Seiring
meningginya matahari pagi, yang disertai kicauan burung Murai yang hinggap di
pohon jeruk nipis dibelakang rumah, Siti telah pula selesai membersihkan Udang
yang akan digulainya sebagai menu istimewa yang akan disuguhkannya pada
suaminya hari ini. Kendati sudah terbangun dari tidurnya, namun Sahrul, suami
tercintanya agaknya masih malas-malasan untuk bangun dari tempat tidurnya yang
hangat. Tentunya Siti sangat memaklumi jika Sahrul masih juga malas bangun
karena sebagai penganten baru Sahrul masih belum mulai membuka tokonya tempat
mencari nafkah sehari-hari. Biarlah dia menikmati indahnya pagi ini ditempat
tidur, pikir Siti. Sementara dirinya sendiri tidak mungkin harus
bermalas-malasan juga seperti suaminya karena sebagai seorang istri dia harus mempersiapkan makanan untuk makan
siang mereka. Apalagi sebagai orang desa mereka tidak punya pembantu, sedang
untuk membebankan tugas pengurus rumah tangga tidak mungkin diserahkannya
kepada ibunya, walaupun mereka masih penganten baru yang menikah enam hari yang
lalu.
Siti adalah
anak bungsu dari Datuk Sati dan ibu Mariam yang kedudukannya di desa itu cukup
dipandang oleh masyarakat. Selaku pemangku adat, disamping karena kekuasaannya
secara kesukuan, Datuk Sati juga dikenal akan kebijaksanaan dan kearifannya.
Bukan hanya tokoh adat, Datuk Sati juga seorang ulama dan orang pandai yang
selalu dijadikan tempat bertanya dan tempat minta tolong bagi warga desa Lubuk
Pisang, tempat mereka tinggal sekarang ini. Dalam keluarganya, Siti termasuk
anak kesayangan. Bukan hanya karena dia
adalah anak paling kecil, namun dia adalah juga anak perempuan satu-satunya
bagi keluarga Datuk Sati. Tentu saja kedua orangtuanya sangat menyayangi anak
ini. Namun demikian bukan berarti Siti menjadi gadis manja yang tidak bisa
berbuat apa-apa. Sebagaimana layaknya anak-anak perempuan didesa itu, Siti
sangat cekatan dan tahu akan tugas-tugas seorang wanita yang jika sudah menikah
nantinya harus menjadi ibu rumah tangga yang baik dan mampu melayani suami dan
menjaga anak-anaknya.
“Mau mandi,
Bang? Kok cepat sekali. Kan belum mau ke kedai?” tanya Siti begitu dilihatnya
suaminya menghampirinya. Handuk merah tua disandang dipundaknya dan tangannya
mulai meraih ember kecil tempat sabun yang diambilnya di dapur.
“Memang
tidak. Tapi abang mau ke mudik sebentar melihat emak dulu” katanya. Dirangkulnya
kepala istrinya dan sebuah ciuman mendarat di kening Siti.
“Bau ah,
belum mandi sudah nyosor aja” goda Siti.
“Yang
dicium kan bau juga. Jadi gak salah kan kalau orang yang belum mandi berciuman”
kilah Sahrul sembari matanya menatap kuali yang terjerang di tungku. “Masak
apa, Sit?”
“Udang,
bang. Abang suka kan?” tanya Siti.
‘Suka
sekali. Pasti enak nih makan sehabis mandi” katanya.
“Pergilah
mandi dulu. Begitu abang siap mandi udangnya sudah masak” kata Siti sambil
mendorong suaminya yang kelihatannya masih malas beranjak dari dapur.
Sahrul
berlalu dengan senyum manis yang disuguhkannya khusus untuk istrinya yang
cantik itu.
Biasanya
pagi-pagi sekali Sahrul sudah membuka tokonya agar rezeki semakin banyak
didapatkannya. Namun karena belum lama menikah, dia masih menutup tokonya. Rencananya
baru dihari kesepuluh nanti baru dia akan kembali menjalani aktifitasnya
sebagai pedagang di pasar.
Kendati
pasar di Lubuk Pisang itu hanya sekali seminggu, namun karena Sahrul berdagang
bahan-bahan kebutuhan sehari-hari maka dia tetap membuka tokonya setiap hari. Apalagi
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari warga desa itu tidak banyak toko yang
menjualnya sehingga dagangan Sahrul cukup laris dihari-hari biasa. Kecuali sayur-sayuran,
Sahrul menjual berbagai kebutuhan pokok yang diperlukan warga desa.
Sejak bujang
memang Sahrul sudah berdagang. Usahanya ini cukup berhasil sehingga sampai saat
ini Sahrul sudah bisa mengembangkan usahanya dan membangun toko sendiri di
pasar Lubuk Pisang. Dihari pasar dagangan Sahrul juga tidak kalah lakunya dari
hari-hari biasa. Terutama karena banyak pedagang-pedagang kecil didusun-dusun
yang berbelanja ketokonya. Apalagi harga yang diberikan Sahrul untuk para
pedagang yang akan menjual kembali barang-barang tersebut tidak jauh berbeda
dengan toke-toke di kota kecamatan yang jaraknya tiga puluh kilometer dari desa
itu.
“Wah..
penganten baru kok baru mandi nih?” goda Pak Ilyas yang sedang menyiangi
(membersihkan rumput) padinya di sawah. Sawah itu selalu dilalui warga Desa
Lubuk Pisang yang akan mandi atau mencuci di Lubuk Batu Besar, Sungai Lubuk
Pisang.
“Biasalah,
pak. Ini kalau nggak ada perlu ke mudik, mungkin aku belum mau mandi lagi. Mendingan
dirumah saja sama istri” jawab Sahrul. “Mari, pak. Aku mandi dulu” sambungnya.
Pak Ilyas
hanya ketawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ocehannya dibalas
Sahrul dengan kelakar yang sama.
Sahrul berjalan
di pematang sawah yang lebih lebar itu. Memang tidak seperti biasanya, pematang
sawah dipinggir sawah Pak Ilyas itu dibuat lebih lebar karena warga banyak yang
lewat di pematang sawah itu, baik yang bertujuan menuju Lubuk Batu Besar,
maupun sebagai jalan pintas menuju jembatan. Walaupun ada jalan resmi yang
lebih besar menuju jembatan itu, namun anak-anak sekolah dan para pejalan kaki
dari kampung seberang banyak yang memanfaatkan jalan itu menuju sekolah atau
pasar desa.
Lubuk Batu
Besar adalah bagian dari sungai Lubuk Pisang yang memiliki lubuk yang lebih
besar sehingga warga dusun satu banyak yang suka mandi disana. Sungai Lubuk
Pisang itu sendiri terdiri dari banyak lubuk, yakni bagian sungai yang lebih
dalam dari lainnya sehingga memudahkan orang untuk berenang atau menyelam. Sedang
bagian lain dari sungai lebih banyak dipenuhi batu-batu yang besar sehingga air
banyak mengalir disela-sela batu.
Diantara lubuk-lubuk
yang banyak itu, masing-masing memiliki namanya sendiri-sendiri yang dinamai
oleh masyarakat berdasarkan apa yang tampak lebih menonjol disana. Seperti Lubuk
Batu Besar karena dilubuk itu ada sebuah batu yang lebih besar dibanding
batu-batu lain di sungai itu. Namun ada juga lubuk yang tidak pernah dipakai
masyarakat untuk mandi dan mencuci yakni Lubuk Lungun. Disamping karena tidak
banyak rumah disekitar lubuk itu juga karena Lubuk Lungun menurut orang-orang
tua dahulu dianggap angker karena dihuni oleh makhluk halus sejenis Orang
Bunian.
Sahrul
menuruni jalan setapak menuju Lubuk Batu Besar, di atas batu besar dilihatnya
Herman baru saja selesai mandi dan tengah mengenakan baju.
“Udah siap,
Man? Cepat betul?” tanya Sahrul menyapa.
“Ah, dari
tadi lagi” jawab Herman. Diambilnya ember kecil tempat sabunnya, sedang handuk
melingkar dilehernya.
“Duluan
aku, Rul” katanya.
“Ya” jawab
Sahrul.
Sahrul
menaiki batu besar tempat orang yang mau mandi meletakkan baju dan sabunnya. Matahari
yang belum begitu tinggi membuat batu itu tidak terkena sinarannya karena
terhalang oleh rimbunnya pohon beringin ditepi lubuk. Urat beringin tua itu
menjuntai-juntai ke air. Anak-anak sering memanfaatkan urat beringin itu untuk
berayun, baru kemudian mereka melompat ke lubuk yang dalam itu.
Hari yang
belum begitu panas membuat Sahrul sedikit malas untuk langsung mandi. Dirogohnya
saku bajunya dan sebungkus rokok serta pemantik api telah berada ditangan
kanannya. Dengan hisapan yang dalam dinikmatinya rokok kretek kegemarannya itu.
Dinginnya suasana
diatas batu yang disertai gemericiknya suara air yang menerobos deretan
batu-batu membuat Sahrul hanyut dalam ketenangan yang dalam. Kakinya dibiarkannya
terjuntai dimainkan oleh derasnya air yang menghempas batu besar itu. Hisapan rokok
semakin membuat tenang suasana hatinya, sehingga pikiran dan lamunannya tentang
usaha yang akan dibukanya kembali esok hari semakin mudah direncanakannya.
Tengah Sahrul
menikmati rokonya, tiba-tiba dirasakannya ada sesuatu yang menyangkut dikakinya
yang sedari tadi dihempas air. Benda lunak yang menyangkut dikakinya itu segera
dilirik oleh Sahrul. Maklum, dari tadi memang pandangan Sahrul tidak sedikitpun
diarahkan ke bawah, bahkan kalau tidak datar, pandangannya selalu keatas. Sesuai
dengan posisi tubuhnya yang dimiringkan kebelakang dan ditopang oleh kedua
tangannya yang sesekali diselingi oleh hisapan rokok.
Diangkatnya
kakinya, ternyata sebuah selendang tersangkut dikakinya. Diraihnya selendang
itu dan diamatinya. Warnanya yang cerah membuat Sahrul bertanya-tanya.
“Selendang
siapa yang hanyut ini, ya?” Bagus lagi. Mana ada orang sini yang punya
selendang sebagus ini?” pikirnya.
Disamping warnanya
yang cerah terkesan mewah, selendang itu juga dihiasi oleh tenunan benang emas
dipinggir-pinggir jahitannya.
Sahrul
berdiri diatas batu besar. Pandangannya diarahkannya kehulu sungai. Biasanya memang
ada ibu-ibu atau anak gadis yang mencuci pakaian diarah hulu sungai. Hanyutnya pakaian
tanpa ketahuan pemiliknya kadang sudah biasa terjadi. Namun sejauh mata memandang,
tidak dilihatnya seorangpun yang sedang mencuci diarah hulu sungai.
“Apa
mungkin selendang ini kepunyaan orang di desa hulu sungai” pikirnya lagi. Tapi rasanya
tidak mungkin karena taraf hidup masyarakat di desa Hulu Sungai lebih rendah
dibanding dengan taraf hidup masyarakat desa Lubuk Pisang sehingga tidak
mungkin rasanya mereka punya selendang seindah ini.
Tidak ingin
larut dengan keheranannya, Sahrul segera membuka baju dan celananya. Tinggal celana
dalam yang dikenakannya untuk mandi.
Belum kakinya
masuk ke dalam sungai didengarnya suara lirih wanita yang minta tolong dengan
suara perlahan. Samar-samar suara itu seperti berasal dari kejauhan. Kembali Sahrul
naik ke atas batu besar dan mendongakkan kepalanya untuk melihat gerangan dari
mana suara itu berasal. Namun tidak dilihatnya siapa-siapa.
“Mungkin
suara orang dari arah desa” pikirnya acuh sambil berusaha untuk kembali turun
dari batu menuju lubuk.
Tengah Sahrul
menurunkan kakinya terdengar lagi suara tadi. Namun sekarang suara itu lebih
jelas dari semula.
“Tolong, Bang.
Kembalikan selendang saya. Saya malu” kata suara tadi sedikit samar.
Sahrul
kembali celingukkan menoleh kesana kemari karena arah suara itu sama sekali
tidak bisa ditebaknya. Seakan suara itu berasal dari dalam telinganya sendiri.
Merasa yakin
suara tadi meminta selendang, Sahrul memberanikan diri untuk bertanya, walaupun
dia tidak tahu kemana arah pertanyaan itu ditujukan.
“Adik
dimana? Kalau mau mengambil selendangnya, ambillah” katanya penasaran.
“Aku
disini, dibalik batu ini. Tolong lemparkan selendangnya kesini. Aku malu” kata
suara itu lagi.
Sahrul
menoleh kearah batu yang tertanam dekat pohon beringin dipinggir sungai. Batu itu
kendati tidak sebesar batu besar yang tengah diinjak Sahrul, namun karena
sebagian batu itu tertutupi tanah dipinggir sungai, tetap ada lekukan yang terlindung,
yang membuat Sahrul sulit melihat kearah itu. Namun sebuah lambaian tangan
halus nampak dari arah sana.
“Ini,
tangkap” kata Sahrul sembari melemparkan selendang yang sudah
digulung-gulungnya agar mudah dilemparkan. “Sejak kapan kamu ada disana?”
tanyanya penasaran. Sebab dia dari tadi ada disana, tidak dilihatnya ada seorang
wanita yang juga mandi disana.
“Terimakasih,
Bang” kata gadis itu sembari menyambar lemparan selendang yang sangat pas tiba
diatas lengannya. “Aku disini dari tadi. Karena Abang datang, aku jadi malu,
sehingga aku sembunyi disini” kata suara dari balik batu itu.
“Kalau kamu
sudah selesai mandinya dan malu untuk keluar, biar abang naik dulu ke darat
supaya kamu leluasa untuk berpakaian” kata Sahrul menawarkan agar gadis itu
bisa lewat disana. Diulurkannya tangannya untuk meraih handuk yang tergeletak
diatas batu besar itu.
“Tidak
perlu kok, Bang” kata gadis itu sembari menampakkan dirinya.
Sesosok wajah
yang cantik dengan kulit yang mulus tengah berdiri diatas air. Sebagian kakinya
terendam air yang semakin kuat gemericiknya karena arusnya terhalangi oleh kaki
mungil sang gadis.
Sahrul
terpana. Handuk yang baru saja diraihnya tanpa sadar terlepas dari genggaman
tangannya. Tanpa bisa bicara banyak, ditatapinya gadis itu penuh kekaguman dan
keheranan. Betapa tidak, seorang gadis yang sangat cantik dengan kulit halus
mulus berdiri dihadapannya. Pakaian yang menutupi tubuhnya hanyalah selendang
yang tadi ditemukan Sahrul menyangkut dikakinya. Memang selendang itu mampu
menutupi bagian-bagian penting dari tubuh si gadis. Namun tetap saja lekukan
tubuh dan bayangan yang dipancarkan oleh tipisnya selendang itu semakin
menambah daya pesona bagi tubuh si gadis.
Menyadari dirinya
ditatap sedemikian rupa oleh Sahrul, gadis itu tersipu-sipu. Ditundukkannya kepalanya
untuk melihat adakah sesuatu bagian tubuhnya yang belum tertutupi yang membuat
Sahrul begitu terpana memandangnya.
Namun tetap
saja dilihatnya bagian-bagian tubuhnya sudah tertutupi, walaupun tidak sempurna
karena hanya selendang yang digunakannya untuk menutupi tubuh nan elok itu.
“Apa ada
yang aneh dengan aku, Bang?” tanya si gadis yang membuat Sahrul gelagapan,
ketangkap basah sedang menikmati keelokkan tubuh gadis cantik itu.
Selamat datang kembali Penganten Rang Bunian walau sudah berbentuk blog. Dulu saya mengikuti cerita ini dari awal sampai akhir di Riau Ekspress. Cuma masalahnya sekarang apakah Pak Aria berani memasukkan cerita apa adanya sesuai dengan yang diterbitkan di Riau Ekspress atau bahasanya sudah diperhalus. Kalau udah diperhalus gak ori lagi dong...
BalasHapus