“Ranti harus
diperingatkan. Jangan sampai dia lepas kendali terhadap suaminya itu” sabda Sang
Ratu.
“Telah hamba sampaikan
peringatan itu, Yang Mulia. Saat ini Ranti telah menyadari kekeliruannya dan
dia berjanji untuk memendam perasaannya dan bersikap lebih bijak dalam
mengendalikan suaminya itu”
“Sampaikan juga kepadanya
kalau aku tidak ingin hal-hal buruk menimpa hubungannya dengan suaminya itu. Aku
berkepentingan akan keberadaan Sahrul disini” kata Sang Ratu tanpa menjelaskan lebih
lanjut apa kepentingan yang dia maksud. Namun tentunya Mayang mengerti apa
kepentingan Sang Ratu yang tidak ingin Sahrul lari dari kampung mereka.
“Hamba mengerti, Yang
Mulia” jawab Mayang sambil memberikan sembah sujud dan berlalu. Tentu saja Sang
Ratu berkepentingan akan keberadaan Sahrul di kampung itu. Mayang sendiri yang
juga mendapat pelayanan setiap minggu merasa berkepentingan dengan keberadaan
Sahrul disitu.
Sesampainya dirumah,
Ranti melihat Sahrul tengah tidur pulas. Nampak sekali keletihan diwajahnya. Betapa
tidak hampir seharian dia berusaha merambah jalan yang selama ini
dicari-carinya.
Sebenarnya ketika
melihat suaminya tertidur pulas itu, birahi Ranti kembali memuncak. Namun dicobanya
untuk menguasai dirinya. Mugkinkah ketidakmampuannya menahan nafsu selama ini
yang menyebabkan diam-diam dia memiliki perasaan lain pada suaminya itu
sehingga dia kehilangan kontrol atas diri suaminya.
Kendati dengan
bersusah payah, Ranti berusaha menahan gejolak birahi yang meletup-letup. Dibiarkannya
suaminya itu tidur sementara badannya sendiri mulai mengeluarkan keringat dingin
karena baru kali ini dia berusaha menahan gejolak nafsu yang selama ini selalu
terlampiaskan. Guna menghindari runtuhnya pertahanan dirinya, Ranti mencoba
berkeliling-keliling dalam rumah. Tidak sanggup dia berada dalam kamar sambil
melihat suaminya tergeletak tidur.
“Ada apa, Ranti? Kenapa
kamu masih diluar? Bukankah suamimu sedang dikamar? Kenapa kamu tidak
menikmatinya?” tanya Ratih yang heran melihat anaknya tidak biasanya berada
diluar kamar dan mondar mandir dengan gelisah.
“Aku baru saja membuntutinya
sewaktu suamiku keluar rumah tadi, bu. Ternyata Sahrul masih mencoba mencari
jalan yang telah kami tutup kemarin. Sialnya, kali ini dengan kekuatan hatinya
dia berhasil melihat sebagian kecil jalan itu. Kalau dia terus menerus
memikirkan jalan itu, aku khawatir dia akan berhasil mencapai jalan itu. Kalau itu
terjadi entah bagaimana jadinya dengan kita. Tentu kita harus menunggu
petualangan berikutnya yang belum tentu dapat kita temukan” katanya kesal.
Menanggapi pengaduan
anaknya itu, wajah cantik Ratih memerah untuk kemudian kembali memucat. Bukan hanya
nasib anaknya yang menjadi beban pikiran Ratih. Lebih dari itu dia juga tak
sanggup membayangkan kalau Sahrul harus pergi dari rumah mereka. Tentu Ratih
juga tidak akan mendapatkan jatah kehangatan dari pria yang terlanjur
diidamkannya itu.
“Apakah hal ini sudah
kamu sampaikan kepada yang mulia? Beliau juga berhak tahu perkembangan Sahrul
karena beliau berkepentngan akan keberadaan Sahrul disini”.
“Sudah, bu. Aku sudah
menghadap Putri Mayang. Namun tuan puteri menyalahkanku dan mengatakan kalau
aku terlanjur memiliki perasaan manusiawi kepada Sahrul”.
“Memang kita tidak
boleh melibatkan perasaan dalam permainan ini. Namun siapa yang tahan kalau
permainan dengan Sahrul yang begitu menggairahkan tanpa melibatkan perasaan”
kata Ratih. Dikenangnya betapa dia sendiri tidak bisa hanya sekedar meminta
pelayanan dari Sahrul. Secara jujur Ratih harus mengakui kalau keberadaan
Sahrul dirumahnya adalah berkah yang harus dinikmatinya dengan melibatkan segenap
perasaan.
“Yang mulia sendiri
ibu rasa tidak mampu membendung perasaannya setelah menerima pengabidan Sahrul
yang begitu terpakai olehnya” tambahnya.
“Itulah yang aku
takutkan, bu. Kalau yang lain seperti Sang Ratu, Puteri Mayang atau ibu bisa
saja melibatkan perasaan sendiri dalam menikmati kehangatan dekapan dan
ganasnya permainan suamiku. Namun aku sendiri tidak boleh melibatkan perasaan
dalam mencintainya. Aku berbeda dengan yang lainnya karena aku memiliki ikatan
perkawinan dengannya. Kalau akhirnya dia benar-benar pergi....”
“Jangan Ranti. Jangan
biarkan dia pergi meninggalkan kita” potong Ratih. Nampak sekali kekhawatiran Ratih
akan kehilangan kehangatan permainan Sahrul.
Ranti hanya diam
seribu bahasa. Bagaimana mungkin dia dipaksa untuk mencegah kepergian suaminya
sementara orang-orang lain yang merupakan sesembahannya dan ibunya sendiri hanya
bisa menikmati tanpa berwenang untuk mencegahnya. Tentu saja dia yang akan
disalahkan kalau ternyata Sahrul benar-benar akan pergi.
Malam itu, jelas
sekali kalau Ranti berusaha mengusir perasaan cintanya kepada Sahrul. Kendati
dilayaninya permainan suaminya itu, namun ada sesuatu yang hilang yang tentu
saja membuat Sahrul merasa heran dan bertanya-tanya sendiri. Untuk menanyakan
pada istrinya itupun Sahrul tidak berani. Dia hanya menduga kalau istrinya itu
sedang marah kepadanya karena dia siang tadi telah keluar rumah. Agar tujuannya
keluar rumah tak dicurigai Ranti sebagai alasan yang tak menentu, dengan
semangat Sahrul berusaha memancing perhatian istrinya dengan cerita gembira
berhasilnya dia menemukan jalan yang selama ini dicarinya.
”Ranti. Tadi abang
secara tak sengaja melihat jalan itu lagi”
Diam. Tak ada respon
yang diberikan Ranti akan cerita yang menurut Sahrul sangat menggembirakan itu.
“Ternyata jalan itu
masih ada. Hanya saja sekarang sudah pendek. Tapi abang yakin jalan itu semakin
lama akan semakin panjang”
“Nampaknya abang
selama ini lebih mementingkan jalan yang belum tahu tujuannya itu ketimbang
aku, bang”
“Bukan begitu, sayang.
Abang hanya..” belum selesai Sahrul bicara sudah ditinggal pergi oleh Ranti
yang nampaknya cemburu dengan sikap suaminya yang masih terus menerus mencari
jalan itu.
Dikenakannya
pakaiannya dan berusaha menyusul isrinya keluar. Namun tak terlihat lagi
bayangan Ranti yang telah pergi entah kemana. Ditelusurinya bagian-bagian rumah
itu, hanya Ratih yang terlihat. Untuk tidak memberi kesempatan kepada mertuanya
itu minta yang macam-macam, Sahrul segera keluar rumah untuk mencari istrinya
yang pergi entah kemana.
Hari semakin gelap. Tujuan
mencari Rantipun semakin tak jelas. Tidak semua bagian kampung itu yang
diketahui Sahrul secara pasti. Namun tanpa sadar Sahrul yang hanya berniat
mencari istrinya itu sampai juga ditikungan yang menghubungkan dia dengan jalan
yang kemarin dicarinya itu. Dengan perasaan penasaran dan takut akan hilangnya
kembali jalan itu, Sahrul secara perlahan menghampiri mulut jalan itu. Dan ternyata
mulut jalan itu masih ada dan keadaannya masih seperti siang tadi ketika Sahrul
mencoba merambahnya. Alangkah terkejutnya dia ketika dilihatnya di ujung jalan
ada seberkas cahaya suluh meliuk-liuk diterpa angin yang dibawa oleh seseorang
yang semakin lama semakin menjauh. Sedang jarak cahaya itu dari tempat dia
berada sangatlah jauh. Andai saja hari masih siang tentu dia ingin sekali
menyusul bayangan orang itu. Namun karena malam sudah sangat larut, dia hanya
pasrah untuk mencoba menelusuri jalan itu esok harinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar