“Kenyataan apa?
Sudahlah, bang. Lebih baik sekarang abang istirahat dan melalui hidup indah
kita sebagaimana selalu kita lakukan” kata Ranti sambil berusaha merayu dan
menarik tangan suaminya itu. Namun dibalik bujukannnya untuk melupakan masalah
itu, ada suatu ketegasan dan perintah yang diberikannya kepada suaminya untuk
tidak mengingat yang macam-macam.
Tanpa berpikir lagi, Sahrul
mengikuti bujukan istrinya dan berusaha melupakan apa yang baru saja
dipikirkannya. Mungkin juga memang aku hanya berkhayal, pikirnya kembali
bersikap sebagaimana biasanya.
Memang setelah puluhan
tahun tinggal di kampung itu dengan menghabiskan hari-harinya untuk melayani
ketiga wanita haus seks itu, Sahrul tidak ingat sedikitpun kalau dia bukan
berasal dari kampung itu dan dia masih memiliki kampung, orang tua, dan istri
ditempat lain. Tidak sedikitpun ingatannya tertuju pada kondisi suatu hari
dimasa lalu dimana dia adalah warga desa Lubuk Pisang dan masih memiliki istri.
Tidak seperti
biasanya, Ranti yang selalu melayani suaminya berhubungan sejak Sahrul pulang
sampai tengah malam, kali ini usai permainan kedua, sore itu Ranti pamit pada
suaminya untuk mengunjungi seorang kerabatnya. Anehnya Ranti tidak mengizinkan
suaminya untuk ikut serta dalam kunjungan itu. Bahkan secara pasti Ranti tidak
menyebutkan siapa yang dikunjunginya dan dimana rumahnya. Ranti hanya
mengatakan kalau dia ada keperluan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan dan
diapun tidak bisa ditemani. Namun Sahrul tidak begitu menghiraukan kepergian
istrinya itu, karena memang sejak mereka kawin tidak pernah sekalipun dia pergi
dengan Ranti kesuatu tempat, baik itu mengunjungi keluarga jauh ataupun sekedar
jalan-jalan. Tidak hanya karena Sahrul punya jadwal sendiri dengan Sang Ratu
dan Mayang, namun juga karena mereka selama ini sangat sibuk dengan hubungan
seks yang seakan tak puas-puasnya mereka reguk.
“Selama saya pergi,
abang istirahatlah dulu. Saya pergi tak begitu lama. Nanti kita lanjutkan lagi
yang tadi, ya?” godanya sambil memeluk suaminya untuk pamit sebentar.
Mendengar kata-kata
istrinya yang meminta dia untuk melanjutkan kembali kenikmatan itu setelah
istrinya pulang nanti, Sahrul terlena dan rela menunggu di kamarnya. Tidak
disia-siakannya kesempatan itu dengan mengumpulkan kembali segenap tenaganya
melalui tidur siang. Namun tetap saja khayalannya kembali menerawang ke masalah
jalan yang tadi pagi ditelusurinya.
“Kenapa aku begitu
merasa kenal dengan jalan itu. Kenapa jalan itu buntu? Dan kenapa aku begitu
yakin kalau aku mengenal jalan itu?” pikirnya keras. Pikiran demi pikiran
dikumpulkannya untuk memastikan dimana dia pernah kenal dengan jalan itu. Dan
kenapa dia begitu yakin kalau jalan itu pernah dilaluinya. Namun tetap saja
pikirannya buntu, bahkan sesekali pikirannya kembali terarah pada apa-apa yang
telah dan akan dilakukannya dengan istrinya, Sang Ratu dan Mayang yang membuat
hasratnya untuk melakukan hubungan seks kembali membara seketika itu juga. Tak
sabar menunggu istrinya pulang, Sahrul berusaha menghabiskan waktunya dengan
berjalan-jalan disekitar ruangan rumah itu. Suatu kebiasaan yang sangat jarang
dilakukannya karena selama ini hidupnya hanya dihabiskannya di tempat tidur.
Bahkan makannyapun selalu diantar mertuanya kekamar karena begitu sempitnya
waktu istirahat yang dimilikinya.
Diruang tengah,
dilihatnya Ratih, mertuanya sedang duduk santai entah sedang mengerjakan apa.
“Kok sendirian saja,
Bu? Bapak dan anak-anak kemana?” tanyanya.
“Eh... Sahrul. Bapak
sedang mengajak anak-anakmu berkunjung kerumah kerabatnya. Ranti juga ikut
tadi” jawab mertua perempuannya itu.
“Ibu kok tak ikut?”
tanya Sahrul penasaran.
“Ah... tidak. Ibu
sengaja menunggu rumah mana tahu kamu bangun dan membutuhkan sesuatu” jawab
ibunya.
“Saya tidak tidur kok,
Bu. Tak bisa mata saya terpejam. Ranti begitu lama meninggalkan saya. Saya jadi
begitu gelisah” katanya. Entah apa yang dimaksudkannya dengan gelisah.
“Biarlah ibu buatkan
dulu muniman untuk kamu” kata Ratih sambil berlalu.
“Terimakasih, Bu” jawab
Sahrul. Dia duduk di kursi ruang tengah itu. Diarahkannya pandangannya kesetiap
sudut ruangan itu seakan dia baru pertama kali masuk ruangan itu. Memang selama
tinggal disana dia sangat jarang bergabung dengan keluarga istrinya itu dan
duduk-duduk diruang keluarga. Padahal dia sampai sekarang masih menumpang
dirumah mertuanya itu.
Tak lama berselang ibu
mertuanya yang cantik itu telah kembali dengan membawa baki berisi dua gelas
minuman. Berarti yang satunya untuk dia, pikir Sahrul begitu dilihatnya mertuanya
membawa dua gelas minuman.
“Minumlah, Rul.
Mumpung masih panas” kata Ratih menawarkan.
“Terimakasih, Bu”
jawabnya.
Diraihnya gelas itu
dan membawanya kemulutnya. Terlihat Sahrul begitu menikmati minuman itu. Lebih
setengah gelas telah diminumnya. Begitu juga dengan Ratih.
Pembicaraan-pembicaraan
ringan kembali mereka lakukan. Bahkan disela-sela obrolannya kedua orang itu
mulai bercanda dan tertawa lepas. Tak lama setelah dia menghabiskan isi gelas
itu, Sahrul merasakan kehangatan yang luar biasa. Gairah kejantanannya kembali
pulih. Tidak terasa keletihan usai melakukan pertarungan panjang dengan Sang Ratu,
Mayang dan istrinya yang baru beberapa saat dilakukannya.
“Ibu sangat pintar
membuat minuman ini. Badan saya kembali segar” puji Sahrul.
“Ah.. biasa-biasa saja
kok. Cuma minuman biasa yang selalu kamu minum” kilah mertuanya.
Sahrul hanya
tersenyum. Lama kelamaan pengaruh hangat minuman itu semakin menjalar keseluruh
denyut nadinya. Bahkan kehangatan itu berubah menjadi rangsangan hebat yang
tentu saja membuat dirinya kembali gelisah tak tenang duduk dan bertingkah
serba salah. Gejolak itu semakin lama semakin menggebu dan tak kuasa lagi,
Sahrul telah menunjukkan hasrat yang kuat untuk melakukan hubungan badani.
Terlihat dari kegelisahan tubuhnya dan lenguhan nafasnya yang mulai tidak
teratur.
“Kenapa, Rul?” tanya
Ratih menyipitkan matanya heran.
“Entahlah, bu.
Tiba-tiba saja saya sangat merindukan Ranti. Tidak biasanya kami begitu lama
tidak melakukan hubungan ini” jelasnya. Tidak ada lagi perasaan malu pada
mertuanya itu saking tidak tahannya Sahrul menahan gejolak birahi yang datang
tiba-tiba itu.
“Saya kekamar dulu,
bu. Biar saya tunggu Ranti dikamar” katanya pamit. Ratih hanya mengangguk
sembari menunjukkan keprihatinan melihat kondisi menantunya yang begitu
terguncang menahan gejolak yang tak tersalurkan.
Seakan berlari Sahrul
meluncur menuju kamarnya. Diguling-gulingkannya tubuhnya di kasur empuk
kamarnya. Tidak juga reda deraan birahi yang dirasakannya, sesekali
diarahkannya matanya kepintu seakan tidak ingin kehilangan momentum kalau-kalau
Ranti sudah kembali dan berdiri di pintu kamar.
“Tok.. tok.. tok. Rul.
Boleh aku masuk?” terdengar ketukan dan suara Ratih dibalik pintu
memanggil-manggil namanya.
“Ya, Bu. Masuklah.
Pintu tak dikunci” katanya sembari bangun dari posisi tengkurapnya tadi.
Belum dia sempat
berdiri dari ranjang itu, mertuanya telah berdiri disisi ranjang. Ditangannya tampak
secawan minyak yang dibawa Ratih dari luar tadi.
“Kamu nampaknya letih
sekali. Biar aku bantumemijat kamu” katanya menawarkan jasa.
“Wah.. tidak usah, Bu.
Tak apa-apa kok. Biar Ranti saja yang melakukannya nanti” elak Sahrul. Namun
dilihatnya mertuanya tak menggubris dan tetap maju dan duduk di kasur disisi
Sahrul.
“Tak apa-apa. Ranti
kan tidak ada. Wajar kalau aku yang membantu kamu menggantikan tugas Ranti
anakku” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar