Lama terdiam dalam
lamunannya, Sang Ratu sadar akan apa yang
telah dan harus dia perbuat, segera dia bangkit dan menghadap ke arah altar.
Kedua penganten juga segera bangkit dan menundukkan kepalanya ke arah altar.
Sejalan dengan apa yang
dilakukan Sang Ratu, warga yang hadir disana dengan segera menjatuhkan diri dan
bersujud dengan mengandalkan kekuatan kepala mereka masing-masing sebagai
penopang badannya. Sementara tangan mereka terjulur kearah muka dan diam
disana. Sementara Ranti dan Sahrul tidak seperti sebelumnya, sekarang mereka
tidak perlu lagi bersujud melepas kepergian Sang Ratu. Mereka cukup berdiri dan
memandang kepergian Sang Ratu saja.
Dihadapan altar Sang Ratu
menundukkan mukanya yang cantik dan berlalu dari ruangan itu sambil berjalan
mundur. Sebelum sampai diujung pelataran yang dihubungkan dengan pintu gerbang
yang dijaga oleh para pengawalnya, Sang Ratu masih menyempatkan diri
melemparkan pandangannya ke arah Sahrul yang kebetulan juga sedang melihat ke
arah Sang Ratu. Memang sejak tadi ketika Sang Ratu berlalu meninggalkan
pelataran itu dengan jalan mundur dan sedikit menunduk, kesempatan itu
dimanfaatkan oleh Sahrul untuk benar-benar melihat langsung ke wajah cantik
yang sangat dikaguminya itu. Namun begitu mendekati pintu gerbang secara
tiba-tiba Sang Ratu melihat kearahnya, Sahrul gelagapan, tak tahu apa yang
harus diperbuatnya karena kepergok telah lancang melihat langsung ke arah Sang Ratu.
Kali ini Sahrul memberanikan diri untuk tidak menunduk menghadapi tatapan Sang
Ratu yang nampaknya juga mengaguminya. Untungnya reaksi dari Sang Ratu hanya
senyum tipis yang jika tidak diperhatikan betul tidak akan begitu jelas.
Hilangnya sosok Sang Ratu
dari pandangan warga yang masih duduk di pelataran disusul oleh suara gemuruh
musik-musik ritual yang dimainkan oleh para penabuh alat musik yang sedari tadi
tetap setia menunggu diluar pelataran.
Seiring hilangnya sosok Sang
Ratu dari pelataran tempat suci itu yang ditandai dengan bunyi-bunyian alat
musik yang bergemuruh, keluarga penganten dan para warga yang hadir di
pelataran altar itu mendongakkan kepala untuk kemudian berdiri. Tetap tiada
satu suarapun yang terdengar dari mulut ataupun gerakan mereka. Semuanya
hening. Begitu semua warga telah berdiri, kedua mempelai secara perlahan
menghadap ke arah altar yang nampak dari samping air terjun itu. Dengan
membungkukkan badan dalam-dalam kedua mempelai memberi penghormatan kearah altar.
Ranti dan Sahrul terdiam sejenak menunggu kehadiran orangtua mereka yang akan
menjemput kedua mempelai dari kursi penganten tadi. Sesampainya Bandri dan Ratih
dekat anak dan menantunya, mereka berempat kembali memberi penghormatan kearah
altar untuk kemudian berjalan mundur
menuju gerbang pelataran, sebagai pertanda upacara pemberkatan atas perkawinan
anak mereka telah selesai.
Sesampainya diluar
pelataran, kedua mempelai dan keluarganya berangsur meninggalkan tempat itu
yang diikuti oleh warga kampung menuju rumah Bandri.
Dijalan, iring-iringan
penganten itu benar-benar mendapat sambutan yang meriah dari warga kampung
Lubuk Lungun. Tidak seperti pagi tadi sewaktu
mereka melewati perkampungan menuju altar, sekarang jalan-jalan dihiasi
oleh beraneka warna bunga-bungaan dan hiasan yang menarik. Sangat aneh bagi
Sahrul melihat jalan-jalan tersebut secepat itu bisa dihiasi. Entah siapa yang
melakukannya, yang jelas sekarang jalan-jalan dan rumah-rumah warga kampung
yang mereka lalui dihiasi ibarat seluruhnya mengadakan pesta.
“Alangkah berpengaruhnya
keluarga Ranti dikampung ini sampai-sampai semua orang terlibat dalam perayaan
perkawinan ini” pikir Sahrul penuh kebanggaan dan keharuan. Betapa tidak, belum
pernah terbayang dihatinya kalau suatu saat dia bisa menikah dengan kemeriahan
pesta bagaikan perkawinan anak raja.
“Benar-benar aku menjadi
raja sehari ini” pikirnya lagi.
Sementara Ranti yang berada
disampingnya terlihat sangat bahagia dan selalu tersenyum. Dengan kemanjaannya
yang diperlihatkan di depan orang, dia merangkul terus Sahrul seakan tidak
ingin terlepas sedikitpun dari sisi Sahrul.
Dalam hati Sahrul mengakui
betapa cantiknya Ranti yang telah dinikahinya dalam suatu upacara yang aneh. Kecantikan
itu pulalah yang menyebabkan Sahrul selalu terlena dan tidak lagi mempersoalkan
keanehan-keanehan yang dihadapinya selama berada di Lubuk Lungun ini. Bahkan
untuk memikirkan kehidupannya di Lubuk Pisang dengan seorang istri, Siti yang
baru saja dinikahinyapun Sahrul seakan lupa. Yang terbayang dipelupuk matanya
adalah betapa dia akan sangat bahagia dan puas dalam melepaskan birahinya
dengan ditemani oleh wanita secantik Ranti yang dalam hal kemesraan tak pernah
berkurang.
Memasuki pekarangan rumah
Bandri yang baru beberapa jam ditinggalkannya untuk acara resepsi pemberkatan
perkawinannya, ternyata rumah tersebut sudah gemerlap penuh dengan
hiasan-hiasan yang entah kapan dan siapa yang memasangnya. Sebab tadi pagi
rumah itu biasa-biasa saja. Itu makanya Sahrul tadi berharap agar pelataran
tempat pemberkatan perkawinannya lebih semarak. Ternyata ketika pelataran itu
biasa-biasa saja dan terkesan kotor, justru sepulangnya dari pelataran suci itu
malah rumah-rumah penduduk dan rumah Ranti sendiri jauh lebih semarak dibanding
tadi pagi.
Warga Lubuk Lungun yang menunggu
kedatangan rombongan mempelaipun nampak banyak sekali. Sahrul yakin yang
menunggu mereka di rumah Bandri saat ini bukanlah orang-orang kampung yang
mengelu-elukan mereka dijalan tadi.
“Berarti Lubuk Lungun ini ramai
juga” pikirnya melihat orang begitu banyak.
Memasuki ruang tamu rumah
Bandri, Sahrul semakin terkejut mengingat ruangan yang tadinya hanya biasa-biasa
saja, sekarang seperti halnya halaman depan rumah itu, jauh lebih meriah seakan
terlihat lebih luas. Ruang tamu itu telah dihiasi dengan bunga-bunga yang
ditata memenuhi ruangan sehingga tampak sangat serasi. Belum lagi pelaminan
yang sangat mewah. Sahrul sangat terharu dengan kemeriahan pesta itu. Apalagi
ketika dilihatnya Ranti yang sedang berjalan sambil merangkul lengannya juga
sangat gembira dan bahagia. Apalagi kebahagiaan yang dicari Sahrul dimuka bumi
ini kalau sudah mengalami kemewahan pesta perkawinan seperti ini.
Pikiran Sahrul langsung
berfantasi kearah kamar penganten. Tentu kamar penganten telah dihiasi dengan
lebih baik dan serasi, pikirnya.
Bandri dan Ratih yang sedari
tadi mengiringi kedua penganten, mengantar Sahrul dan Ranti untuk duduk di
pelaminan yang sudah tertata rapi disudut ruang tamu itu. Dengan penuh
kebahagiaan kemudian mereka berbincang-bincang dengan para tetamu. Entah apa
yang mereka bicarakan, yang jelas Sahrul tidak begitu hirau. Yang dipikirkannya
adalah betapa akan semakin hangatnya hubungan mereka di kamar penganten nanti
dengan suasana dan wewangian yang penuh semerbak bunga setaman.
Kesibukan melayani tamu yang
datang silih berganti seakan tak putus-putusnya membuat keluarga Bandri merasa
kelelahan yang luar biasa. Namun dari sekian banyak tamu yang datang, tidak ada
satupun yang menyalami penganten. Mereka lebih asyik dengan kesibukkan mereka
berbincang-bincang satu sama lain sambil berdiri. Pesta yang digelar ibarat standing
party ini seakan tidak mengindahkan keberadaan penganten yang dari tadi
memang duduk di pelaminan. Dan sebaliknya pengantenpun asik dengan kemesraan
dan kebahagiaan mereka. Tidak dihiraukannya kedatangan tamu yang silih
berganti. Bahkan bagi mereka, terutama Ranti, tugas menjamu tamu adalah tugas
orangtuanya. Sedang penganten yang sedang bersanding tidak dilibatkan dalam
kedatangan tamu, walaupun hanya untuk disalami atau diberi ucapan selamat
sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar