Sahrul hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya melihat mertuanya begitu bahagia bisa menikmati
permainan gila itu. Dipikir-pikirkanya kembali, betapa sebenarnya dia harus
mengakui hebatnya permainan yang dimainkan mertuanya itu. Memang dari keempat
wanita yang digaulinya dikampung itu, Ratih memiliki keistimewaan tersendiri.
Terutama mungkin karena mereka baru pertama kali melakukannya. Lagi pula mereka
melakukannya secara sembunyi-sembunyi bagaikan seorang pencuri.
Tak lama setelah Sahrul bisa
menghilangkan letihnya, dari luar terdengar kegaduhan suara beberapa orang yang
mendekati rumah itu. Ada beberapa suara yang terdengar, namun suara Ranti dan Bandrilah
yang sangat dikenal Sahrul. Selebihnya adalah suara anak-anak Sahrul yang tak
dikenalinya secara pasti.
Memang kalau ditanya secara
khusus Sahrul tidak akan mampu mengenali anaknya begitu dekat. Yang dia tahu
hanyalah bahwa mereka adalah anak-anaknya. Sedang jumlah dan namanya dia tidak
begitu tahu karena selama ini dia sangat disibukkan dengan tugas selaku pejantan bagi istrinya Ranti,
Sang Ratu, Mayang dan sekarang bertambah lagi satu tugasnya untuk memuaskan
nafsu mertuanya sendiri Ratih.
Sahrul menyambut kedatangan
istri, mertua dan anak-anaknya keluar kamar. Melihat Sahrul keluar kamar, tak
ayal Ranti berlari memeluk suaminya begitu dilihatnya Sahrul mendekatinya.
Kedua suami istri itu tanpa mempedulikan orang tua dan anak-anaknya langsung
masuk kamar seakan mereka sudah lama tak bertemu dan memadu kasih.
Samar terdengar ditelinga
Sahrul suara Bandri yang menanyai Ratih ketika Sahrul membopong Ranti masuk
kamar.
“Bagaimana? Kamu
menikmatinya?” begitu suara Bandri yang singgah ditelinga Sahrul.
“Luar biasa. Terimakasih,
bang” jawab Ratih.
Telinga Sahrul sesaat
memerah mendengar pertanyaan Bandri yang ditujukan kepada Ratih.
“Sialan. Aku dijebak
nampaknya ini” pikir hati Sahrul merutuk.
Namun bagaimanapun juga
seharusnya dia berterimakasih kepada Bandri. Namun tak mungkin hal itu akan
dilakukannya. Tak mau berpikir macam-macam, Sahrul tetap membopong istrinya
kekamar. Benar-benar kehidupan keras yang menguras tenaga yang dilalui Sahrul
dikampung itu.
Siang itu, tidak seperti
biasanya Sahrul menyempatkan diri untuk keluar rumah. Padahal selama puluhan
tahun dia tinggal di kampung Lubuk Lungn itu tidak pernah sekalipun dia
berjalan-jalan keluar rumah. Memang selama ini kerjanya dirumah hanya berhubungan
badan dengan istrinya sehingga hari berlalu musim berganti dia tidak pernah
tahu, kecuali sekali seminggu seperti yang diamanatkan Sang Ratu, Sahrul harus
melakukan pengabdian kepad Sang Ratu dan Mayang. Hanya untuk keperluan itulah
selama ini Sahrul keluar rumah.
Begitu juga dengan Ranti
yang tidak pernah memberi kesempatan bagi Sahrul untuk keluar rumah tanpa
alasan yang jelas. Untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan Sahrul seputar
masalah dikampung itu, dia selalu membayar rasa ingin tahu Sahrul dengan
mengajaknya bermesraan yang tak pernah henti-hentinya mereka lakukan, sehingga
tak satu masalahpun yang sempat dipikirkan Sahrul kecuali untuk terus menikmati
hidup di kampung itu. Tapi kali ini, entah angin apa yang mendorong Sahrul
untuk keluar rumah, yang jelas kepergiannya yang diragukan Ranti itu mendapat
izin dari istrinya. Tapi bagaimanapun juga dia merahasiakan kepergiannya, Ranti
sudah mengetahui maksud kepergian Sahrul siang itu. Tentu saja dia masih
penasaran dengan jalan yang dilihatnya kemarin, pikir Ranti. Namun dibiarkannya
saja suaminya mengikuti rasa penasarannya itu karena tak dapat dielakkan lagi
oleh Ranti.
Untuk menghilangkan rasa
penasaran dan mencari jawaban soal jalan yang ditemukannya kemarin, Sahrul
bergegas menyelusuri jalan kampung menuju istana. Di jalan itulah dia kemarin
melihat adanya persimpangan jalan yang telah membuat dia merasa yakin kalau dia
pernah melewati dan mengenal baik jalan itu. Memang selama ini dia tidak
terlalu memperhatikan adanya persimpangan jalan yang kemarin ditelusurinya
karena selama ini setiap pulang dari istana, dia selalu bergegas pulang untuk
segera menemui istri tercintanya, Ranti. Dan baru kemarinlah dia betul-betul
merasa bahwa selama ini dia tidak memperhatikan sama sekali apa yang ada
dipersimpangan jalan antara rumah Ranti dengan istana Sang Ratu.
Mendekati jalan berbelok di tengah
kampung itu, jantung Sahrul makin kencang berdegup. Bagaimana tidak, dia yang
ingin mengetahui sesuatu yang masih menjadi bayangan samar itu akhirnya tanpa
menunggu waktu seminggu lagi saat berkunjung ke istana Sang Ratu, saat ini dia
bisa mencari sendiri jalan itu. Yang tentu saja dibekali izin dari istrinya
yang selama ini secara tak langsung selalu mengekangnya.
Alangkah terkejutnya Sahrul
ketika didapatinya lewat dari belokan itu tak satupun jalan setapak yang
kemarin siang baru saja ditebasnya dengan menggunakan sebatang tongkat kayu
untuk mencari tahu sejauh mana jalan itu. Jangankan jalan setapak yang masih
bersemak, tanda-tanda adanya badan jalan yang pernah dilalui orangpun tidak ada
disana.
“Aneh. Tak mungkin aku salah
menandakan lokasi jalan kemarin. Kok sekarang sama sekali tidak ada bekas
tebasanku kemarin? Katanya bergumam mengajak dirinya sendiri berbicara.
Penasaran melihat kondisi jalan yang sama sekali tertutup belukar yang
sangat rapat, Sahrul berusaha menguak belukar itu untuk melihat sisa jalan yang
ada. Namun tetap saja jalan yang dimaksudkannya itu tidak ada sama sekali.
Bahkan tak jauh dari balik semak itu hanya ada lembah kecil yang agak terjal.
Sedangkan kemarin yang dilihat dan dilewatinya sangat jauh berbeda, dimana
kemarin sampai hutan dia masih bisa menelusuri jalan tanah yang datar dan
kering.
“Tidak mungkin. Tidak
mungkin aku sampai lupa begini” pikirnya agi.
Berpikir sekeras apapun
juga, tetap saja Sahrul tidak menemukan jalan dimaksud, lama juga dia
menguak-nguakkan belukar disepanjang jalan itu. Bahkan orang yang lewat sekitar
tempat itu bertanya-tanya melihat gerak-gerik Sahrul yang sedang mencari
sesuatu yang hilang.
“Cari apa, Rul? Kenapa
istrimu ditinggal dirumah saja?” tegur seorang lelaki sebaya Bandri yang kebetulan
lewat dijalan itu sambil mengangkat air dalam belanga besar yang dijujungnya
dipundak kanan.
“Anu, pak. Kemarin saya
melihat ada jalan disekitar sini menuju sana. Tapi kok sekarang saya tidak
melihat lagi, ya?” tanya Sahrul sembari menunjuk kearah hutan.
“Selama bapak disini tidak
ada jalan yang bisa dibuat ditanah lereng ini. Mana sanggup kita mendaki dan
menurun melewati jalan disini” kata orang tua itu polos.
“Perasaan saya kemarin lewat
sini dan melihat sendiri jalan itu, pak. Bahkan saya sampai ke hutan itu untuk
melihat sejauh mana jalan ini bisa dipakai” kata Sahrul masih penasaran.
“Mungkin kamu salah lihat.
Atau bisa jadi bukan disini tempatnya” kata orang tua itu sambil
meneruskan kembali perjalanannya.
“Mungkin juga, pak. Tapi
biarlah saya coba cari-cari dahulu. Mana tahu saya bisa menemukannya” jawab
Sahrul sambil terus berusaha mencari.
Namun kembali dihatinya
timbul keraguan. Apakah memang benar dia menemukan jalan itu disini. Atau ada
tempat lain yang agak sama sehingga dia lupa.
Tetap saja Sahrul belum bisa
mencari jawaban atas tidak ditemukannya jalan itu.
“Biarlah, nanti kalau aku ke
istana akan kucoba lagi mencari dari arah jalan istana” pikirnya menghibur
diri.
Dengan badan lesu dan wajah yang sayu Sahrul kembali
pulang. Segala pikiran sudah dikerahkannya untuk menemukan jalan itu, namun
tetap saja jalan yang diyakininya ada disebelah kiri belokan itu tidak
ditemukan. Sambil pulang, Sahrul berusaha keras mengingat kembali dimana dia
kemarin bertemu jalan itu dan apa saja tanda-tanda yang nampak disekitarnya.
Namun pikirannya kembali buntu. Tapi yang jelas dia sangat yakin kalau jalan
yang ditempuhnya saat ini adalah jalan kemarin yang dia lewati setelah masuk
dan membabat semak belukar di jalan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar