Senin, 09 Februari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 19)



“Maksud kamu.. pijatan yang membuat aku siap tempur seperti kemarin?” tanya Sahrul.
“Ya... baru setelah itu... gliran kita melakukannya” katanya tersipu.
“Bagaimana dengan istriku, Ranti? Bagaimana kalau dia tahu aku melakukan ini dengan Sang Ratu dan kamu?” tanya Sahrul begitu diingatnya betapa akan marahnya Ranti kalau dia tahu apa yang sudah dilakukan suaminya yang baru saja mengawininya.
“Ranti tahu kamu diberi kehormatan oleh Sang Ratu dan dia juga tahu apa bentuk kehormatan itu. Seorang wanita akan sangat bahagia kalau  suaminya terpakai  oleh Sang Ratu yang menjadi sesembahannya” jelas Mayang.

“Hah... mana mungkin? Itu namanya...”
“Tidak. Bagi kami ini adalah suatu kehormatan yang dimiliki oleh suatu keluarga. Jadi dia tidak akan marah. Justru dia akan sangat gembira kalau kamu bercerita  bahwa kamu telah mengabdi sebagaimana seharusnya kepada Sang Ratu” kata Mayang.
Tak tahu lagi entah perasaan apa yang harusnya dirasakan oleh Sahrul. Yang jelas dia telah melakukan hubungan badani yang begitu menggairahkan dengan Sang Ratu yang sangat cantik. Ditambah dengan hubungannya yang dituntut Mayang. Dan nampaknya ini harus dilakukannya setiap Minggu. Entah apa yang akan dihadapinya nanti di rumah, yang jelas Sahrul tidak yakin kalau hal ini diceritakannya kepada istrinya, Ranti akan menerima dengan senang hati. Mana ada istri yang akan bahagia kalau suaminya dipakai wanita lain, Sang Ratu sesembahan mereka sekalipun. Apalagi kalau kisah tambahannya dengan Mayang juga diceritakannya. Tentunya Ranti akan semakin murka dn tidak mau meladeni dia lagi.
Berbagai pengandaian tentang apa yang akan terjadi berkecamuk dibenak Sahrul. Namun begitu diingatnya kalau dia harus setiap Minggu meladeni Sang Ratu dengan permainan yang menggairahkan itu, alangkah indahnya hidupnya di Lubuk Lungun.
“Ada beberapa hal yang menyangkut kewajiban dan tugas kamu selama tinggal dikampung ini yang harus saya sampaikan sama kamu” kata Mayang.
“Apa itu?”
“Selama kamu tinggal di kampung ini, kamu tidak diwajibkan mencari nafkah untuk keluarga kamu. Karena nafkah untuk keluarga penduduk di kampung ini sudah dipenuhi oleh Yang Mulia Sang Ratu Datuk Puti. Tinggal Sang Ratu membagi pekerjaan dan bentuk pengabdian yang harus dilakukan abdinya sesuai dengan kebutuhan Sang Ratu” jelas Mayang.
“Ada yang tugasnya menimba air, menyiapkan makanan, melayani kebutuhan hidup Sang Ratu, mengawal Sang Ratu dan sebagainya” tambahnya.
“Lalu apa yang harus aku lakukan dalam mengabdi pada Sang Ratu?” tanya Sahrul penasaran.
”Kamu diugaskan melayani Sang Ratu untuk memenuhi kebutuhan bathinnya sebagaimana yang baru saja kamu lakukan. Apa yang kamu lakukan kemudian harus pula kamu lakukan pada saya. Karena saya adalah kepercayaan Sang Ratu yang harus juga menikmati apa yang menjadi milik Sang Ratu” jawab Mayang.
“Kenapa harus itu yang saya lakukan? Bukankah hal itu bisa menjadi selingan disamping saya melakukan tugas-tugas lainnya?” tanya Sahrul tambah penasaran.
“Tugas kamu disini sudah ditentukan. Kamu harus melayani kebutuhan  bathin istrimu, Sang Ratu dan aku. Tugas lain tidak perlu kamu lakukan karena kamu harus mampu menjamin kelangsungan hidup kaum kami agar tetap berkembang biak dan bertambah banyak”
“Hah... apa?”
“Tidak semua lelaki di kampung ini memiliki kemampuan untuk memberikan keturunan kepada kami. Kamu bisa dan kamu harus melakukannya kepada kami bertiga sekaligus” jelas Mayang.
“Mana mungkin” pikir hati Sahrul.
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya dibenaknya kalau dia harus meladeni keinginan birahi ketiga wanita tercantik di kampung ini. Apalagi selama ini dalam hubungan seks ketiga wanita ini sangat buas dan sangat sulit memuaskannya. Apalagi Sang Ratu yang sangat lihai dalam permaian itu sehingga sulit untuk memuaskannya. Namun setelah dipikir dan dibayangkan kembali oleh Sahrul akhirnya dia tersenyum sendiri betapa tidak selama dia melakukan hubungan itu, ketiga wanita itu justru lebih menikmati hubungan itu. Bahkan dirasakannya dirinya juga lebih kuat dan tak kekurangan tenaga sedikitpun dalam meladeni keinginan mereka. Mungkin ada pijatan-pijatan misterius yang mereka miliki sehingga Sahrul merasa kuat dan mampu memuaskan nafsu birahi ketiga wanita cantik itu.
“Mungkin aku adalah satu-satunya lelaki pertama dan paling bahagia di kampung ini. Apalagi sewaktu melakukan hubungan dengan Sang Ratu kemarin nampaknya dia masih perawan” pikirnya sambil tersenyum bahagia. Diikutinya petunjuk-petunjuk yang diberikan Mayang akan apa yang harus dilakukannya selama hidup di kampung itu. Tidak banyak kewajiban yang harus dilakukan oleh Sahrul. Yang jelas semua tujuan dari pelaksanaan kewajibannya sebagai warga baru di kampung itu hanyalah membahagiakan istrinya dan meladeni Sang Ratu serta Mayang. Tidak ada pekerjaan lain yang harus dilakukannya.
Sahrul merasa aneh dan risih karena dirinya hanya diwajibkan meladeni istrinya setiap malam dan setiap hari Minggu dia harus datang sendiri ke Istana Sang Ratu untuk melakukan pengabdiannya. Tidak ada tugas lain baik dalam hidup bermasyarakat maupun mencari nafkah yang harus dilakukannya. Semata-mata hanya melayani nafsu birahi ketiga perempuan itu.
“Bagaimana mungkin saya sanggup melakukannya setiap saat?” tanyanya.
“Ranti akan memandu kamu untuk selalu menikmati hidup kalian berdua. Dan untuk disini, saya akan memandu kamu agar mampu menghadapi permainan Sang Ratu dan saya” jelas Mayang.
Tidak ada basa basi atau perasaan sungkan yang dirasakan Mayang ketika menyampaikan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh Sahrul itu. Apalagi menyangkut apa yang harus dilakukan Sahrul kepada dirinya juga tidak membuat Mayang harus malu seakan hal itu sudah menjadi hak Mayang dan kewajiban bagi Sahrul.
Dengan berbagai perasaan aneh dan bingung Sahrul kembali pulang ke rumah Ranti. Seperti halnya kemarin, sekarangpun dia pulang diiringi oleh rombongan pengantar yang jumlah dan orangnya tetap seperti kemarin. Bahkan waga kampung yang mengelu-elukannya dijalanpun seperti halnya kemarin. Seakan dia baru saja lewat dijalanan itu beberapa jam yang lalu karena warga kampung itu nampaknya belum juga bubar.
Sesampainya didepan rumah Ranti dilihatnya kemeriahan pesta perkawinannya masih berlangsung. Bahkan saat ini yang menunggu kedatangannya lebih banyak lagi jumlahnya. Bukan hanya karena hari ini Sahrul akan pulang, namun hari ini adalah hari terakhir pesta panjang yang digelar keluarga Bandri sehingga tetamu yang berdatanganpun cukup banyak. Memasuki halaman rumah itu, Basir kepala rombongan hulubalang Sang Ratu mendahului langkah Sahrul dan dengan menunjukkan kewibawaannya dia tampil menghadapi rombongan tuan rumah yang sudah menunggu kedatangan mereka mengembalikan penganten pria.
“Penganten sudah menghadap Sang Ratu. Pengabdiannya telah diterima dengan baik oleh Sang Ratu dan tugas kamipun telah selesai. Terimakasih atas kerjasamanya, Bandri” katanya.
“Hamba juga mengucapkan terimakasih atas kehormatan yang diberikan kepada keluarga kami, tuan. Sampaikan juga sembah sujud dan terimakasih kami kepada Yang Mulia Sang Ratu” jawab Bandri.
“Baiklah” jawab Basir singkat. Tak lama berselang kepala rombongan itu berlalu membawa anak buahnya yang sedari kemarin setia mendampingi Sahrul menghadap Sang Ratu.
“Mari kita masuk, Bang. Bagaimana dengan pengabdianmu? Apakah Sang Ratu senang menerimanya?” tanya Ranti tak sabaran sambil mengajak suaminya itu masuk kerumah.
“Biasa-biasa saja. Sang Ratu nampaknya senang dengan pengabdian yang aku persembahkan” jawab Sahrul. Namun dihatinya masih terganjal suatu masalah besar yang menjadi pertanyaan yang tak sanggup ditanyakannya. “Apakah Ranti tahu apa bentuk pengabdian yang diminta Sang Ratu dariku?” pikirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar