Kamis, 12 Februari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 22)



“Kenyataan apa? Sudahlah, bang. Lebih baik sekarang abang istirahat dan melalui hidup indah kita sebagaimana selalu kita lakukan” kata Ranti sambil berusaha merayu dan menarik tangan suaminya itu. Namun dibalik bujukannnya untuk melupakan masalah itu, ada suatu ketegasan dan perintah yang diberikannya kepada suaminya untuk tidak mengingat yang macam-macam.
Tanpa berpikir lagi, Sahrul mengikuti bujukan istrinya dan berusaha melupakan apa yang baru saja dipikirkannya. Mungkin juga memang aku hanya berkhayal, pikirnya kembali bersikap sebagaimana biasanya.
Memang setelah puluhan tahun tinggal di kampung itu dengan menghabiskan hari-harinya untuk melayani ketiga wanita haus seks itu, Sahrul tidak ingat sedikitpun kalau dia bukan berasal dari kampung itu dan dia masih memiliki kampung, orang tua, dan istri ditempat lain. Tidak sedikitpun ingatannya tertuju pada kondisi suatu hari dimasa lalu dimana dia adalah warga desa Lubuk Pisang dan masih memiliki istri.

Tidak seperti biasanya, Ranti yang selalu melayani suaminya berhubungan sejak Sahrul pulang sampai tengah malam, kali ini usai permainan kedua, sore itu Ranti pamit pada suaminya untuk mengunjungi seorang kerabatnya. Anehnya Ranti tidak mengizinkan suaminya untuk ikut serta dalam kunjungan itu. Bahkan secara pasti Ranti tidak menyebutkan siapa yang dikunjunginya dan dimana rumahnya. Ranti hanya mengatakan kalau dia ada keperluan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan dan diapun tidak bisa ditemani. Namun Sahrul tidak begitu menghiraukan kepergian istrinya itu, karena memang sejak mereka kawin tidak pernah sekalipun dia pergi dengan Ranti kesuatu tempat, baik itu mengunjungi keluarga jauh ataupun sekedar jalan-jalan. Tidak hanya karena Sahrul punya jadwal sendiri dengan Sang Ratu dan Mayang, namun juga karena mereka selama ini sangat sibuk dengan hubungan seks yang seakan tak puas-puasnya mereka reguk.
“Selama saya pergi, abang istirahatlah dulu. Saya pergi tak begitu lama. Nanti kita lanjutkan lagi yang tadi, ya?” godanya sambil memeluk suaminya untuk pamit sebentar.
Mendengar kata-kata istrinya yang meminta dia untuk melanjutkan kembali kenikmatan itu setelah istrinya pulang nanti, Sahrul terlena dan rela menunggu di kamarnya. Tidak disia-siakannya kesempatan itu dengan mengumpulkan kembali segenap tenaganya melalui tidur siang. Namun tetap saja khayalannya kembali menerawang ke masalah jalan yang tadi pagi ditelusurinya.
“Kenapa aku begitu merasa kenal dengan jalan itu. Kenapa jalan itu buntu? Dan kenapa aku begitu yakin kalau aku mengenal jalan itu?” pikirnya keras. Pikiran demi pikiran dikumpulkannya untuk memastikan dimana dia pernah kenal dengan jalan itu. Dan kenapa dia begitu yakin kalau jalan itu pernah dilaluinya. Namun tetap saja pikirannya buntu, bahkan sesekali pikirannya kembali terarah pada apa-apa yang telah dan akan dilakukannya dengan istrinya, Sang Ratu dan Mayang yang membuat hasratnya untuk melakukan hubungan seks kembali membara seketika itu juga. Tak sabar menunggu istrinya pulang, Sahrul berusaha menghabiskan waktunya dengan berjalan-jalan disekitar ruangan rumah itu. Suatu kebiasaan yang sangat jarang dilakukannya karena selama ini hidupnya hanya dihabiskannya di tempat tidur. Bahkan makannyapun selalu diantar mertuanya kekamar karena begitu sempitnya waktu istirahat yang dimilikinya.
Diruang tengah, dilihatnya Ratih, mertuanya sedang duduk santai entah sedang mengerjakan apa.
“Kok sendirian saja, Bu? Bapak dan anak-anak kemana?” tanyanya.
“Eh... Sahrul. Bapak sedang mengajak anak-anakmu berkunjung kerumah kerabatnya. Ranti juga ikut tadi” jawab mertua perempuannya itu.
“Ibu kok tak ikut?” tanya Sahrul penasaran.
“Ah... tidak. Ibu sengaja menunggu rumah mana tahu kamu bangun dan membutuhkan sesuatu” jawab ibunya.
“Saya tidak tidur kok, Bu. Tak bisa mata saya terpejam. Ranti begitu lama meninggalkan saya. Saya jadi begitu gelisah” katanya. Entah apa yang dimaksudkannya dengan gelisah.
“Biarlah ibu buatkan dulu muniman untuk kamu” kata Ratih sambil berlalu.
“Terimakasih, Bu” jawab Sahrul. Dia duduk di kursi ruang tengah itu. Diarahkannya pandangannya kesetiap sudut ruangan itu seakan dia baru pertama kali masuk ruangan itu. Memang selama tinggal disana dia sangat jarang bergabung dengan keluarga istrinya itu dan duduk-duduk diruang keluarga. Padahal dia sampai sekarang masih menumpang dirumah mertuanya itu.
Tak lama berselang ibu mertuanya yang cantik itu telah kembali dengan membawa baki berisi dua gelas minuman. Berarti yang satunya untuk dia, pikir Sahrul begitu dilihatnya mertuanya membawa dua gelas minuman.
“Minumlah, Rul. Mumpung masih panas” kata Ratih menawarkan.
“Terimakasih, Bu” jawabnya.
Diraihnya gelas itu dan membawanya kemulutnya. Terlihat Sahrul begitu menikmati minuman itu. Lebih setengah gelas telah diminumnya. Begitu juga dengan Ratih.
Pembicaraan-pembicaraan ringan kembali mereka lakukan. Bahkan disela-sela obrolannya kedua orang itu mulai bercanda dan tertawa lepas. Tak lama setelah dia menghabiskan isi gelas itu, Sahrul merasakan kehangatan yang luar biasa. Gairah kejantanannya kembali pulih. Tidak terasa keletihan usai melakukan pertarungan panjang dengan Sang Ratu, Mayang dan istrinya yang baru beberapa saat dilakukannya.
“Ibu sangat pintar membuat minuman ini. Badan saya kembali segar” puji Sahrul.
“Ah.. biasa-biasa saja kok. Cuma minuman biasa yang selalu kamu minum” kilah mertuanya.
Sahrul hanya tersenyum. Lama kelamaan pengaruh hangat minuman itu semakin menjalar keseluruh denyut nadinya. Bahkan kehangatan itu berubah menjadi rangsangan hebat yang tentu saja membuat dirinya kembali gelisah tak tenang duduk dan bertingkah serba salah. Gejolak itu semakin lama semakin menggebu dan tak kuasa lagi, Sahrul telah menunjukkan hasrat yang kuat untuk melakukan hubungan badani. Terlihat dari kegelisahan tubuhnya dan lenguhan nafasnya yang mulai tidak teratur.
“Kenapa, Rul?” tanya Ratih menyipitkan matanya heran.
“Entahlah, bu. Tiba-tiba saja saya sangat merindukan Ranti. Tidak biasanya kami begitu lama tidak melakukan hubungan ini” jelasnya. Tidak ada lagi perasaan malu pada mertuanya itu saking tidak tahannya Sahrul menahan gejolak birahi yang datang tiba-tiba itu.
“Saya kekamar dulu, bu. Biar saya tunggu Ranti dikamar” katanya pamit. Ratih hanya mengangguk sembari menunjukkan keprihatinan melihat kondisi menantunya yang begitu terguncang menahan gejolak yang tak tersalurkan.
Seakan berlari Sahrul meluncur menuju kamarnya. Diguling-gulingkannya tubuhnya di kasur empuk kamarnya. Tidak juga reda deraan birahi yang dirasakannya, sesekali diarahkannya matanya kepintu seakan tidak ingin kehilangan momentum kalau-kalau Ranti sudah kembali dan berdiri di pintu kamar.
“Tok.. tok.. tok. Rul. Boleh aku masuk?” terdengar ketukan dan suara Ratih dibalik pintu memanggil-manggil namanya.
“Ya, Bu. Masuklah. Pintu tak dikunci” katanya sembari bangun dari posisi tengkurapnya tadi.
Belum dia sempat berdiri dari ranjang itu, mertuanya telah berdiri disisi ranjang. Ditangannya tampak secawan minyak yang dibawa Ratih dari luar tadi.
“Kamu nampaknya letih sekali. Biar aku bantumemijat kamu” katanya menawarkan jasa.
“Wah.. tidak usah, Bu. Tak apa-apa kok. Biar Ranti saja yang melakukannya nanti” elak Sahrul. Namun dilihatnya mertuanya tak menggubris dan tetap maju dan duduk di kasur disisi Sahrul.
“Tak apa-apa. Ranti kan tidak ada. Wajar kalau aku yang membantu kamu menggantikan tugas Ranti anakku” katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar