Minggu, 01 Februari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 11)



Lama terdiam dalam lamunannya, Sang Ratu sadar akan apa yang  telah dan harus dia perbuat, segera dia bangkit dan menghadap ke arah altar. Kedua penganten juga segera bangkit dan menundukkan kepalanya ke arah altar.
Sejalan dengan apa yang dilakukan Sang Ratu, warga yang hadir disana dengan segera menjatuhkan diri dan bersujud dengan mengandalkan kekuatan kepala mereka masing-masing sebagai penopang badannya. Sementara tangan mereka terjulur kearah muka dan diam disana. Sementara Ranti dan Sahrul tidak seperti sebelumnya, sekarang mereka tidak perlu lagi bersujud melepas kepergian Sang Ratu. Mereka cukup berdiri dan memandang kepergian Sang Ratu saja.

Dihadapan altar Sang Ratu menundukkan mukanya yang cantik dan berlalu dari ruangan itu sambil berjalan mundur. Sebelum sampai diujung pelataran yang dihubungkan dengan pintu gerbang yang dijaga oleh para pengawalnya, Sang Ratu masih menyempatkan diri melemparkan pandangannya ke arah Sahrul yang kebetulan juga sedang melihat ke arah Sang Ratu. Memang sejak tadi ketika Sang Ratu berlalu meninggalkan pelataran itu dengan jalan mundur dan sedikit menunduk, kesempatan itu dimanfaatkan oleh Sahrul untuk benar-benar melihat langsung ke wajah cantik yang sangat dikaguminya itu. Namun begitu mendekati pintu gerbang secara tiba-tiba Sang Ratu melihat kearahnya, Sahrul gelagapan, tak tahu apa yang harus diperbuatnya karena kepergok telah lancang melihat langsung ke arah Sang Ratu. Kali ini Sahrul memberanikan diri untuk tidak menunduk menghadapi tatapan Sang Ratu yang nampaknya juga mengaguminya. Untungnya reaksi dari Sang Ratu hanya senyum tipis yang jika tidak diperhatikan betul tidak akan begitu jelas.
Hilangnya sosok Sang Ratu dari pandangan warga yang masih duduk di pelataran disusul oleh suara gemuruh musik-musik ritual yang dimainkan oleh para penabuh alat musik yang sedari tadi tetap setia menunggu diluar pelataran.
Seiring hilangnya sosok Sang Ratu dari pelataran tempat suci itu yang ditandai dengan bunyi-bunyian alat musik yang bergemuruh, keluarga penganten dan para warga yang hadir di pelataran altar itu mendongakkan kepala untuk kemudian berdiri. Tetap tiada satu suarapun yang terdengar dari mulut ataupun gerakan mereka. Semuanya hening. Begitu semua warga telah berdiri, kedua mempelai secara perlahan menghadap ke arah altar yang nampak dari samping air terjun itu. Dengan membungkukkan badan dalam-dalam kedua mempelai memberi penghormatan kearah altar. Ranti dan Sahrul terdiam sejenak menunggu kehadiran orangtua mereka yang akan menjemput kedua mempelai dari kursi penganten tadi. Sesampainya Bandri dan Ratih dekat anak dan menantunya, mereka berempat kembali memberi penghormatan kearah altar untuk kemudian berjalan  mundur menuju gerbang pelataran, sebagai pertanda upacara pemberkatan atas perkawinan anak mereka telah selesai.
Sesampainya diluar pelataran, kedua mempelai dan keluarganya berangsur meninggalkan tempat itu yang diikuti oleh warga kampung menuju rumah Bandri.
Dijalan, iring-iringan penganten itu benar-benar mendapat sambutan yang meriah dari warga kampung Lubuk Lungun. Tidak seperti pagi tadi sewaktu  mereka melewati perkampungan menuju altar, sekarang jalan-jalan dihiasi oleh beraneka warna bunga-bungaan dan hiasan yang menarik. Sangat aneh bagi Sahrul melihat jalan-jalan tersebut secepat itu bisa dihiasi. Entah siapa yang melakukannya, yang jelas sekarang jalan-jalan dan rumah-rumah warga kampung yang mereka lalui dihiasi ibarat seluruhnya mengadakan pesta.
“Alangkah berpengaruhnya keluarga Ranti dikampung ini sampai-sampai semua orang terlibat dalam perayaan perkawinan ini” pikir Sahrul penuh kebanggaan dan keharuan. Betapa tidak, belum pernah terbayang dihatinya kalau suatu saat dia bisa menikah dengan kemeriahan pesta bagaikan perkawinan anak raja.
“Benar-benar aku menjadi raja sehari ini” pikirnya lagi.
Sementara Ranti yang berada disampingnya terlihat sangat bahagia dan selalu tersenyum. Dengan kemanjaannya yang diperlihatkan di depan orang, dia merangkul terus Sahrul seakan tidak ingin terlepas sedikitpun dari sisi Sahrul.
Dalam hati Sahrul mengakui betapa cantiknya Ranti yang telah dinikahinya dalam suatu upacara yang aneh. Kecantikan itu pulalah yang menyebabkan Sahrul selalu terlena dan tidak lagi mempersoalkan keanehan-keanehan yang dihadapinya selama berada di Lubuk Lungun ini. Bahkan untuk memikirkan kehidupannya di Lubuk Pisang dengan seorang istri, Siti yang baru saja dinikahinyapun Sahrul seakan lupa. Yang terbayang dipelupuk matanya adalah betapa dia akan sangat bahagia dan puas dalam melepaskan birahinya dengan ditemani oleh wanita secantik Ranti yang dalam hal kemesraan tak pernah berkurang.
Memasuki pekarangan rumah Bandri yang baru beberapa jam ditinggalkannya untuk acara resepsi pemberkatan perkawinannya, ternyata rumah tersebut sudah gemerlap penuh dengan hiasan-hiasan yang entah kapan dan siapa yang memasangnya. Sebab tadi pagi rumah itu biasa-biasa saja. Itu makanya Sahrul tadi berharap agar pelataran tempat pemberkatan perkawinannya lebih semarak. Ternyata ketika pelataran itu biasa-biasa saja dan terkesan kotor, justru sepulangnya dari pelataran suci itu malah rumah-rumah penduduk dan rumah Ranti sendiri jauh lebih semarak dibanding tadi pagi.
Warga Lubuk Lungun yang menunggu kedatangan rombongan mempelaipun nampak banyak sekali. Sahrul yakin yang menunggu mereka di rumah Bandri saat ini bukanlah orang-orang kampung yang mengelu-elukan mereka dijalan tadi.
“Berarti Lubuk Lungun ini ramai juga” pikirnya melihat orang begitu banyak.
Memasuki ruang tamu rumah Bandri, Sahrul semakin terkejut mengingat ruangan yang tadinya hanya biasa-biasa saja, sekarang seperti halnya halaman depan rumah itu, jauh lebih meriah seakan terlihat lebih luas. Ruang tamu itu telah dihiasi dengan bunga-bunga yang ditata memenuhi ruangan sehingga tampak sangat serasi. Belum lagi pelaminan yang sangat mewah. Sahrul sangat terharu dengan kemeriahan pesta itu. Apalagi ketika dilihatnya Ranti yang sedang berjalan sambil merangkul lengannya juga sangat gembira dan bahagia. Apalagi kebahagiaan yang dicari Sahrul dimuka bumi ini kalau sudah mengalami kemewahan pesta perkawinan seperti ini.
Pikiran Sahrul langsung berfantasi kearah kamar penganten. Tentu kamar penganten telah dihiasi dengan lebih baik dan serasi, pikirnya.
Bandri dan Ratih yang sedari tadi mengiringi kedua penganten, mengantar Sahrul dan Ranti untuk duduk di pelaminan yang sudah tertata rapi disudut ruang tamu itu. Dengan penuh kebahagiaan kemudian mereka berbincang-bincang dengan para tetamu. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas Sahrul tidak begitu hirau. Yang dipikirkannya adalah betapa akan semakin hangatnya hubungan mereka di kamar penganten nanti dengan suasana dan wewangian yang penuh semerbak bunga setaman.
Kesibukan melayani tamu yang datang silih berganti seakan tak putus-putusnya membuat keluarga Bandri merasa kelelahan yang luar biasa. Namun dari sekian banyak tamu yang datang, tidak ada satupun yang menyalami penganten. Mereka lebih asyik dengan kesibukkan mereka berbincang-bincang satu sama lain sambil berdiri. Pesta yang digelar ibarat standing party ini seakan tidak mengindahkan keberadaan penganten yang dari tadi memang duduk di pelaminan. Dan sebaliknya pengantenpun asik dengan kemesraan dan kebahagiaan mereka. Tidak dihiraukannya kedatangan tamu yang silih berganti. Bahkan bagi mereka, terutama Ranti, tugas menjamu tamu adalah tugas orangtuanya. Sedang penganten yang sedang bersanding tidak dilibatkan dalam kedatangan tamu, walaupun hanya untuk disalami atau diberi ucapan selamat sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar