Jumat, 13 Februari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 23)



Tangannya sudah memainkan minyak gosok yang diraupnya dari cawan yang dibawanya tadi. Sementara tangannya yang satu lagi menarik-narik baju Sahrul menyuruh dibuka.
“Iyalah, bu. Maaf jadi merepotkan ibu” kata Sahrul. Sementara rangsangan birahinya masih belum juga terkendali. Betapa groginya dia menghadapi mertuanya yang begitu baik sementara kondisi onderdilnya masih belum bisa diajak kompromi.
Pijatan demi pijatan dilakukan ibu mertuanya dipunggung Sahrul. Jangankan hilang rangsangan yang dirasakannya tadi, justru sekarang rangsangan birahi itu semakin kuat terasa. Memang berbeda pijatan yang dilakukan Mayang dengan ibunya Ranti ini. Apa yang dilakukan Ratih benar-benar ditujukan untuk menghilangkan letih yang dirasakan menantunya itu. Namun rangsangan kuat tetap saja dirasakannya.

Tengah Sahrul berusaha menahan gejolak birahinya, samar-samar didengarnya lenguhan nafas yang memburu dari belakang punggungnya. Tentu saja lenguhan nafas itu berasal dari hidung mertuanya.
“Sudahlah, bu. Nampaknya ibu sudah letih. Saya sudah tak penat lagi, kok” katanya sungkan.
“Ah.. enggak apa-apa kok” jawab Ratih, namun dari ucapannya tadi semakin kentara lenguhan nafas itu terdengar.
Penasaran, Sahrul memalingkan wajahnya melihat kondisi ibu mertuanya itu. Alangkah kagetnya dia ketika dilihatnya Ratih sembari memijat-mijat punggungnya itu sambil  bergoyang-goyang erotis seakan tengah berperang melawan hasrat birahi yang besar pula. Matanya terpejam namun wajahnya tertuju keatas. Sementara lidahnya melelet-lelet membasahi bibirnya yang merah merekah. Dengan sigap Sahrul membalikkan badannya yang membuat Ratih begitu kagetnya.
“Ibu kenapa?” tanya Sahrul bingung.
“Entahlah. Ibu juga tak tahan” katanya. Tangannya masih terus menggerayangi dada dan perut Sahrul yang sudah membalikkan badan tadi. Bukan lagi pijatan yang diberikannya tapi lebih dapat dikatakan sebagai sebuah elusan dan remasan yang disertai tenaga yang didasari gejolak birahi. Tak segan-segan dia masih terus melanjutkan remasan dan elusannya.
Kendati merasa bertemu pasangan yang benar-benar saling membutuhkan, namun Sahrul masih dapat berpikir logis. Bagaimana mungkin dia bisa melakukan hal itu dengan mertuanya sendiri. Walaupun mertuanya itu juga sangat cantik dan memiliki tubuh yang molek, tak kalah seksi dibanding anaknya, Ranti.
“Sebaiknya kita tak melakukannya, bu” ingat Sahrul berusaha mengelak.
“Tak apa-apa, Rul. Aku sangat tak tahan” katanya sembari terus melancarkan serangan-serangannya yang memang dibiarkan oleh Sahrul. Tak bisa dipungkiri kalau Sahrul sendiri sangat menikmatinya, namun dia masih berusaha untuk pasif.
“Bagaimana kalau Ranti dan Bapak pulang. Alangkah murkanya mereka kalau melihat kita begini” ingat Sahrul kembali.
“Tidak, Rul. Mereka belum akan pulang. Jangan takut. Kalaupun mereka tahu, aku yang akan bertanggungjawab” jawab Ratih.
Kali ini serangannya begitu gencar dan tanpa malu-malu lagi. Bahkan tangannya sudah mulai mencari bagian-bagian sensitif yang tidak seharusnya disentuhnya. Lagi-lagi Sahrul masih membiarkan dan bahkan diam-diam menikmati permainan tangan mertuanya itu.
”Kalau begitu, maaf kalau saya lancang. Tapi saya juga tak tahan menunggu Ranti pulang” kata Sahrul.
Dia mulai membalas aksi Ratih yang begitu membangkitkan gairahnya.
“Teruskan, Rul” jawab Ratih lirih.
Atas kesepakatan berdua akhirnya mereka menikmati permainan itu. Entah berapa lama mereka melakukannya. Yang jelas kedua orang itu menjelang matahari terbenam telah telentang tak kuasa melanjutkan permainan  yang melelahkan itu. Terlihat kepuasan di wajah penuh keringat kedua insan itu.
“Kamu sangat kejam, Rul. Sudah puluhan tahun aku memendam keinginan untuk melakukannya denganmu” kata Ratih disela-sela nafasnya yang masih memburu.
“Kenapa?” tanya Sahrul tanpa memandang kearah mertuanya itu.
“Sejak kamu melakukan hubungan pertama kali dengan Ranti, aku begitu menginginkannya. Bahkan kami selalu mengintip kalian menikmati hari-hari indah dikamar ini” katanya.
“Kami?” tanya Sahrul heran.
“Iya... aku dan Bandri selalu mengintip kalian main. Dan aku sangat iri melihat kebahagiaan kalian. Sedang Bandri sendiri tidak mampu memberikan kebahagiaan itu kepadaku” jawabnya. “Baru beberapa tahun yang lalu dia mengizinkan aku untuk mendekati dan memintanya dari kamu” tambah Ratih.
“Jadi... ba.. bapak tahu kita melakukan ini” kata Sahrul mulai cemas.
“Iya. Kenapa? Kamu tidak perlu takut. Dia memberi kesempatan kepada kita untuk menikmati permainan ini karena dia tidak mampu melakukannya. Bahkan dia sangat ingin mengintip kita main” kata Ratih polos.
Sahrul hanya terdiam. Dia merasa dijebak. Namun tetap saja dia harus mengakui kalau permainan yang baru saja dilakukan Ratih sangat menyenangkan. Tidak ada bedanya dengan yang dilakukannya dengan Ranti. Apalagi dari segi wajah dan potongan tubuh, kedua anak beranak itu tidak berbeda. Tidak ada yang dapat membedakan antara ibu dan anak ini. Bahkan mereka berdua terlihat masih tetap seperti gadis remaja yang tak pernah tua dan kekurangan kecantikan.
“Kamu tidak perlu merasa bersalah atau malu. Ini memang sudah seharusnya kita lakukan. Dan kitapun menikmatinya, kan?” kata Ratih manja. Didekapnya tubuh berkeringat Sahrul dari samping.
“Saya hanya tak bisa membayangkan, bagaimana kalau Ranti sampai tahu apa yang baru saja kita lakukan. Betapa marahnya dia kalau tahu saya juga meniduri ibunya” kata Sahrul. Sementara pandangannya menerawang kelangit-langit kamar.
“Dia tidak akan tahu. Kalaupun dia tahu, dia akan bisa memakluminya” kata Ratih membujuk Sahrul.
“Saya berharap ibu bisa menjaga rahasia ini dan untuk selanjutnya sebaiknya kita menghindari pertemuan seperti ini lagi”
“Kamu tidak perlu takut. Tapi kita akan terus melakukannya. Kamu jangan menyangkal kalau kamupun menikmatinya”
“Sebaiknya jangan. Saya tak mau kita keenakan sampai Ranti mengetahui aib ini” jawab Sahrul lagi.
Kembali Ratih mencengkram erat tubuh Sahrul begitu didengarnya Sahrul tidak ingin melanjutkan hubungan gelap ini.
“Kamu jangan kejam begitu, Rul. Bagaimana mungkin aku akan tahan untuk tidak berhubungan lagi. Aku tak mau. Kita harus tetap melakukannya” rengek Ratih bagaikan penganten baru yang tidak ingin kehilangan momen bahagia yang baru didapatkannya.
“Saya hanya takut” jawab Sahrul datar.
Mereka berdua bangkit untuk kemudian segera mengenakan pakaian masing-masing. Usai mengenakan pakaian, Ratih kembali memeluk Sahrul dengan mesra dan membisikinya dengan mesra.
“Kamu tidak perlu takut. Dan tolong kamu jangan memanggil aku ibu kalau kita sedang berduaan. Kalau kita sedang berduaan, aku milik kamu. Bukan mertuamu lagi” tambahnya.
Dengan gerakan genit dan kepuasan yang amat sangat Ratih berlalu dari kamar anaknya itu. Nyanyian kecil yang tak jelas terdengar dari mulut mungilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar