Sahrul berjalan dibelakang Ratih, diruang depan
dilihatnya Bandri sedang berdiri menghadap jendela yang tertutup. Bahunya naik
turun seakan mencoba mengendalikan diri.
Ratih duduk di kursi panjang.
“Duduklah dulu, pak. Kita selesaikan masalah ini
secara baik-baik” kata Ratih pada suaminya.
Suaminya hanya menurut. Namun matanya yang mengandung
kemarahan tetap memandangi Sahrul yang berdiri kaku sambil menundukkan
kepalanya dalam-dalam.
“Duduklah, Rul” ajak Ratih.
“Terimakasih, bu” kata Sahrul singkat. Hanya kata-kata
itu yang terucap dari mulutnya sejak tertangkap basah tadi.
“Kenapa terjadi hal yang memalukan ini? Kenapa kalian
begitu berani melanggar aturan yang berlaku” tanya Ratih penuh sesal.
“Tak tahulah, bu” jawab Sahrul pasrah. Dia sendiri
tidak tahu setan apa yang merasuki benaknya sehingga begitu mudah tergoda oleh
bujuk rayu setan sehingga dia melakukan perbuatan terkutuk itu. Memang diakuinya
rangsangan yang diberikan Ranti tidak akan pernah dilupakannya. Bahkan dalam
kondisi ketangkap basah saat inipun jika membayangkan betapa hubungan yang
sudah mereka lakukan diranjang tadi Sahrul akan terangsang juga.
Ranti menyusul duduk dekat ibunya. Tak terlihat
sedikitpun tanda-tanda penyesalan diraut mukanya. Bahkan Ranti sesekali
tersenyum sendiri menunjukkan kebahagiaan atas apa yang baru saja mereka
nikmati.
“Sekarang semuanya telah terjadi. Kami hanya perlu
mendengar dari Sahrul bagaimana selanjutnya dengan Ranti anak kami. Apakah dia
harus menanggung aib ini seorang diri ataukah ada cara lain?” tanya Ratih.
Sahrul yang sudah mengetahui gelagat dan arah
pembicaraan tanpa pikir panjang menatap dalam-dalam kearah Ranti yang masih
menyiratkan senyum kecilnya seakan memberi kekuatan bagi Sahrul. Dan senyum kecil Ranti itu
ternyata mampu memberi keberanian bagi Sahrul.
“Saya akan bertanggungjawab dan akan menikahi Ranti, kalau
ibu dan bapak mengizinkan” jawab Sahrul mantap.
“Bagaimana, pak? tanya Ratih kepada suaminya.
“Ya... mau bagaimana lagi. Semuanya sudah terjadi. Tanyalah
sama anakmu itu. Semakin cepat pernikahan itu kita selenggarakan semakin baik”
jawab Bandri.
“Bgaimana, Ranti? Kalian telah melanggar aturan yang
berlaku. Kalian harus segera dikawinkan” tanya Ratih.
“Aku sih terserah bapak dan ibu saja” jawab Ranti
tersipu.
Sebuah senyum tertahan terihat jelas dibibirnya yang
mungil. Sahrul begitu bahagia mendengar jawaban Ranti. Entah mengapa Sahrul
begitu berhasrat untuk segera menikahi Ranti. Apalagi sejak hubungannya mulai
mencair dengan Bandri, pikiran Sahrul selalu tertuju pada apa-apa yang sudah
dilakukannya dengan Ranti di ranjang. Sahrul tidak lagi memikirkan kenapa dia
mengambil keputusan secepat itu, karena pikirannya tidak sedikitpun berpaling
dari kebahagiaan yang telah dan akan mereka lalui.
Dengan gerakan manja dan aduhai Ranti menghampiri
ibunya dan membisikkan sesuatu. Sahrul dan Bandri hanya terdiam melihat Ranti
begitu serius membisikkan sesuatu di telinga ibunya. Sementara mimik muka
ibunya berubah-ubah antara kaget dan senyum genit menggoda. Tak lama Ratih
membisikkan apa yang disampaikan Ranti tadi kepada suaminya. Bandri terperangah
namun tidak bisa memberikan keputusan apa-apa.
“Aah.. terserahlah” katanya sambil berlalu menuju
kamarnya.
Ratih menyusul suaminya sambil sesekali melirik kearah
Ranti sambil tersenyum. Senyuman nakal.
“Ada apa, sih? Kok
kalian nampaknya menyembunyikan sesuatu?” tanya Sahrul penasaran.
“Mau tahu? Nih” kata Ranti sambil menarik kepala
Sahrul.
Sahrul mengikuti tarikan tangan Ranti dikepalanya
untuk membisikkan sesuatu.
“Apa? Gila. Udah tahu ketangkep basah gitu masih nekat
juga” kata Sahrul kaget bercampur senang.
“Udah boleh, kok” katanya singkat sambil menarik
tangan Sahrul. Sahrul hanya mengikuti saja ketika Ranti menarik kembali
tangannya menuju kamar dimana mereka tadi tertangkap. Kembali hubungan itu
mereka ulangi entah untuk berapa kali lagi. Sementara mentari pagi masih belum
menunjukkan tanda-tanda akan segera muncul.
Di pagi yang cerah itu Ranti sudah terlihat rapi
berpakaian yang lebih pantas. Tidak ada lagi pakaian mencolok yang dikenakannya
sebagaimana hari sebelumnya. Dilayaninya Sahrul untuk sarapan dan mandi pagi. Kemesraan
mereka seakan penganten baru yang tinggal jauh dari keramaian. Tidak dipedulikannya
pasangan-pasangan mata yang menatap iri akan kebahagiaan mereka. Namun memang
pasangan mata yang melihat mereka seakan turut berbahagia. Tidak ada satu
pandangan benci atau sinispun diperlihatkan kepada kebahaagiaan mereka. Seluruh
warga kampung itu seakan merestui hubungan cinta Sahrul dan Ranti.
Melihat keberanian Ranti mempertontonkan kemesraannya
dihadapan orang-orang lain, Sahrulpun tidak kalah mesranya dalam memperlakukan
Ranti. Apalagi seluruh warga kampung itu sepagi ini telah tahu akan rencana
orangtua Ranti menghadap sang penguasa, Datuk Puti untuk meminta restu bagi
perkawinan anak mereka. Sekembalinya Bandri dari menghadap Sang penguasa, dia
memanggil Sahrul dan Ranti untuk menympaikan hasil pembicaraannya dengan sang
penguasa.
“Sang Ratu memberikan restu bagi perkawinan kalian. Beliau
minta kalian kawin besok malam di Altar tengah kampung” kata Bandri.
Ranti gembira mendengar keterangan ayahnya yang telah
mendapat restu dari sang penguasa. Dipeluknya Sahrul erat-erat sebagai wujud
kebahagiaannya. Sebenarnya Sahrul merasa heran akan tradisi kampung itu yang
,melakukan perkawinan di Altar dan harus direstui sang penguasa yang mereka
panggil dengan sebutan Sang ratu. Namun untuk mempertanyakan hal itu rasanya
lidahnya tidak sampai karena rangkulan dan pelukan Ranti telah menimbulkan
perasaan tenang dihatinya sehingga dia tidak terpikir lagi untuk menanyakan
hal-hal yang janggal tersebut. Bahkan rasa tenang yang dirasakannya tiba-tiba
itu mendorong Sahrul untuk mengajak Ranti ke kamar. Ranti hanya mengikuti
Sahrul saja. Sedang orangtuanya seakan sudah terbiasa dengan hubungan yang
berulang-ulang dilakukan anak dan calon menantunya di kamar.
Pesta pernikahan Sahrul dan Ranti tengah dipersiapkan.
Seluruh warga kampung sibuk membantu persiapan pesta itu. Tidak seperti
biasanya ditepat lain, resepsi pernikahan dilaksanakan disebuah Altar yang
terbuat dari batu ceper yang sangat besar. Seluruh tetua adat yang terdiri dari
mayoritas wanita itu sibuk mempersiapkan upoacara-upacara yang harus
dilaksanakan. Bukan hanya untuk menyambut kehadiran Sang ratu yang akan
memimpin upacara secara langsung namun juga ada suatu persiapan yang bersifat
ritual yang dipersiapkan warga kampung. Sementara keluarga Bandri yang
mempunyai perhelatan nampaknya tidak banyak disibukkan oleh persiapan
perkawinan ini. Justru perkawinan ini seakan menjadi pesta bagi penduduk
sehingga mereka lebih antusias dalam menyambutnya.
Sangat berbeda dengan yang terjadi dikampungnya, calon
penganten didesa ini justru dipingit
untuk tidak keluar kamar. Namun anehnya pingitan itu berlaku bagi kedua
calon penganten dalam satu kamar. Tentu saja hal ini menjadi kesempatan emas
bagi Sahrul dan Ranti untuk terus menerus menyalurkan birahinya yang
seakan-akan tidak ada puas-puasnya memadu kasih.
Sebenarnya ada suatu kejanggalan yang dirasakan Sahrul
dan selalu ingin ditanyakannya kepada Ranti. Namun Ranti bagaikan singa lapar
yang tidak memberi kesempatan sedikitpun bagi Sahrul untuk beristirahat dan berbincang-bincang
dengannya. Hari-hari menjelang acara ritual itu selalu diisinya dengan memadu
kasih yang akhirnya membuat Sahrul semakin terlena dan tidak peduli lagi dengan
apa yang dibuat orang-orang kampung untuk menyambut acara mereka. “Selagi
keberadaanku di kamar Ranti yang nyata-nyata berbuat tak senonoh tidak dilarang
orangtua Ranti dan orang kampung itu, terserahlah” pikir Sahrul yang semakin
terlena dengan bujuk rayu dan pelayanan yang diberikan ranti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar