Kamis, 05 Februari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 15)



Tak jauh dari tikungan tadi, mata Sahrul begitu terpana menatap kesatu arah dihadapannya. Langkahnya tanpa sadar terhenti walau hanya untuk beberapa jenak. Tak jauh dihadapannya berdiri megah sebuah bangunan yang pantas dikatakan istana. Memang dibanding dengan bangunan-bangunan di kampungnya Lubuk Pisang, rumah-rumah di Lubuk Lungun ini jauh lebih bagus. Namun istana Sang Ratu yang akan dikunjunginya itu ternyata keindahannya jauh diluar dugaan Sahrul. Bangunan itu berdiri megah dengan hiasan mengkilau bagaikan sisik ikan emas yang mengelilingi seluruh dinding bangunan itu. Sangat sulit bagi Sahrul untuk mengungkapkan kekagumannya dengan kata-kata karena baru kali ini dia menyaksikan kemegahan seperti itu sehingga dia tidak tahu lagi sebutan untuk keindahan yang begitu rupa. Hanya saja dari tatapan matanya, jelas sekali kalau Sahrul sangat terpesona, bahkan terkejut menyaksikan pemandangan dihadapannya.

“Sangat pantas kalau Sang Ratu menghuni istana ini karena sangat sesuai dengan kecantikannya” pikir Sahrul.
Memasuki pintu istana yang terbuat dari kayu hitam yang membentuk jembatan, rombongan disambut oleh seorang wanita muda yang sangat cantik. Kecantikannya sebanding dengan kecantikan Ranti. Melihat kecantikan wanita itu Sahrul berpikir kalau dia adalah wanita ketiga tercantik yang pernah ditemuinya seumur hidup. Diujung jembatan itu rombongan berhenti.
“Yang Mulya Sang Ratu Datuk Puti sedang istirahat. Mohon tamu dibiarkan menunggu diruang tunggu” kata wanita itu lembut.
“Terimakasih, Mayang. Sampaikan sembah kami pada Sang Ratu bahwa kami telah menunaikan titah beliau” kata kepala rombongan tadi.
“Baiklah, Basir. Sembahmu akan aku sampaikan” jawab wanita cantik itu yang ternyata bernama Mayang kepada kepala rombongan yang ternyata bernama Basir. Tak banyak orang yang tahu bahwa nama kepala rombongan yang merupakan orang kepercayaan Sang Ratu untuk urusan-urusan diluar istana itu bernama Basir. Sahrul sendiri kendati tidak dinampakkannya, namun mengangguk-anggukan kepalanya seakan selama ini sedang bertanya-tanya tentang nama lelaki misterius yang tak suka senyum itu.
“Silakan, mempelai. Harap menunggu Sang Ratu di ruang tunggu untuk sementara waktu. Saya yang akan menemani anda selama menunggu Sang Ratu” kata Mayang ramah sembari mengulurkan tangannya menyilakan Sahrul berjalan duluan.
Sahrul hanya mengangguk. Tak tahu apa yang harus dilakukannya ditempat asing yang megah ini. Sementara dibelakangnya tak tampak lagi rombongan pasukan dan penjemputnya yang sedari tadi mengiringinya. Hanya mereka berdua yang berjalan diruangan itu menuju ruang tamu seperti yang tadi disampaikan Mayang.
Mayangpun seperti halnya Basir tadi juga tidak banyak bicara. Namun penampilan Mayang jauh lebih ramah dibanding Basir. Hal ini diketahui Sahrul ketika beberapa kali dia beruasaha menoleh kearah Mayang, selalu disambut dengan senyum oleh wanita cantik itu. Sahrul pun seakan tak ingin mengusik ketenangan Mayang dalam menjalankan tugasnya. Nampak sekali kalau  Mayang tidak ingin diajak bicara selama menjalankan tugasnya itu.
Memasuki sebuah ruangan yang dijadikan ruangan tamu, Sahrul kembali terpana, namun tidak begitu kaget karena dia nampaknya sudh terbiasa dengan kemegahan istana yang dilihatnya sejak tadi.
“Silakan duduk dulu. Saya akan menyediakan persiapan yang harus kamu lakukan dalam menghadap Sang Ratu” kata Mayang.
Kali ini keramahannya benar-benar nampak. Bahkan tak segan-segan melihat Sahrul yang tengah duduk dikursi panjang itu. Diraihnya kaki Sahrul dan meletakannya diatas kursi empuk itu.
“Kamu pasti lelah sekali setelah menempuh perjalanan jauh tadi. Saya akan melakukan pemijitan biar kamu merasa lebih enakan” katanya.
Tanpa menunggu Sahrul menganggukkan kepalanya, Mayang sudah memberikan pijatan-pijatan lembut di kaki Sahrul. Tak ada kata-kata yang bisa diucapkan Sahrul selain hanya bengong dan menikmati pijatan lembut yang diberikan oleh wanita cantik itu.
Lama Mayang memijit Sahrul, kali ini tidak hanya kaki Sahrul yang dipijat, malah sudah sampai ke punggung dan pinggang Sahrul. Betapa kuat rangsangan yang dirasakan Sahrul ketika pinggang belakangnya dipijat oleh Mayang. Sesuatu dari selangkangannya bereaksi positif menanggapi pijatan lembut Mayang itu. Namun apa hendak dikata. Tak mungkin Sahrul bisa melepaskan hasratnya dengan wanita yang bukan istrinya, Ranti ini.
“Seandainya kamu istri saya, sudah kulumat habis kamu dengan rangsangan birahi yang tak tertahankan ini” pikir Sahrul mulai ngeres.
“Kamu tidak boleh melakukan apaun kepada saya sebelum kamu bertemu dan mengabdi pada Sang Ratu” kata Mayang tiba-tiba.
“Hah...” mulut Sahrul menganga tak tahu harus berkata apa begitu tahu Mayang mengerti apa yang dipikirkannya.
“Iya. Kamu tak boleh berbuat apapun seperti yang kamu pikirkan tadi pada saya sebelum kamu mengabdi pada Sang Ratu” kata Mayang menjelaskan lagi ucapannya tadi.
“Apa yang harus saya lakukan dalam mengabdi pada Sang Ratu?” tanya Sahrul mulai santai.
“Ya.. sama seperti apa yang kamu pikirkan tadi” jelas Mayang. Kali ini pijitan yang diberikannya mulai dibumbui dengan cubitan, canda dan kenakalan seorang wanita remaja.
“Aw.. jangan dicubit. Aku tidak pernah memikirkan apa-apa tentang pengabdianku pada Sang Ratu” kata Sahrul.
Dirasakannya betapa nikmatnya pijatan yang diberikan Mayang sehingga birahinya bangkit seketika itu juga. Diusahakannya untuk mengimbangi kenakalan Mayang dengan turut juga sesekali membelai dan memijat bagian-bagian tertentu tubuh Mayang. Mayang hanya mengeliat. Mengelak dan sesekali karena tak tahan dibiarkannya tangan Sahrul menggerayanginya.
“Kamu tadikan berpikiran jelek tentang saya. Itu juga yang akan kamu alami dengan Sang Ratu nanti. Tapi saya tak boleh lancang mendahului apa yang akan diperintahkan Sang Ratu kepada kamu selaku abdinya. Jangan-jangan memang sama dengan apa yang kamu pikirkan tadi” goda Mayang lagi.
“Kamu ini ada-ada saja. Nggak mungkinlah saya akan berpikiran sampai sejauh itu kepada Sang Ratu yang begitu kita junjung tinggi. Bagaimanapun juga beliau itu adalah sesembahan yang tidak boleh dibicarakan sembarangan” kata Sahrul mengingatkan.
Sebenarnya Sahrul takut kalau-kalau apa yang baru saja dikatakan Mayang dan apa yang sudah dilakukannya kepada Mayang hanyalah suatu ujian tentang keteguhan hatinya dalam menyembah Sang Ratu. Apalagi nampaknya Mayang adalah orang kepercayaan Sang Ratu yang mengurus masalah-masalah  yang berkaitan dengan urusan pribadi Sang Ratu.
“Maaf. Saya telah lancang membicarakan Sang Ratu di luar kesadaran. Memang Sang Ratu bukan untuk dibicarakan ataupun dipertanyakan” kata Mayang dengan wajah yang kembali serius. Nampaknya dia baru sadar dari kekhilafan yang tak sengaja dilakukannya karena terbuai bujuk rayu lelaki.
“Ah.. tak perlu sampai begitu. Hanya saja dalam pembicaraan kita jangan mengkait-kaitkan Sang Ratu. Diantara kita biasa sajalah” kata Sahrul merasa tak enak hati telah menyadarkan Mayang dari kesenangannya tadi.
Mayang hanya tersenyum hambar. Bagaimanapun juga seharusnya dia yang mengingatkan tentang posisi Sang Ratu yang tidak boleh dibicarakan sembarangan. Kali ini justru ucapan peringatan itu datang dari orang asing yang tidak mengetahui sama sekali kebiasaan di kampungnya. Betapa Mayang merasa tersindir. Tapi tak berapa lama dia kembali biasa lagi.
Usai memijat sekujur tubuh Sahrul, Mayang berdiri hendak mengambil baju yang akan dikenakan Sahrul. Namun dengan sigap Sahrul memegang tangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar