Tangannya sudah memainkan minyak gosok yang diraupnya
dari cawan yang dibawanya tadi. Sementara tangannya yang satu lagi
menarik-narik baju Sahrul menyuruh dibuka.
“Iyalah, bu. Maaf jadi merepotkan ibu” kata Sahrul.
Sementara rangsangan birahinya masih belum juga terkendali. Betapa groginya dia
menghadapi mertuanya yang begitu baik sementara kondisi onderdilnya masih belum
bisa diajak kompromi.
Pijatan demi pijatan dilakukan ibu mertuanya
dipunggung Sahrul. Jangankan hilang rangsangan yang dirasakannya tadi, justru
sekarang rangsangan birahi itu semakin kuat terasa. Memang berbeda pijatan yang
dilakukan Mayang dengan ibunya Ranti ini. Apa yang dilakukan Ratih benar-benar
ditujukan untuk menghilangkan letih yang dirasakan menantunya itu. Namun
rangsangan kuat tetap saja dirasakannya.
Tengah Sahrul berusaha menahan gejolak birahinya,
samar-samar didengarnya lenguhan nafas yang memburu dari belakang punggungnya.
Tentu saja lenguhan nafas itu berasal dari hidung mertuanya.
“Sudahlah, bu. Nampaknya ibu sudah letih. Saya sudah
tak penat lagi, kok” katanya sungkan.
“Ah.. enggak apa-apa kok” jawab Ratih, namun dari
ucapannya tadi semakin kentara lenguhan nafas itu terdengar.
Penasaran, Sahrul memalingkan wajahnya melihat kondisi
ibu mertuanya itu. Alangkah kagetnya dia ketika dilihatnya Ratih sembari
memijat-mijat punggungnya itu sambil
bergoyang-goyang erotis seakan tengah berperang melawan hasrat birahi
yang besar pula. Matanya terpejam namun wajahnya tertuju keatas. Sementara
lidahnya melelet-lelet membasahi bibirnya yang merah merekah. Dengan sigap
Sahrul membalikkan badannya yang membuat Ratih begitu kagetnya.
“Ibu kenapa?” tanya Sahrul bingung.
“Entahlah. Ibu juga tak tahan” katanya. Tangannya
masih terus menggerayangi dada dan perut Sahrul yang sudah membalikkan badan
tadi. Bukan lagi pijatan yang diberikannya tapi lebih dapat dikatakan sebagai
sebuah elusan dan remasan yang disertai tenaga yang didasari gejolak birahi.
Tak segan-segan dia masih terus melanjutkan remasan dan elusannya.
Kendati merasa bertemu pasangan yang benar-benar
saling membutuhkan, namun Sahrul masih dapat berpikir logis. Bagaimana mungkin
dia bisa melakukan hal itu dengan mertuanya sendiri. Walaupun mertuanya itu
juga sangat cantik dan memiliki tubuh yang molek, tak kalah seksi dibanding
anaknya, Ranti.
“Sebaiknya kita tak melakukannya, bu” ingat Sahrul
berusaha mengelak.
“Tak apa-apa, Rul. Aku sangat tak tahan” katanya
sembari terus melancarkan serangan-serangannya yang memang dibiarkan oleh
Sahrul. Tak bisa dipungkiri kalau Sahrul sendiri sangat menikmatinya, namun dia
masih berusaha untuk pasif.
“Bagaimana kalau Ranti dan Bapak pulang. Alangkah
murkanya mereka kalau melihat kita begini” ingat Sahrul kembali.
“Tidak, Rul. Mereka belum akan pulang. Jangan takut.
Kalaupun mereka tahu, aku yang akan bertanggungjawab” jawab Ratih.
Kali ini serangannya begitu gencar dan tanpa malu-malu
lagi. Bahkan tangannya sudah mulai mencari bagian-bagian sensitif yang tidak
seharusnya disentuhnya. Lagi-lagi Sahrul masih membiarkan dan bahkan diam-diam
menikmati permainan tangan mertuanya itu.
”Kalau begitu, maaf kalau saya lancang. Tapi saya juga
tak tahan menunggu Ranti pulang” kata Sahrul.
Dia mulai membalas aksi Ratih yang begitu
membangkitkan gairahnya.
“Teruskan, Rul” jawab Ratih lirih.
Atas kesepakatan berdua akhirnya mereka menikmati
permainan itu. Entah berapa lama mereka melakukannya. Yang jelas kedua orang
itu menjelang matahari terbenam telah telentang tak kuasa melanjutkan permainan yang melelahkan itu. Terlihat kepuasan di
wajah penuh keringat kedua insan itu.
“Kamu sangat kejam, Rul. Sudah puluhan tahun aku
memendam keinginan untuk melakukannya denganmu” kata Ratih disela-sela nafasnya
yang masih memburu.
“Kenapa?” tanya Sahrul tanpa memandang kearah
mertuanya itu.
“Sejak kamu melakukan hubungan pertama kali dengan
Ranti, aku begitu menginginkannya. Bahkan kami selalu mengintip kalian
menikmati hari-hari indah dikamar ini” katanya.
“Kami?” tanya Sahrul heran.
“Iya... aku dan Bandri selalu mengintip kalian main.
Dan aku sangat iri melihat kebahagiaan kalian. Sedang Bandri sendiri tidak
mampu memberikan kebahagiaan itu kepadaku” jawabnya. “Baru beberapa tahun yang
lalu dia mengizinkan aku untuk mendekati dan memintanya dari kamu” tambah
Ratih.
“Jadi... ba.. bapak tahu kita melakukan ini” kata
Sahrul mulai cemas.
“Iya. Kenapa? Kamu tidak perlu takut. Dia memberi
kesempatan kepada kita untuk menikmati permainan ini karena dia tidak mampu
melakukannya. Bahkan dia sangat ingin mengintip kita main” kata Ratih polos.
Sahrul hanya terdiam. Dia merasa dijebak. Namun tetap
saja dia harus mengakui kalau permainan yang baru saja dilakukan Ratih sangat
menyenangkan. Tidak ada bedanya dengan yang dilakukannya dengan Ranti. Apalagi
dari segi wajah dan potongan tubuh, kedua anak beranak itu tidak berbeda. Tidak
ada yang dapat membedakan antara ibu dan anak ini. Bahkan mereka berdua
terlihat masih tetap seperti gadis remaja yang tak pernah tua dan kekurangan
kecantikan.
“Kamu tidak perlu merasa bersalah atau malu. Ini memang
sudah seharusnya kita lakukan. Dan kitapun menikmatinya, kan?” kata Ratih
manja. Didekapnya tubuh berkeringat Sahrul dari samping.
“Saya hanya tak bisa membayangkan, bagaimana kalau
Ranti sampai tahu apa yang baru saja kita lakukan. Betapa marahnya dia kalau
tahu saya juga meniduri ibunya” kata Sahrul. Sementara pandangannya menerawang
kelangit-langit kamar.
“Dia tidak akan tahu. Kalaupun dia tahu, dia akan bisa
memakluminya” kata Ratih membujuk Sahrul.
“Saya berharap ibu bisa menjaga rahasia ini dan untuk
selanjutnya sebaiknya kita menghindari pertemuan seperti ini lagi”
“Kamu tidak perlu takut. Tapi kita akan terus
melakukannya. Kamu jangan menyangkal kalau kamupun menikmatinya”
“Sebaiknya jangan. Saya tak mau kita keenakan sampai
Ranti mengetahui aib ini” jawab Sahrul lagi.
Kembali Ratih mencengkram erat tubuh Sahrul begitu
didengarnya Sahrul tidak ingin melanjutkan hubungan gelap ini.
“Kamu jangan kejam begitu, Rul. Bagaimana mungkin aku
akan tahan untuk tidak berhubungan lagi. Aku tak mau. Kita harus tetap
melakukannya” rengek Ratih bagaikan penganten baru yang tidak ingin kehilangan
momen bahagia yang baru didapatkannya.
“Saya hanya takut” jawab Sahrul datar.
Mereka berdua bangkit untuk kemudian segera mengenakan
pakaian masing-masing. Usai mengenakan pakaian, Ratih kembali memeluk Sahrul
dengan mesra dan membisikinya dengan mesra.
“Kamu tidak perlu takut. Dan tolong kamu jangan
memanggil aku ibu kalau kita sedang berduaan. Kalau kita sedang berduaan, aku
milik kamu. Bukan mertuamu lagi” tambahnya.
Dengan gerakan genit dan kepuasan yang amat sangat
Ratih berlalu dari kamar anaknya itu. Nyanyian kecil yang tak jelas terdengar
dari mulut mungilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar