk, yakni bagian sungai yang lebih dalam dari lainnya sehingga memudahkan orang untuk berenang atau menyelam. Sedang bagian lain dari sungai lebih banyak dipenuhi batu-batu yang besar sehingga air banyak mengalir disela-sela batu.
Diantara lubuk-lubuk yang banyak itu, masing-masing memiliki namanya sendiri-sendiri yang dinamai oleh masyarakat berdasarkan apa yang tampak lebih menonjol disana. Seperti Lubuk Batu Besar karena dilubuk itu ada sebuah batu yang lebih besar dibanding batu-batu lain di sungai itu. Namun ada juga lubuk yang tidak pernah dipakai masyarakat untuk mandi dan mencuci yakni Lubuk Lungun. Disamping karena tidak banyak rumah disekitar lubuk itu juga karena Lubuk Lungun menurut orang-orang tua dahulu dianggap angker karena dihuni oleh makhluk halus sejenis Orang Bunian.
Sahrul menuruni jalan setapak menuju Lubuk Batu Besar, di atas batu besar dilihatnya Herman baru saja selesai mandi dan tengah mengenakan baju.
“Udah siap, Man? Cepat betul?” tanya Sahrul menyapa.
“Ah, dari tadi lagi” jawab Herman. Diambilnya ember kecil tempat sabunnya, sedang handuk melingkar dilehernya.
“Duluan aku, Rul” katanya.
“Ya” jawab Sahrul.
Sahrul menaiki batu besar tempat orang yang mau mandi meletakkan baju dan sabunnya. Matahari yang belum begitu tinggi membuat batu itu tidak terkena sinarannya karena terhalang oleh rimbunnya pohon beringin ditepi lubuk. Urat beringin tua itu menjuntai-juntai ke air. Anak-anak sering memanfaatkan urat beringin itu untuk berayun, baru kemudian mereka melompat ke lubuk yang dalam itu.
Hari yang belum begitu panas membuat Sahrul sedikit malas untuk langsung mandi. Dirogohnya saku bajunya dan sebungkus rokok serta pemantik api telah berada ditangan kanannya. Dengan hisapan yang dalam dinikmatinya rokok kretek kegemarannya itu.
Dinginnya suasana diatas batu yang disertai gemericiknya suara air yang menerobos deretan batu-batu membuat Sahrul hanyut dalam ketenangan yang dalam. Kakinya dibiarkannya terjuntai dimainkan oleh derasnya air yang menghempas batu besar itu. Hisapan rokok semakin membuat tenang suasana hatinya, sehingga pikiran dan lamunannya tentang usaha yang akan dibukanya kembali esok hari semakin mudah direncanakannya.
Tengah Sahrul menikmati rokonya, tiba-tiba dirasakannya ada sesuatu yang menyangkut dikakinya yang sedari tadi dihempas air. Benda lunak yang menyangkut dikakinya itu segera dilirik oleh Sahrul. Maklum, dari tadi memang pandangan Sahrul tidak sedikitpun diarahkan ke bawah, bahkan kalau tidak datar, pandangannya selalu keatas. Sesuai dengan posisi tubuhnya yang dimiringkan kebelakang dan ditopang oleh kedua tangannya yang sesekali diselingi oleh hisapan rokok.
Diangkatnya kakinya, ternyata sebuah selendang tersangkut dikakinya. Diraihnya selendang itu dan diamatinya. Warnanya yang cerah membuat Sahrul bertanya-tanya.
“Selendang siapa yang hanyut ini, ya?” Bagus lagi. Mana ada orang sini yang punya selendang sebagus ini?” pikirnya.
Disamping warnanya yang cerah terkesan mewah, selendang itu juga dihiasi oleh tenunan benang emas dipinggir-pinggir jahitannya.
Sahrul berdiri diatas batu besar. Pandangannya diarahkannya kehulu sungai. Biasanya memang ada ibu-ibu atau anak gadis yang mencuci pakaian diarah hulu sungai. Hanyutnya pakaian tanpa ketahuan pemiliknya kadang sudah biasa terjadi. Namun sejauh mata memandang, tidak dilihatnya seorangpun yang sedang mencuci diarah hulu sungai.
“Apa mungkin selendang ini kepunyaan orang di desa hulu sungai” pikirnya lagi. Tapi rasanya tidak mungkin karena taraf hidup masyarakat di desa Hulu Sungai lebih rendah dibanding dengan taraf hidup masyarakat desa Lubuk Pisang sehingga tidak mungkin rasanya mereka punya selendang seindah ini.
Tidak ingin larut dengan keheranannya, Sahrul segera membuka baju dan celananya. Tinggal celana dalam yang dikenakannya untuk mandi.
Belum kakinya masuk ke dalam sungai didengarnya suara lirih wanita yang minta tolong dengan suara perlahan. Samar-samar suara itu seperti berasal dari kejauhan. Kembali Sahrul naik ke atas batu besar dan mendongakkan kepalanya untuk melihat gerangan dari mana suara itu berasal. Namun tidak dilihatnya siapa-siapa.
“Mungkin suara orang dari arah desa” pikirnya acuh sambil berusaha untuk kembali turun dari batu menuju lubuk.
Tengah Sahrul menurunkan kakinya terdengar lagi suara tadi. Namun sekarang suara itu lebih jelas dari semula.
“Tolong, Bang. Kembalikan selendang saya. Saya malu” kata suara tadi sedikit samar.
Sahrul kembali celingukkan menoleh kesana kemari karena arah suara itu sama sekali tidak bisa ditebaknya. Seakan suara itu berasal dari dalam telinganya sendiri.
Merasa yakin suara tadi meminta selendang, Sahrul memberanikan diri untuk bertanya, walaupun dia tidak tahu kemana arah pertanyaan itu ditujukan.
“Adik dimana? Kalau mau mengambil selendangnya, ambillah” katanya penasaran.
“Aku disini, dibalik batu ini. Tolong lemparkan selendangnya kesini. Aku malu” kata suara itu lagi.
Sahrul menoleh kearah batu yang tertanam dekat pohon beringin dipinggir sungai. Batu itu kendati tidak sebesar batu besar yang tengah diinjak Sahrul, namun karena sebagian batu itu tertutupi tanah dipinggir sungai, tetap ada lekukan yang terlindung, yang membuat Sahrul sulit melihat kearah itu. Namun sebuah lambaian tangan halus nampak dari arah sana.
“Ini, tangkap” kata Sahrul sembari melemparkan selendang yang sudah digulung-gulungnya agar mudah dilemparkan. “Sejak kapan kamu ada disana?” tanyanya penasaran. Sebab dia dari tadi ada disana, tidak dilihatnya ada seorang wanita yang juga mandi disana.
“Terimakasih, Bang” kata gadis itu sembari menyambar lemparan selendang yang sangat pas tiba diatas lengannya. “Aku disini dari tadi. Karena Abang datang, aku jadi malu, sehingga aku sembunyi disini” kata suara dari balik batu itu.
“Kalau kamu sudah selesai mandinya dan malu untuk keluar, biar abang naik dulu ke darat supaya kamu leluasa untuk berpakaian” kata Sahrul menawarkan agar gadis itu bisa lewat disana. Diulurkannya tangannya untuk meraih handuk yang tergeletak diatas batu besar itu.
“Tidak perlu kok, Bang” kata gadis itu sembari menampakkan dirinya.
Sesosok wajah yang cantik dengan kulit yang mulus tengah berdiri diatas air. Sebagian kakinya terendam air yang semakin kuat gemericiknya karena arusnya terhalangi oleh kaki mungil sang gadis.
Sahrul terpana. Handuk yang baru saja diraihnya tanpa sadar terlepas dari genggaman tangannya. Tanpa bisa bicara banyak, ditatapinya gadis itu penuh kekaguman dan keheranan. Betapa tidak, seorang gadis yang sangat cantik dengan kulit halus mulus berdiri dihadapannya. Pakaian yang menutupi tubuhnya hanyalah selendang yang tadi ditemukan Sahrul menyangkut dikakinya. Memang selendang itu mampu menutupi bagian-bagian penting dari tubuh si gadis. Namun tetap saja lekukan tubuh dan bayangan yang dipancarkan oleh tipisnya selendang itu semakin menambah daya pesona bagi tubuh si gadis.
Menyadari dirinya ditatap sedemikian rupa oleh Sahrul, gadis itu tersipu-sipu. Ditundukkannya kepalanya untuk melihat adakah sesuatu bagian tubuhnya yang belum tertutupi yang membuat Sahrul begitu terpana memandangnya.
Namun tetap saja dilihatnya bagian-bagian tubuhnya sudah tertutupi, walaupun tidak sempurna karena hanya selendang yang digunakannya untuk menutupi tubuh nan elok itu.
“Apa ada yang aneh dengan aku, Bang?” tanya si gadis yang membuat Sahrul gelagapan, ketangkap basah sedang menikmati keelokkan tubuh gadis cantik itu.
 

1 komentar:

  1. Selamat datang kembali Penganten Rang Bunian walau sudah berbentuk blog. Dulu saya mengikuti cerita ini dari awal sampai akhir di Riau Ekspress. Cuma masalahnya sekarang apakah Pak Aria berani memasukkan cerita apa adanya sesuai dengan yang diterbitkan di Riau Ekspress atau bahasanya sudah diperhalus. Kalau udah diperhalus gak ori lagi dong...

    BalasHapus