“Itulah yang
menyakitkan hatiku. Entah apa yang dicarinya, dia meninggalkan aku. Makanya aku
tak ingin menikah lagi. Kalaupun aku memerlukan kehangatan seorang lelaki, aku
akan mendapatkannya melalui kekuasaanku. Seperti halnya saat ini aku
menginginkanmu” katanya seakan menyesali kepergian suaminya tanpa alasan yang
jelas.
Lama terdiam, akhirnya
tanpa diminta Sang Ratu menceritakan juga kisah menyakitkan yang dialaminya
dengan bekas suaminya itu. Entah maksudnya untuk berterus terang kepada Sahrul
atau memang Sang Ratu sendiri tengah larut dalam kenangan masa lalu yang pernah
direngguknya dengan mantan suaminya dulu.
“Suamiku dulu seorang
yang gagah berani. Dia datang disaat kami sedang menunggu kedatangan seorang
pahlawan yang akan membebaskan kami dari amukan benda pusaka peninggalan ibuku.
Benda pusaka itu ketika aku mandikan untuk pertama kali usai penobatanku
menjadi Ratu terlepas dari genggamanku. Ada kekuatan jahat benda pusaka
itu yang tidak bisa aku kendalikan
sehingga pusaka itu semakin garang dan memakan korban rakyatku. Berbagai upaya
telah kami coba untuk menjinakkannya. Namun jangankan bisa dikuasai, malah
benda itu sendiri semakin beringas dan semakin liar” kenangnya memulai cerita
indahnya bersama suaminya yang telah meninggalkan dia begitu saja.
Dari cerita yang
dikisahkan Sang Ratu konon benda pusaka itu berupa pisau kecil yang terbuat
dari tulang ikan Lanjing yang amat sulit dicari. Ikan Lanjing memang banyak
terdapat di sungai Lubuk Lungun. Namun yang memiliki tulang yang memenuhi
syarat untuk dijadikan benda pusaka sangatlah langka. Sekian abad lamanya nenak
moyang Sang Ratu mencari tulang ikan itu baru satu yang ditemukan. Yang
akhirnya diasah secara magic dan dijadikan benda pusaka berupa pisau.
Keganasan pisau pusaka
dari tulang ikan Lanjing itu ternyata dapat diakhiri oleh lemparan jala yang
dilakukan oleh seorang lelaki gagah perkasa. Begitu jalanya berhasil mengurung
pisau pusaka itu, pengaruh jahat pisau itu hilang. Bagaikan harimau lapar yang
terkurung jebakan pemburu, pisau itu mulanya memberontak berusaha mencari jalan
keluar. Namun karena kuatnya cengkeraman jala milik lelaki gagah itu, akhirnya
bencana berkepanjangan yang beberapa tahun itu menghantui warga kampung telah
berakhir. Dengan diantar oleh Sang Ratu yang waktu itu baru saja naik takhta,
lelaki gagah itu menyimpan pisau pusaka ditempat yang telah dilindungi oleh
kekuatan yang mungkin akan membangunkan kegarangan pisau pusaka yang tak
terkendali itu.
Sebagai ungkapan
terimakasih Sang Ratu dan warga kampung Lubuk Lungun atas berakhirnya bencana
itu, Sang Ratu menjadikan lelaki gagah itu sebagai suaminya. Keistimewaan pesta
selama dua purnama itu telah memberi kesan yang mendalam dihati rakyat. Betapa
tidak, selama ini pesta perkawinan tersebut adalah pesta paling meriah. Bukan
saja karena Sang Ratu yang mengadakan pesta, namun lebih disebabkan rasa syukur
warga atas terbebasnya mereka dari bahaya pisau pusaka yang telah memakan
korban warga kampung itu.
Semenjak hari
perkawinan mereka kedua pasangan penganten ini menikmati hari-hari indahnya di
istana. Tiada hari tanpa mereka melakukan hubungan seks demi memuaskan birahi
tak tertahankan. Apalagi Sang Ratu sendiri sangat haus akan kehangatan tubuh
lelaki yang dicintainya itu. Hari berlalu, tahunpun mulai berganti. Tanpa
terasa lelaki gagah itu telah cukup lama tinggal di istana itu. Namun jiwa petualangnya
suatu hari muncul menggebu-gebu sehingga tanpa bisa dihalangi dia meninggalkan
istana dan kampung itu. Berbagai upaya dilakukan Sang Ratu untuk menggagalkan
kepergian suaminya itu. Bahkan cara kekerasanpun telah diambil untuk memaksa
suaminya agar tetap tinggal dikampung itu. Namun perlawanan yang diberikan
membuat Sang Ratu harus berpikir berulang kali untuk mengorbankan prajuritnya
dalam menghadapi suaminya yang memberontak tak mau tinggal itu.
Sebetulnya Sang Ratu
beserta para prajuritnya bisa saja menggagalkan upaya lelaki itu melarikan
diri. Namun karena dia juga membawa serta pisau pusaka yang ditakuti warga, akhirnya
tidak satu orangpun yang berhasil menahannya.
Kepergian suami Sang Ratu
dengan membawa pisau pusaka itu benar-benar membuat Sang Ratu berduka dan
menaruh dendam pada lelaki itu. Betapa tidak, dia yang begitu cantik dan
memiliki kedudukan yang tinggi ternyata kalah oleh jiwa petualang suaminya yang
akhirnya meninggalkannya begitu saja.
Sebagai ungkapan
kemarahannya, sejak saat itu Sang Ratu menyimpan jala milik suaminya itu
sebagai peringatan akan kemarahan dan sakit hatinya. Harapan lain yang timbul
dihatinya terhadap jala tua itu adalah agar kalau suaminya kembali dengan pisau
pusaka itu dan mengamuk kembali, maka satu-satunya pertahanan yang bisa melindungi
Sang Ratu dari keganasan pisau pusaka itu hanyalah jala milik suaminya itu. Itu
makanya kendati membenci, namun dia tetap menyimpan jala itu ditempat yang aman
kendati kotor dan tidak terawat.
Sahrul tertegun
mendengar kisah duka yang pernah dialami Sang Ratu junjungannya yang sangat
cantik jelita itu. Dia merasa betapa bodohnya lelaki yang menolak begitu saja
anugerah yang diberikan Sang Ratu yang menjadikannya suami. Selain kecantikannya
yang luar biasa, Sang Ratu juga memiliki kekuasaan yang sangat besar di kampung
itu. Namun apa hendak dikata ada saja orang yang begitu tega meninggalkannya.
Kedukaan yang
diceritakan Sang Ratu membuat Sahrul semakin simpati dan sangat sayang kepada
Sang Ratu. Apalagi dilihatnya dalam keseharian mereka bergaul, Sang Ratu
sendiri sudah banyak meninggalkan aturan-aturan dan memberi keringanan bagi
Sahrul dengan menganggapnya sebagai pasangan yang berhak tahu ketimbang sekedar
mengabdi.
Kendati siang hari
Sahrul dan Sang Ratu baru selesai melakukan pergumulan indahnya, bukan berarti
porsi Mayang untuk mendapatkan kehangatan dari Sahrul dihapuskan begitu saja.
Memang untuk sementara dia memberi kesempatan bagi Sahrul untuk istirahat.
Bahkan dengan pijitan-pijitan jemarinya dihilangkannya kepenatan tubuh Sahrul
sekaligus dibangkitkannya kembali gairah kelaki-lakiannya sehingga permainan
kembali dilakukannya tanpa lelah.
Karena permainan
ekstra yang diminta Sang Ratu tadi, terpaksa Sahrul harus pulang agak sore. Tentu
saja Ranti yang sedari tadi menunggunya merasa cemas melihat suaminya terlambat
pulang dari istana. Apalagi yang dipikirkan Ranti kalau bukan kecurigaannya
kalau-kalau Sahrul kembali mencari jalan yang membuat dia sangat penasaran.
“Kok terlambat
pulangnya, sayang? Masih penasaran dengan jalan misterius itu lagi?” tanyanya
begitu melihat suaminya pulang dalam keadaan letih.
“Ah... tidak. Sang Ratu
meminta pengabdian lebih dari abang sehingga abang harus melayaninya bermain-main
ditaman.”
Mendengar keterangan suaminya
itu membuat mata Ranti menjadi berbinar-binar. Bagaimana tidak, Sang Ratu mau
mengajak suaminya bermain-main di taman berarti pengabdian suaminya terpakai
oleh Sang Ratu. Namun dia juga merasa aneh, kenapa kemampuannya membaca pikiran
suaminya sekarang ini sudah mulai berkurang. Seharusnya dia tahu kalau suaminya
terlambat pulang bukan karena mencari
jalan itu lagi.
“Mungkin pikirannya
dilindungi Sang Ratu” pikirnya lagi sambil tersenyum kecut begitu menyadari
kebodohannya yang berusaha membaca pikiran yang sudah dilindungi oleh Sang Ratu
junjungan agungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar