Sabtu, 14 Februari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 24)



Sahrul hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat mertuanya begitu bahagia bisa menikmati permainan gila itu. Dipikir-pikirkanya kembali, betapa sebenarnya dia harus mengakui hebatnya permainan yang dimainkan mertuanya itu. Memang dari keempat wanita yang digaulinya dikampung itu, Ratih memiliki keistimewaan tersendiri. Terutama mungkin karena mereka baru pertama kali melakukannya. Lagi pula mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi bagaikan seorang pencuri.

Tak lama setelah Sahrul bisa menghilangkan letihnya, dari luar terdengar kegaduhan suara beberapa orang yang mendekati rumah itu. Ada beberapa suara yang terdengar, namun suara Ranti dan Bandrilah yang sangat dikenal Sahrul. Selebihnya adalah suara anak-anak Sahrul yang tak dikenalinya secara pasti.
Memang kalau ditanya secara khusus Sahrul tidak akan mampu mengenali anaknya begitu dekat. Yang dia tahu hanyalah bahwa mereka adalah anak-anaknya. Sedang jumlah dan namanya dia tidak begitu tahu karena selama ini dia sangat disibukkan dengan  tugas selaku pejantan bagi istrinya Ranti, Sang Ratu, Mayang dan sekarang bertambah lagi satu tugasnya untuk memuaskan nafsu mertuanya sendiri Ratih.
Sahrul menyambut kedatangan istri, mertua dan anak-anaknya keluar kamar. Melihat Sahrul keluar kamar, tak ayal Ranti berlari memeluk suaminya begitu dilihatnya Sahrul mendekatinya. Kedua suami istri itu tanpa mempedulikan orang tua dan anak-anaknya langsung masuk kamar seakan mereka sudah lama tak bertemu dan memadu kasih.
Samar terdengar ditelinga Sahrul suara Bandri yang menanyai Ratih ketika Sahrul membopong Ranti masuk kamar.
“Bagaimana? Kamu menikmatinya?” begitu suara Bandri yang singgah ditelinga Sahrul.
“Luar biasa. Terimakasih, bang” jawab Ratih.
Telinga Sahrul sesaat memerah mendengar pertanyaan Bandri yang ditujukan kepada Ratih.
“Sialan. Aku dijebak nampaknya ini” pikir hati Sahrul merutuk.
Namun bagaimanapun juga seharusnya dia berterimakasih kepada Bandri. Namun tak mungkin hal itu akan dilakukannya. Tak mau berpikir macam-macam, Sahrul tetap membopong istrinya kekamar. Benar-benar kehidupan keras yang menguras tenaga yang dilalui Sahrul dikampung itu.
Siang itu, tidak seperti biasanya Sahrul menyempatkan diri untuk keluar rumah. Padahal selama puluhan tahun dia tinggal di kampung Lubuk Lungn itu tidak pernah sekalipun dia berjalan-jalan keluar rumah. Memang selama ini kerjanya dirumah hanya berhubungan badan dengan istrinya sehingga hari berlalu musim berganti dia tidak pernah tahu, kecuali sekali seminggu seperti yang diamanatkan Sang Ratu, Sahrul harus melakukan pengabdian kepad Sang Ratu dan Mayang. Hanya untuk keperluan itulah selama ini Sahrul keluar rumah.
Begitu juga dengan Ranti yang tidak pernah memberi kesempatan bagi Sahrul untuk keluar rumah tanpa alasan yang jelas. Untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan Sahrul seputar masalah dikampung itu, dia selalu membayar rasa ingin tahu Sahrul dengan mengajaknya bermesraan yang tak pernah henti-hentinya mereka lakukan, sehingga tak satu masalahpun yang sempat dipikirkan Sahrul kecuali untuk terus menikmati hidup di kampung itu. Tapi kali ini, entah angin apa yang mendorong Sahrul untuk keluar rumah, yang jelas kepergiannya yang diragukan Ranti itu mendapat izin dari istrinya. Tapi bagaimanapun juga dia merahasiakan kepergiannya, Ranti sudah mengetahui maksud kepergian Sahrul siang itu. Tentu saja dia masih penasaran dengan jalan yang dilihatnya kemarin, pikir Ranti. Namun dibiarkannya saja suaminya mengikuti rasa penasarannya itu karena tak dapat dielakkan lagi oleh Ranti.
Untuk menghilangkan rasa penasaran dan mencari jawaban soal jalan yang ditemukannya kemarin, Sahrul bergegas menyelusuri jalan kampung menuju istana. Di jalan itulah dia kemarin melihat adanya persimpangan jalan yang telah membuat dia merasa yakin kalau dia pernah melewati dan mengenal baik jalan itu. Memang selama ini dia tidak terlalu memperhatikan adanya persimpangan jalan yang kemarin ditelusurinya karena selama ini setiap pulang dari istana, dia selalu bergegas pulang untuk segera menemui istri tercintanya, Ranti. Dan baru kemarinlah dia betul-betul merasa bahwa selama ini dia tidak memperhatikan sama sekali apa yang ada dipersimpangan jalan antara rumah Ranti dengan istana Sang Ratu.
Mendekati jalan berbelok di tengah kampung itu, jantung Sahrul makin kencang berdegup. Bagaimana tidak, dia yang ingin mengetahui sesuatu yang masih menjadi bayangan samar itu akhirnya tanpa menunggu waktu seminggu lagi saat berkunjung ke istana Sang Ratu, saat ini dia bisa mencari sendiri jalan itu. Yang tentu saja dibekali izin dari istrinya yang selama ini secara tak langsung selalu mengekangnya.
Alangkah terkejutnya Sahrul ketika didapatinya lewat dari belokan itu tak satupun jalan setapak yang kemarin siang baru saja ditebasnya dengan menggunakan sebatang tongkat kayu untuk mencari tahu sejauh mana jalan itu. Jangankan jalan setapak yang masih bersemak, tanda-tanda adanya badan jalan yang pernah dilalui orangpun tidak ada disana.
“Aneh. Tak mungkin aku salah menandakan lokasi jalan kemarin. Kok sekarang sama sekali tidak ada bekas tebasanku kemarin? Katanya bergumam mengajak dirinya sendiri berbicara.
Penasaran melihat kondisi  jalan yang sama sekali tertutup belukar yang sangat rapat, Sahrul berusaha menguak belukar itu untuk melihat sisa jalan yang ada. Namun tetap saja jalan yang dimaksudkannya itu tidak ada sama sekali. Bahkan tak jauh dari balik semak itu hanya ada lembah kecil yang agak terjal. Sedangkan kemarin yang dilihat dan dilewatinya sangat jauh berbeda, dimana kemarin sampai hutan dia masih bisa menelusuri jalan tanah yang datar dan kering.
“Tidak mungkin. Tidak mungkin aku sampai lupa begini” pikirnya agi.
Berpikir sekeras apapun juga, tetap saja Sahrul tidak menemukan jalan dimaksud, lama juga dia menguak-nguakkan belukar disepanjang jalan itu. Bahkan orang yang lewat sekitar tempat itu bertanya-tanya melihat gerak-gerik Sahrul yang sedang mencari sesuatu yang hilang.
“Cari apa, Rul? Kenapa istrimu ditinggal dirumah saja?” tegur seorang lelaki sebaya Bandri yang kebetulan lewat dijalan itu sambil mengangkat air dalam belanga besar yang dijujungnya dipundak kanan.
“Anu, pak. Kemarin saya melihat ada jalan disekitar sini menuju sana. Tapi kok sekarang saya tidak melihat lagi, ya?” tanya Sahrul sembari menunjuk kearah hutan.
“Selama bapak disini tidak ada jalan yang bisa dibuat ditanah lereng ini. Mana sanggup kita mendaki dan menurun melewati jalan disini” kata orang tua itu polos.
“Perasaan saya kemarin lewat sini dan melihat sendiri jalan itu, pak. Bahkan saya sampai ke hutan itu untuk melihat sejauh mana jalan ini bisa dipakai” kata Sahrul masih penasaran.
“Mungkin kamu salah lihat. Atau bisa jadi bukan disini tempatnya” kata orang tua itu sambil meneruskan  kembali perjalanannya.
“Mungkin juga, pak. Tapi biarlah saya coba cari-cari dahulu. Mana tahu saya bisa menemukannya” jawab Sahrul sambil terus berusaha mencari.
Namun kembali dihatinya timbul keraguan. Apakah memang benar dia menemukan jalan itu disini. Atau ada tempat lain yang agak sama sehingga dia lupa.
Tetap saja Sahrul belum bisa mencari jawaban atas tidak ditemukannya jalan itu.
“Biarlah, nanti kalau aku ke istana akan kucoba lagi mencari dari arah jalan istana” pikirnya menghibur diri.
Dengan  badan lesu dan wajah yang sayu Sahrul kembali pulang. Segala pikiran sudah dikerahkannya untuk menemukan jalan itu, namun tetap saja jalan yang diyakininya ada disebelah kiri belokan itu tidak ditemukan. Sambil pulang, Sahrul berusaha keras mengingat kembali dimana dia kemarin bertemu jalan itu dan apa saja tanda-tanda yang nampak disekitarnya. Namun pikirannya kembali buntu. Tapi yang jelas dia sangat yakin kalau jalan yang ditempuhnya saat ini adalah jalan kemarin yang dia lewati setelah masuk dan membabat semak belukar di jalan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar