Tidak adanya kaum lelaki di kampung itu yang terlibat
dalam penyambutan pesta membuat Sahrul bertanya-tanya dalam hati. Apakah kaum
lelaki disini yang wajahnya lebih kurang berada dibawah standard itu tidak
senang dirinya menikahi Ranti gadis tercantik yang menjadi kembang desa itu.
Ataukah mereka memang pada siang-siang begini bekerja di ladang sehingga tidak sempat pulang?
Tak tahan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak
terjawab dalam hatinya, Sahrul menanyakan hal itu kepada Ranti.
“Pada kemana kaum lelaki kampung ini? Tidak seperti
hari kemaren yang terlihat ramai?” tanyanya.
“Mereka sedang mengabdi kepada Sang Ratu ditempatnya
masing-masing” jawab Ranti singkat.
“Bekerja maksudnya?” tanya Sahrul tambah penasaran
dengan istilah mengabdi pada Sang Ratu yang selalu dipakai orang kampung itu.
“Lebih kurang begitu” jawab Ranti singkat seakan tak
ingin memperpanjang persoalan yang sedang dipertanyakan di benak Sahrul.
Kalau dilayaninya setiap pertanyaan Sahrul tanpa
dipatahkan, tentu akan datang pertanyaan-pertanyaan susulan yang akan
disampaikan Sahrul.
“Lalu kenapa kaum wanitanya malah menyambut kita?
Bukankah lebih baik kalau mereka memasak dan menyiapkan kebutuhan suaminya
sebelum suami mereka pulang?” tanyanya lagi.
“ini sebagai wujud mereka memberi penghormatan kepada
kita” jawab Ranti. Tdak ada keramahan dari jawaban yang diberikan Ranti. Jelas
sekali kalau dia tidak ingin kebiasaan-kebiasaan warga kampung itu yang dilihat
Sahrul sebagai kebiasaan aneh selalu ditanyakan Sahrul kepadanya.
“Kalau penghormatan kepada kita saja sebesar ini,
bagaimana pula penghormatan mereka kepada Sang Ratu? “tanya Sahrul memberanikan
diri berbisik kepada Ranti.
“Sang Ratu bukan untuk dipertanyakan. Kalau ada
sesuatu yang berkaitan dengan Sang Ratu yang ingin diketahui, jangan
sekali-kali diungkapkan. Apalagi dipertanyakan” kata Ranti seakan tersinggung
dengan pertanyaan-pertanyaan Sahrul yang tidak terbendung. Raut mukanya yang
sedang serius berubah bengis. Nampak sekali kalau dia tak ingin mendapat
pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tak perlu yang selalu dilontarkan calon
suaminya itu.
“Maaflah” kata Sahrul. Wajahnya langsung berubah.
Lain sekali Ranti hari ini. Begitu khusu’ mengikuti
persiapan upacara dan tak pernah tersenyum atau melirik sedikitpun kepada
Sahrul. Jauh sekali perbedaannya dengan sikapnya di rumah dalam beberapa hari
ini yang begitu memuja dan memanjakan Sahrul dengan berbagai sikap manis dan
panas.
Memang baru kali ini sejak mereka bertemu, Ranti
begitu dingin kepada Sahrul. Keanehan sikap pertama Ranti yang menimbulkan
perasaan tidak enak di hati Sahrul ini diam-diam membawa pikiran Sahrul
menerawang ke kampungnya. Dan begitu kagetnya dia begitu dia sadar bahwa
dirinya sebenarnya sudah memiliki seorang istri di Lubuk Pisang. Kendati
kecantikkannya jauh dibawah Ranti, namun Sahrul terpengaruh untuk memikirkan
Siti istrinya.
“Kenapa aku meninggalkan Siti, ya? Apa salahnya
sehingga aku begitu mudah meninggalkannya? Apa yang akan aku lakukan disini dan
kenapa aku begitu mudah mengambil keputusan untuk memperistri Ranti sementara
aku sendiri sudah memiliki istri di Lubuk Pisang?”
Berbagai pikiran dan kenangan akan istri dan
kampungnya membuat Sahrul pusing dan mengerutkan keningnya berkali-kali seakan
berusaha memeras otaknya untuk mencari jawaban kenapa dia sampai ke suatu
kampung yang jauh berbeda budaya dan cara hidupnya. Bahkan sistem
pemerintahannyapun bagi Sahrul bagaikan di dunia dongeng, dimana masih ada
persembahan dan penghormatan yang berlebihan kepada penguasa yang mereka
sebut-sebut sebagai Sang Ratu Datuk Puti.
Gejala akan kembalinya Sahrul kealam sadarnya ini
diketahui oleh Ranti. Segera saja Ranti meremas jemari Sahrul dan
menggandengnya dengan hangat dan manja. Lain sekali perubahan sikapnya ini
dengan yang tadi. Bahkan kemanjaan Ranti tersebut seakan berusaha memakan
Sahrul hidup-hidup. Letupan-letupan gairah dan rangsangan hebat diberikannya
kepada Sahrul. Bagaikan terkena kiriman magic, Sahrul begitu menikmati kemanjaan
dan sikap Ranti yang tidak lagi memandang bahwa mereka sedang berada dihadapan
umum yang tak sepantasnya berbuat begitu. Namun agaknya warga sekitar yang
melihat mereka asyik masyuk bergandengan tangan dengan remasan-remasan tangan
dan belaiannya seakan maklum. Entah yang mereka maklumi karena keduanya calon
penganten yang sedang panas-panasnya mempersiapkan diri untuk menikmati
keindahan hidup, atau memang semua warga itu mengetahui kiriman magic
kenikmatan yang dikirimkan Ranti.
Sesampainya dirumah Ranti dan Sahrul masuk kekamarnya.
Sedang Bandripun mengajak Ratih kekamarnya.
“Abang ingatkan apa-apa yang abang lihat dan kita
lakukan di Altar tadi?” tanya Ranti.
“Iya, Cuma abang bingung. Apa yang kita lakukan dan
apa yang kamu ucapkan tadi. Apa abang juga harus mengucapkannya?” tanya Sahrul
begitu mengingat bahwa dia tidak tahu apa-apa dalam melakukan upacara tadi.
“Baik akan kujelaskan, sayang. Tapi untuk penjelasan
ini tidak ada pertanyaan dan penjelasan lanjutan. Cukup dengarkan dan hapalkan
karena aku akan menerangkan dengan jelas. Ya sayang, ya?” kata Ranti penuh
kemesraan yang benar-benar membuat Sahrul semakin terlena dengan sikap manja
dan genit yang selalu diperlihatkan Ranti.
“Baiklah. Kamu bisa memulainya sekarang. Abang akan
mendengarkan penuh perhatian dan janji tidak akan bertanya sedikitpun selagi
kamu selalu bersikap manis sama abang” jawab Sahrul dengan kemesraan dan
belaian tangannya yang tak kalah hangatnya dari sikap Ranti. Gejolak birahinya
kembali membara, membuat dia tidak begitu peduli lagi dengan segala keanehan
yang seharusnya didengarkannya penjelasan akan hal itu dari Ranti.
“Sang Ratu yang bernama Datu Puti adalah penguasa
agung kaum kami yang harus kami puja dan sembah karena dialah yang melindungi
kami dengan segenap kekuatannya” kata Ranti memulai penjelasannnya. Dalam memberikan
penjelasan itu gerakan tangan Ranti dipunggung dan sekujur tubuh Sahrul
memberikan perasaan tenang dan berpengaruh terhadap rasa ingin tahu Sahrul. Akibatnya Sahrul hanya diam dan
seakan paham dengan apa yang baru saja disampaikan Ranti.
“Kami memujanya dengan cara kami sendiri dan itu sudah
menjadi tradisi turun temurun yang harus kami jaga” katanya lagi. “Bahkan hidup
kaum kami seluruhnya dipersembahkan kepada kebijakan dan keputusan Sang Ratu”.
Panjang lebar Ranti menceritakan kisah hidup kaumnya
yang jauh berbeda dengan apa yang terjadi di dunia nyata. Namun dengan
menggunakan kekuatan magicnya penjelasan tersebut seakan tidak ada hal yang
aneh dari penjelasan itu bagi Sahrul. Padahal nyata-nyata apa yang dijelaskan Ranti
tidak sesuai dengan keyakinan dan tradisi yang dianut Sahrul dan keluarga
bahkan warga kampungnya. Sungguh pengaruh belaian khusus yang diberikan Ranti
membuat penjelasannnya seakan wajar dan masuk akal.
“Karena abang bukan berasal dari bangsa kami, maka
perlakuan khusus bagi abang akan diberikan oleh Sang Ratu dan cara-cara
abang melakukan pengabdianpun tidak akan
sama dengan kewajiban yang kami jalankan. Abang tidak diharuskan terlibat
langsung dalam upacara ritual yang kami sakralkan. Cukup abang ikuti jalannya
upacara tanpa harus mengucapkan apa yang kami ucapkan”jelas Ranti lagi.
“Jadi abang hanya mengikuti jalan-jalan dan gerakan
seperti tadi saja, tanpa harus tahu apa maksud dan tujuannya?” tanya Sahrul seakan
untuk penjelasan lainnya tidak menjadi masalah dan pertanyaan baginya.
“Iya. Itupun ditujukan hanya untuk menghormati tradisi
dan ritual kami saja” tambah Ranti.
“Baiklah. Abang paham sekarang. Tinggal mengulang
gerakan dan jalan-jalan yang tadi dilalui, lalu upacara selesai dan kita bisa
setiap saat bersama dan hidup bahagia seperti sekarang ini” kata Sahrul sambil
tangannya mulai melancarkan serangan yang entah sudah berapa kali dilakukannya
sejak kedatangannya di kampung itu.
“Kita akan selalu begini dan memang ini adalah tujuan
hidup kami” kata Ranti tanpa menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan tujuan
hidupnya hanyalah berhubungan seks sesering mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar