Selasa, 27 Januari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 7)



Tidak adanya kaum lelaki di kampung itu yang terlibat dalam penyambutan pesta membuat Sahrul bertanya-tanya dalam hati. Apakah kaum lelaki disini yang wajahnya lebih kurang berada dibawah standard itu tidak senang dirinya menikahi Ranti gadis tercantik yang menjadi kembang desa itu. Ataukah mereka memang pada siang-siang begini bekerja  di ladang sehingga tidak sempat pulang?
Tak tahan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab dalam hatinya, Sahrul menanyakan hal itu kepada Ranti.
“Pada kemana kaum lelaki kampung ini? Tidak seperti hari kemaren yang terlihat ramai?” tanyanya.

“Mereka sedang mengabdi kepada Sang Ratu ditempatnya masing-masing” jawab Ranti singkat.
“Bekerja maksudnya?” tanya Sahrul tambah penasaran dengan istilah mengabdi pada Sang Ratu yang selalu dipakai orang kampung itu.
“Lebih kurang begitu” jawab Ranti singkat seakan tak ingin memperpanjang persoalan yang sedang dipertanyakan di benak Sahrul.
Kalau dilayaninya setiap pertanyaan Sahrul tanpa dipatahkan, tentu akan datang pertanyaan-pertanyaan susulan yang akan disampaikan Sahrul.
“Lalu kenapa kaum wanitanya malah menyambut kita? Bukankah lebih baik kalau mereka memasak dan menyiapkan kebutuhan suaminya sebelum suami mereka pulang?” tanyanya lagi.
“ini sebagai wujud mereka memberi penghormatan kepada kita” jawab Ranti. Tdak ada keramahan dari jawaban yang diberikan Ranti. Jelas sekali kalau dia tidak ingin kebiasaan-kebiasaan warga kampung itu yang dilihat Sahrul sebagai kebiasaan aneh selalu ditanyakan Sahrul kepadanya.
“Kalau penghormatan kepada kita saja sebesar ini, bagaimana pula penghormatan mereka kepada Sang Ratu? “tanya Sahrul memberanikan diri berbisik kepada Ranti.
“Sang Ratu bukan untuk dipertanyakan. Kalau ada sesuatu yang berkaitan dengan Sang Ratu yang ingin diketahui, jangan sekali-kali diungkapkan. Apalagi dipertanyakan” kata Ranti seakan tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan Sahrul yang tidak terbendung. Raut mukanya yang sedang serius berubah bengis. Nampak sekali kalau dia tak ingin mendapat pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tak perlu yang selalu dilontarkan calon suaminya itu.
“Maaflah” kata Sahrul. Wajahnya langsung berubah.
Lain sekali Ranti hari ini. Begitu khusu’ mengikuti persiapan upacara dan tak pernah tersenyum atau melirik sedikitpun kepada Sahrul. Jauh sekali perbedaannya dengan sikapnya di rumah dalam beberapa hari ini yang begitu memuja dan memanjakan Sahrul dengan berbagai sikap manis dan panas.
Memang baru kali ini sejak mereka bertemu, Ranti begitu dingin kepada Sahrul. Keanehan sikap pertama Ranti yang menimbulkan perasaan tidak enak di hati Sahrul ini diam-diam membawa pikiran Sahrul menerawang ke kampungnya. Dan begitu kagetnya dia begitu dia sadar bahwa dirinya sebenarnya sudah memiliki seorang istri di Lubuk Pisang. Kendati kecantikkannya jauh dibawah Ranti, namun Sahrul terpengaruh untuk memikirkan Siti istrinya.
“Kenapa aku meninggalkan Siti, ya? Apa salahnya sehingga aku begitu mudah meninggalkannya? Apa yang akan aku lakukan disini dan kenapa aku begitu mudah mengambil keputusan untuk memperistri Ranti sementara aku sendiri sudah memiliki istri di Lubuk Pisang?”
Berbagai pikiran dan kenangan akan istri dan kampungnya membuat Sahrul pusing dan mengerutkan keningnya berkali-kali seakan berusaha memeras otaknya untuk mencari jawaban kenapa dia sampai ke suatu kampung yang jauh berbeda budaya dan cara hidupnya. Bahkan sistem pemerintahannyapun bagi Sahrul bagaikan di dunia dongeng, dimana masih ada persembahan dan penghormatan yang berlebihan kepada penguasa yang mereka sebut-sebut sebagai Sang Ratu Datuk Puti.
Gejala akan kembalinya Sahrul kealam sadarnya ini diketahui oleh Ranti. Segera saja Ranti meremas jemari Sahrul dan menggandengnya dengan hangat dan manja. Lain sekali perubahan sikapnya ini dengan yang tadi. Bahkan kemanjaan Ranti tersebut seakan berusaha memakan Sahrul hidup-hidup. Letupan-letupan gairah dan rangsangan hebat diberikannya kepada Sahrul. Bagaikan terkena kiriman magic, Sahrul begitu menikmati kemanjaan dan sikap Ranti yang tidak lagi memandang bahwa mereka sedang berada dihadapan umum yang tak sepantasnya berbuat begitu. Namun agaknya warga sekitar yang melihat mereka asyik masyuk bergandengan tangan dengan remasan-remasan tangan dan belaiannya seakan maklum. Entah yang mereka maklumi karena keduanya calon penganten yang sedang panas-panasnya mempersiapkan diri untuk menikmati keindahan hidup, atau memang semua warga itu mengetahui kiriman magic kenikmatan yang dikirimkan Ranti.
Sesampainya dirumah Ranti dan Sahrul masuk kekamarnya. Sedang Bandripun mengajak Ratih kekamarnya.
“Abang ingatkan apa-apa yang abang lihat dan kita lakukan di Altar tadi?” tanya Ranti.
“Iya, Cuma abang bingung. Apa yang kita lakukan dan apa yang kamu ucapkan tadi. Apa abang juga harus mengucapkannya?” tanya Sahrul begitu mengingat bahwa dia tidak tahu apa-apa dalam melakukan upacara tadi.
“Baik akan kujelaskan, sayang. Tapi untuk penjelasan ini tidak ada pertanyaan dan penjelasan lanjutan. Cukup dengarkan dan hapalkan karena aku akan menerangkan dengan jelas. Ya sayang, ya?” kata Ranti penuh kemesraan yang benar-benar membuat Sahrul semakin terlena dengan sikap manja dan genit yang selalu diperlihatkan Ranti.
“Baiklah. Kamu bisa memulainya sekarang. Abang akan mendengarkan penuh perhatian dan janji tidak akan bertanya sedikitpun selagi kamu selalu bersikap manis sama abang” jawab Sahrul dengan kemesraan dan belaian tangannya yang tak kalah hangatnya dari sikap Ranti. Gejolak birahinya kembali membara, membuat dia tidak begitu peduli lagi dengan segala keanehan yang seharusnya didengarkannya penjelasan akan hal itu dari Ranti.
“Sang Ratu yang bernama Datu Puti adalah penguasa agung kaum kami yang harus kami puja dan sembah karena dialah yang melindungi kami dengan segenap kekuatannya” kata Ranti memulai penjelasannnya. Dalam memberikan penjelasan itu gerakan tangan Ranti dipunggung dan sekujur tubuh Sahrul memberikan perasaan tenang dan berpengaruh terhadap rasa ingin tahu  Sahrul. Akibatnya Sahrul hanya diam dan seakan paham dengan apa yang baru saja disampaikan Ranti.
“Kami memujanya dengan cara kami sendiri dan itu sudah menjadi tradisi turun temurun yang harus kami jaga” katanya lagi. “Bahkan hidup kaum kami seluruhnya dipersembahkan kepada kebijakan dan keputusan Sang Ratu”.
Panjang lebar Ranti menceritakan kisah hidup kaumnya yang jauh berbeda dengan apa yang terjadi di dunia nyata. Namun dengan menggunakan kekuatan magicnya penjelasan tersebut seakan tidak ada hal yang aneh dari penjelasan itu bagi Sahrul. Padahal nyata-nyata apa yang dijelaskan Ranti tidak sesuai dengan keyakinan dan tradisi yang dianut Sahrul dan keluarga bahkan warga kampungnya. Sungguh pengaruh belaian khusus yang diberikan Ranti membuat penjelasannnya seakan wajar dan masuk akal.
“Karena abang bukan berasal dari bangsa kami, maka perlakuan khusus bagi abang akan diberikan oleh Sang Ratu dan cara-cara abang  melakukan pengabdianpun tidak akan sama dengan kewajiban yang kami jalankan. Abang tidak diharuskan terlibat langsung dalam upacara ritual yang kami sakralkan. Cukup abang ikuti jalannya upacara tanpa harus mengucapkan apa yang kami ucapkan”jelas Ranti lagi.
“Jadi abang hanya mengikuti jalan-jalan dan gerakan seperti tadi saja, tanpa harus tahu apa maksud dan tujuannya?” tanya Sahrul seakan untuk penjelasan lainnya tidak menjadi masalah dan pertanyaan baginya.
“Iya. Itupun ditujukan hanya untuk menghormati tradisi dan ritual kami saja” tambah Ranti.
“Baiklah. Abang paham sekarang. Tinggal mengulang gerakan dan jalan-jalan yang tadi dilalui, lalu upacara selesai dan kita bisa setiap saat bersama dan hidup bahagia seperti sekarang ini” kata Sahrul sambil tangannya mulai melancarkan serangan yang entah sudah berapa kali dilakukannya sejak kedatangannya di kampung itu.
“Kita akan selalu begini dan memang ini adalah tujuan hidup kami” kata Ranti tanpa menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan tujuan hidupnya hanyalah berhubungan seks sesering mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar