Sabtu, 24 Januari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 4)



Sahrul berjalan dibelakang Ratih, diruang depan dilihatnya Bandri sedang berdiri menghadap jendela yang tertutup. Bahunya naik turun seakan mencoba mengendalikan diri.
Ratih duduk di kursi panjang.
“Duduklah dulu, pak. Kita selesaikan masalah ini secara baik-baik” kata Ratih pada suaminya.
Suaminya hanya menurut. Namun matanya yang mengandung kemarahan tetap memandangi Sahrul yang berdiri kaku sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Duduklah, Rul” ajak Ratih.
“Terimakasih, bu” kata Sahrul singkat. Hanya kata-kata itu yang terucap dari mulutnya sejak tertangkap basah tadi.
“Kenapa terjadi hal yang memalukan ini? Kenapa kalian begitu berani melanggar aturan yang berlaku” tanya Ratih penuh sesal.
“Tak tahulah, bu” jawab Sahrul pasrah. Dia sendiri tidak tahu setan apa yang merasuki benaknya sehingga begitu mudah tergoda oleh bujuk rayu setan sehingga dia melakukan perbuatan terkutuk itu. Memang diakuinya rangsangan yang diberikan Ranti tidak akan pernah dilupakannya. Bahkan dalam kondisi ketangkap basah saat inipun jika membayangkan betapa hubungan yang sudah mereka lakukan diranjang tadi Sahrul akan terangsang juga.
Ranti menyusul duduk dekat ibunya. Tak terlihat sedikitpun tanda-tanda penyesalan diraut mukanya. Bahkan Ranti sesekali tersenyum sendiri menunjukkan kebahagiaan atas apa yang baru saja mereka nikmati.
“Sekarang semuanya telah terjadi. Kami hanya perlu mendengar dari Sahrul bagaimana selanjutnya dengan Ranti anak kami. Apakah dia harus menanggung aib ini seorang diri ataukah ada cara lain?” tanya Ratih.
Sahrul yang sudah mengetahui gelagat dan arah pembicaraan tanpa pikir panjang menatap dalam-dalam kearah Ranti yang masih menyiratkan senyum kecilnya seakan memberi kekuatan  bagi Sahrul. Dan senyum kecil Ranti itu ternyata mampu memberi keberanian bagi Sahrul.
“Saya akan bertanggungjawab dan akan menikahi Ranti, kalau ibu dan bapak mengizinkan” jawab Sahrul mantap.
“Bagaimana, pak? tanya Ratih kepada suaminya.
“Ya... mau bagaimana lagi. Semuanya sudah terjadi. Tanyalah sama anakmu itu. Semakin cepat pernikahan itu kita selenggarakan semakin baik” jawab Bandri.
“Bgaimana, Ranti? Kalian telah melanggar aturan yang berlaku. Kalian harus segera dikawinkan” tanya Ratih.
“Aku sih terserah bapak dan ibu saja” jawab Ranti tersipu.
Sebuah senyum tertahan terihat jelas dibibirnya yang mungil. Sahrul begitu bahagia mendengar jawaban Ranti. Entah mengapa Sahrul begitu berhasrat untuk segera menikahi Ranti. Apalagi sejak hubungannya mulai mencair dengan Bandri, pikiran Sahrul selalu tertuju pada apa-apa yang sudah dilakukannya dengan Ranti di ranjang. Sahrul tidak lagi memikirkan kenapa dia mengambil keputusan secepat itu, karena pikirannya tidak sedikitpun berpaling dari kebahagiaan yang telah dan akan mereka lalui.
Dengan gerakan manja dan aduhai Ranti menghampiri ibunya dan membisikkan sesuatu. Sahrul dan Bandri hanya terdiam melihat Ranti begitu serius membisikkan sesuatu di telinga ibunya. Sementara mimik muka ibunya berubah-ubah antara kaget dan senyum genit menggoda. Tak lama Ratih membisikkan apa yang disampaikan Ranti tadi kepada suaminya. Bandri terperangah namun tidak bisa memberikan keputusan apa-apa.
“Aah.. terserahlah” katanya sambil berlalu menuju kamarnya.
Ratih menyusul suaminya sambil sesekali melirik kearah Ranti sambil tersenyum. Senyuman nakal.
“Ada apa, sih?  Kok kalian nampaknya menyembunyikan sesuatu?” tanya Sahrul penasaran.
“Mau tahu? Nih” kata Ranti sambil menarik kepala Sahrul.
Sahrul mengikuti tarikan tangan Ranti dikepalanya untuk membisikkan sesuatu.
“Apa? Gila. Udah tahu ketangkep basah gitu masih nekat juga” kata Sahrul kaget bercampur senang.
“Udah boleh, kok” katanya singkat sambil menarik tangan Sahrul. Sahrul hanya mengikuti saja ketika Ranti menarik kembali tangannya menuju kamar dimana mereka tadi tertangkap. Kembali hubungan itu mereka ulangi entah untuk berapa kali lagi. Sementara mentari pagi masih belum menunjukkan tanda-tanda akan segera muncul.
Di pagi yang cerah itu Ranti sudah terlihat rapi berpakaian yang lebih pantas. Tidak ada lagi pakaian mencolok yang dikenakannya sebagaimana hari sebelumnya. Dilayaninya Sahrul untuk sarapan dan mandi pagi. Kemesraan mereka seakan penganten baru yang tinggal jauh dari keramaian. Tidak dipedulikannya pasangan-pasangan mata yang menatap iri akan kebahagiaan mereka. Namun memang pasangan mata yang melihat mereka seakan turut berbahagia. Tidak ada satu pandangan benci atau sinispun diperlihatkan kepada kebahaagiaan mereka. Seluruh warga kampung itu seakan merestui hubungan cinta Sahrul dan Ranti.
Melihat keberanian Ranti mempertontonkan kemesraannya dihadapan orang-orang lain, Sahrulpun tidak kalah mesranya dalam memperlakukan Ranti. Apalagi seluruh warga kampung itu sepagi ini telah tahu akan rencana orangtua Ranti menghadap sang penguasa, Datuk Puti untuk meminta restu bagi perkawinan anak mereka. Sekembalinya Bandri dari menghadap Sang penguasa, dia memanggil Sahrul dan Ranti untuk menympaikan hasil pembicaraannya dengan sang penguasa.
“Sang Ratu memberikan restu bagi perkawinan kalian. Beliau minta kalian kawin besok malam di Altar tengah kampung” kata Bandri.
Ranti gembira mendengar keterangan ayahnya yang telah mendapat restu dari sang penguasa. Dipeluknya Sahrul erat-erat sebagai wujud kebahagiaannya. Sebenarnya Sahrul merasa heran akan tradisi kampung itu yang ,melakukan perkawinan di Altar dan harus direstui sang penguasa yang mereka panggil dengan sebutan Sang ratu. Namun untuk mempertanyakan hal itu rasanya lidahnya tidak sampai karena rangkulan dan pelukan Ranti telah menimbulkan perasaan tenang dihatinya sehingga dia tidak terpikir lagi untuk menanyakan hal-hal yang janggal tersebut. Bahkan rasa tenang yang dirasakannya tiba-tiba itu mendorong Sahrul untuk mengajak Ranti ke kamar. Ranti hanya mengikuti Sahrul saja. Sedang orangtuanya seakan sudah terbiasa dengan hubungan yang berulang-ulang dilakukan anak dan calon menantunya di kamar.
Pesta pernikahan Sahrul dan Ranti tengah dipersiapkan. Seluruh warga kampung sibuk membantu persiapan pesta itu. Tidak seperti biasanya ditepat lain, resepsi pernikahan dilaksanakan disebuah Altar yang terbuat dari batu ceper yang sangat besar. Seluruh tetua adat yang terdiri dari mayoritas wanita itu sibuk mempersiapkan upoacara-upacara yang harus dilaksanakan. Bukan hanya untuk menyambut kehadiran Sang ratu yang akan memimpin upacara secara langsung namun juga ada suatu persiapan yang bersifat ritual yang dipersiapkan warga kampung. Sementara keluarga Bandri yang mempunyai perhelatan nampaknya tidak banyak disibukkan oleh persiapan perkawinan ini. Justru perkawinan ini seakan menjadi pesta bagi penduduk sehingga mereka lebih antusias dalam menyambutnya.
Sangat berbeda dengan yang terjadi dikampungnya, calon penganten didesa ini justru dipingit  untuk tidak keluar kamar. Namun anehnya pingitan itu berlaku bagi kedua calon penganten dalam satu kamar. Tentu saja hal ini menjadi kesempatan emas bagi Sahrul dan Ranti untuk terus menerus menyalurkan birahinya yang seakan-akan tidak ada puas-puasnya memadu kasih.
Sebenarnya ada suatu kejanggalan yang dirasakan Sahrul dan selalu ingin ditanyakannya kepada Ranti. Namun Ranti bagaikan singa lapar yang tidak memberi kesempatan sedikitpun bagi Sahrul untuk beristirahat dan berbincang-bincang dengannya. Hari-hari menjelang acara ritual itu selalu diisinya dengan memadu kasih yang akhirnya membuat Sahrul semakin terlena dan tidak peduli lagi dengan apa yang dibuat orang-orang kampung untuk menyambut acara mereka. “Selagi keberadaanku di kamar Ranti yang nyata-nyata berbuat tak senonoh tidak dilarang orangtua Ranti dan orang kampung itu, terserahlah” pikir Sahrul yang semakin terlena dengan bujuk rayu dan pelayanan yang diberikan ranti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar