Senin, 23 Februari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 28)



“Itulah yang menyakitkan hatiku. Entah apa yang dicarinya, dia meninggalkan aku. Makanya aku tak ingin menikah lagi. Kalaupun aku memerlukan kehangatan seorang lelaki, aku akan mendapatkannya melalui kekuasaanku. Seperti halnya saat ini aku menginginkanmu” katanya seakan menyesali kepergian suaminya tanpa alasan yang jelas.

Lama terdiam, akhirnya tanpa diminta Sang Ratu menceritakan juga kisah menyakitkan yang dialaminya dengan bekas suaminya itu. Entah maksudnya untuk berterus terang kepada Sahrul atau memang Sang Ratu sendiri tengah larut dalam kenangan masa lalu yang pernah direngguknya dengan mantan suaminya dulu.

“Suamiku dulu seorang yang gagah berani. Dia datang disaat kami sedang menunggu kedatangan seorang pahlawan yang akan membebaskan kami dari amukan benda pusaka peninggalan ibuku. Benda pusaka itu ketika aku mandikan untuk pertama kali usai penobatanku menjadi Ratu terlepas dari genggamanku. Ada kekuatan jahat benda pusaka itu  yang tidak bisa aku kendalikan sehingga pusaka itu semakin garang dan memakan korban rakyatku. Berbagai upaya telah kami coba untuk menjinakkannya. Namun jangankan bisa dikuasai, malah benda itu sendiri semakin beringas dan semakin liar” kenangnya memulai cerita indahnya bersama suaminya yang telah meninggalkan dia begitu saja.
Dari cerita yang dikisahkan Sang Ratu konon benda pusaka itu berupa pisau kecil yang terbuat dari tulang ikan Lanjing yang amat sulit dicari. Ikan Lanjing memang banyak terdapat di sungai Lubuk Lungun. Namun yang memiliki tulang yang memenuhi syarat untuk dijadikan benda pusaka sangatlah langka. Sekian abad lamanya nenak moyang Sang Ratu mencari tulang ikan itu baru satu yang ditemukan. Yang akhirnya diasah secara magic dan dijadikan benda pusaka berupa pisau.
Keganasan pisau pusaka dari tulang ikan Lanjing itu ternyata dapat diakhiri oleh lemparan jala yang dilakukan oleh seorang lelaki gagah perkasa. Begitu jalanya berhasil mengurung pisau pusaka itu, pengaruh jahat pisau itu hilang. Bagaikan harimau lapar yang terkurung jebakan pemburu, pisau itu mulanya memberontak berusaha mencari jalan keluar. Namun karena kuatnya cengkeraman jala milik lelaki gagah itu, akhirnya bencana berkepanjangan yang beberapa tahun itu menghantui warga kampung telah berakhir. Dengan diantar oleh Sang Ratu yang waktu itu baru saja naik takhta, lelaki gagah itu menyimpan pisau pusaka ditempat yang telah dilindungi oleh kekuatan yang mungkin akan membangunkan kegarangan pisau pusaka yang tak terkendali itu.
Sebagai ungkapan terimakasih Sang Ratu dan warga kampung Lubuk Lungun atas berakhirnya bencana itu, Sang Ratu menjadikan lelaki gagah itu sebagai suaminya. Keistimewaan pesta selama dua purnama itu telah memberi kesan yang mendalam dihati rakyat. Betapa tidak, selama ini pesta perkawinan tersebut adalah pesta paling meriah. Bukan saja karena Sang Ratu yang mengadakan pesta, namun lebih disebabkan rasa syukur warga atas terbebasnya mereka dari bahaya pisau pusaka yang telah memakan korban warga kampung itu.
Semenjak hari perkawinan mereka kedua pasangan penganten ini menikmati hari-hari indahnya di istana. Tiada hari tanpa mereka melakukan hubungan seks demi memuaskan birahi tak tertahankan. Apalagi Sang Ratu sendiri sangat haus akan kehangatan tubuh lelaki yang dicintainya itu. Hari berlalu, tahunpun mulai berganti. Tanpa terasa lelaki gagah itu telah cukup lama tinggal di istana itu. Namun jiwa petualangnya suatu hari muncul menggebu-gebu sehingga tanpa bisa dihalangi dia meninggalkan istana dan kampung itu. Berbagai upaya dilakukan Sang Ratu untuk menggagalkan kepergian suaminya itu. Bahkan cara kekerasanpun telah diambil untuk memaksa suaminya agar tetap tinggal dikampung itu. Namun perlawanan yang diberikan membuat Sang Ratu harus berpikir berulang kali untuk mengorbankan prajuritnya dalam menghadapi suaminya yang memberontak tak mau tinggal itu.
Sebetulnya Sang Ratu beserta para prajuritnya bisa saja menggagalkan upaya lelaki itu melarikan diri. Namun karena dia juga membawa serta pisau pusaka yang ditakuti warga, akhirnya tidak satu orangpun yang berhasil menahannya.
Kepergian suami Sang Ratu dengan membawa pisau pusaka itu benar-benar membuat Sang Ratu berduka dan menaruh dendam pada lelaki itu. Betapa tidak, dia yang begitu cantik dan memiliki kedudukan yang tinggi ternyata kalah oleh jiwa petualang suaminya yang akhirnya meninggalkannya begitu saja.
Sebagai ungkapan kemarahannya, sejak saat itu Sang Ratu menyimpan jala milik suaminya itu sebagai peringatan akan kemarahan dan sakit hatinya. Harapan lain yang timbul dihatinya terhadap jala tua itu adalah agar kalau suaminya kembali dengan pisau pusaka itu dan mengamuk kembali, maka satu-satunya pertahanan yang bisa melindungi Sang Ratu dari keganasan pisau pusaka itu hanyalah jala milik suaminya itu. Itu makanya kendati membenci, namun dia tetap menyimpan jala itu ditempat yang aman kendati kotor dan tidak terawat.
Sahrul tertegun mendengar kisah duka yang pernah dialami Sang Ratu junjungannya yang sangat cantik jelita itu. Dia merasa betapa bodohnya lelaki yang menolak begitu saja anugerah yang diberikan Sang Ratu yang menjadikannya suami. Selain kecantikannya yang luar biasa, Sang Ratu juga memiliki kekuasaan yang sangat besar di kampung itu. Namun apa hendak dikata ada saja orang yang begitu tega meninggalkannya.
Kedukaan yang diceritakan Sang Ratu membuat Sahrul semakin simpati dan sangat sayang kepada Sang Ratu. Apalagi dilihatnya dalam keseharian mereka bergaul, Sang Ratu sendiri sudah banyak meninggalkan aturan-aturan dan memberi keringanan bagi Sahrul dengan menganggapnya sebagai pasangan yang berhak tahu ketimbang sekedar mengabdi.
Kendati siang hari Sahrul dan Sang Ratu baru selesai melakukan pergumulan indahnya, bukan berarti porsi Mayang untuk mendapatkan kehangatan dari Sahrul dihapuskan begitu saja. Memang untuk sementara dia memberi kesempatan bagi Sahrul untuk istirahat. Bahkan dengan pijitan-pijitan jemarinya dihilangkannya kepenatan tubuh Sahrul sekaligus dibangkitkannya kembali gairah kelaki-lakiannya sehingga permainan kembali dilakukannya tanpa lelah.
Karena permainan ekstra yang diminta Sang Ratu tadi, terpaksa Sahrul harus pulang agak sore. Tentu saja Ranti yang sedari tadi menunggunya merasa cemas melihat suaminya terlambat pulang dari istana. Apalagi yang dipikirkan Ranti kalau bukan kecurigaannya kalau-kalau Sahrul kembali mencari jalan yang membuat dia sangat penasaran.
“Kok terlambat pulangnya, sayang? Masih penasaran dengan jalan misterius itu lagi?” tanyanya begitu melihat suaminya pulang dalam keadaan letih.
“Ah... tidak. Sang Ratu meminta pengabdian lebih dari abang sehingga abang harus melayaninya bermain-main ditaman.”
Mendengar keterangan suaminya itu membuat mata Ranti menjadi berbinar-binar. Bagaimana tidak, Sang Ratu mau mengajak suaminya bermain-main di taman berarti pengabdian suaminya terpakai oleh Sang Ratu. Namun dia juga merasa aneh, kenapa kemampuannya membaca pikiran suaminya sekarang ini sudah mulai berkurang. Seharusnya dia tahu kalau suaminya terlambat pulang bukan karena  mencari jalan itu lagi.
“Mungkin pikirannya dilindungi Sang Ratu” pikirnya lagi sambil tersenyum kecut begitu menyadari kebodohannya yang berusaha membaca pikiran yang sudah dilindungi oleh Sang Ratu junjungan agungnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar