Rabu, 25 Februari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 30)



“Ranti harus diperingatkan. Jangan sampai dia lepas kendali terhadap suaminya itu” sabda Sang Ratu.
“Telah hamba sampaikan peringatan itu, Yang Mulia. Saat ini Ranti telah menyadari kekeliruannya dan dia berjanji untuk memendam perasaannya dan bersikap lebih bijak dalam mengendalikan suaminya itu”
“Sampaikan juga kepadanya kalau aku tidak ingin hal-hal buruk menimpa hubungannya dengan suaminya itu. Aku berkepentingan akan keberadaan Sahrul disini” kata Sang Ratu tanpa menjelaskan lebih lanjut apa kepentingan yang dia maksud. Namun tentunya Mayang mengerti apa kepentingan Sang Ratu yang tidak ingin Sahrul lari dari kampung mereka.

“Hamba mengerti, Yang Mulia” jawab Mayang sambil memberikan sembah sujud dan berlalu. Tentu saja Sang Ratu berkepentingan akan keberadaan Sahrul di kampung itu. Mayang sendiri yang juga mendapat pelayanan setiap minggu merasa berkepentingan dengan keberadaan Sahrul disitu.
Sesampainya dirumah, Ranti melihat Sahrul tengah tidur pulas. Nampak sekali keletihan diwajahnya. Betapa tidak hampir seharian dia berusaha merambah jalan yang selama ini dicari-carinya.
Sebenarnya ketika melihat suaminya tertidur pulas itu, birahi Ranti kembali memuncak. Namun dicobanya untuk menguasai dirinya. Mugkinkah ketidakmampuannya menahan nafsu selama ini yang menyebabkan diam-diam dia memiliki perasaan lain pada suaminya itu sehingga dia kehilangan kontrol atas diri suaminya.
Kendati dengan bersusah payah, Ranti berusaha menahan gejolak birahi yang meletup-letup. Dibiarkannya suaminya itu tidur sementara badannya sendiri mulai mengeluarkan keringat dingin karena baru kali ini dia berusaha menahan gejolak nafsu yang selama ini selalu terlampiaskan. Guna menghindari runtuhnya pertahanan dirinya, Ranti mencoba berkeliling-keliling dalam rumah. Tidak sanggup dia berada dalam kamar sambil melihat suaminya tergeletak tidur.
“Ada apa, Ranti? Kenapa kamu masih diluar? Bukankah suamimu sedang dikamar? Kenapa kamu tidak menikmatinya?” tanya Ratih yang heran melihat anaknya tidak biasanya berada diluar kamar dan mondar mandir dengan gelisah.
“Aku baru saja membuntutinya sewaktu suamiku keluar rumah tadi, bu. Ternyata Sahrul masih mencoba mencari jalan yang telah kami tutup kemarin. Sialnya, kali ini dengan kekuatan hatinya dia berhasil melihat sebagian kecil jalan itu. Kalau dia terus menerus memikirkan jalan itu, aku khawatir dia akan berhasil mencapai jalan itu. Kalau itu terjadi entah bagaimana jadinya dengan kita. Tentu kita harus menunggu petualangan berikutnya yang belum tentu dapat kita temukan” katanya kesal.
Menanggapi pengaduan anaknya itu, wajah cantik Ratih memerah untuk kemudian kembali memucat. Bukan hanya nasib anaknya yang menjadi beban pikiran Ratih. Lebih dari itu dia juga tak sanggup membayangkan kalau Sahrul harus pergi dari rumah mereka. Tentu Ratih juga tidak akan mendapatkan jatah kehangatan dari pria yang terlanjur diidamkannya itu.
“Apakah hal ini sudah kamu sampaikan kepada yang mulia? Beliau juga berhak tahu perkembangan Sahrul karena beliau berkepentngan akan keberadaan Sahrul disini”.
“Sudah, bu. Aku sudah menghadap Putri Mayang. Namun tuan puteri menyalahkanku dan mengatakan kalau aku terlanjur memiliki perasaan manusiawi kepada Sahrul”.
“Memang kita tidak boleh melibatkan perasaan dalam permainan ini. Namun siapa yang tahan kalau permainan dengan Sahrul yang begitu menggairahkan tanpa melibatkan perasaan” kata Ratih. Dikenangnya betapa dia sendiri tidak bisa hanya sekedar meminta pelayanan dari Sahrul. Secara jujur Ratih harus mengakui kalau keberadaan Sahrul dirumahnya adalah berkah yang harus dinikmatinya dengan melibatkan segenap perasaan.
“Yang mulia sendiri ibu rasa tidak mampu membendung perasaannya setelah menerima pengabidan Sahrul yang begitu terpakai olehnya” tambahnya.
“Itulah yang aku takutkan, bu. Kalau yang lain seperti Sang Ratu, Puteri Mayang atau ibu bisa saja melibatkan perasaan sendiri dalam menikmati kehangatan dekapan dan ganasnya permainan suamiku. Namun aku sendiri tidak boleh melibatkan perasaan dalam mencintainya. Aku berbeda dengan yang lainnya karena aku memiliki ikatan perkawinan dengannya. Kalau akhirnya dia benar-benar pergi....”
“Jangan Ranti. Jangan biarkan dia pergi meninggalkan kita” potong Ratih. Nampak sekali kekhawatiran Ratih akan kehilangan kehangatan permainan Sahrul.
Ranti hanya diam seribu bahasa. Bagaimana mungkin dia dipaksa untuk mencegah kepergian suaminya sementara orang-orang lain yang merupakan sesembahannya dan ibunya sendiri hanya bisa menikmati tanpa berwenang untuk mencegahnya. Tentu saja dia yang akan disalahkan kalau ternyata Sahrul benar-benar akan pergi.
Malam itu, jelas sekali kalau Ranti berusaha mengusir perasaan cintanya kepada Sahrul. Kendati dilayaninya permainan suaminya itu, namun ada sesuatu yang hilang yang tentu saja membuat Sahrul merasa heran dan bertanya-tanya sendiri. Untuk menanyakan pada istrinya itupun Sahrul tidak berani. Dia hanya menduga kalau istrinya itu sedang marah kepadanya karena dia siang tadi telah keluar rumah. Agar tujuannya keluar rumah tak dicurigai Ranti sebagai alasan yang tak menentu, dengan semangat Sahrul berusaha memancing perhatian istrinya dengan cerita gembira berhasilnya dia menemukan jalan yang selama ini dicarinya.
”Ranti. Tadi abang secara tak sengaja melihat jalan itu lagi”
Diam. Tak ada respon yang diberikan Ranti akan cerita yang menurut Sahrul sangat menggembirakan itu.
“Ternyata jalan itu masih ada. Hanya saja sekarang sudah pendek. Tapi abang yakin jalan itu semakin lama akan semakin panjang”
“Nampaknya abang selama ini lebih mementingkan jalan yang belum tahu tujuannya itu ketimbang aku, bang”
“Bukan begitu, sayang. Abang hanya..” belum selesai Sahrul bicara sudah ditinggal pergi oleh Ranti yang nampaknya cemburu dengan sikap suaminya yang masih terus menerus mencari jalan itu.
Dikenakannya pakaiannya dan berusaha menyusul isrinya keluar. Namun tak terlihat lagi bayangan Ranti yang telah pergi entah kemana. Ditelusurinya bagian-bagian rumah itu, hanya Ratih yang terlihat. Untuk tidak memberi kesempatan kepada mertuanya itu minta yang macam-macam, Sahrul segera keluar rumah untuk mencari istrinya yang pergi entah kemana.
Hari semakin gelap. Tujuan mencari Rantipun semakin tak jelas. Tidak semua bagian kampung itu yang diketahui Sahrul secara pasti. Namun tanpa sadar Sahrul yang hanya berniat mencari istrinya itu sampai juga ditikungan yang menghubungkan dia dengan jalan yang kemarin dicarinya itu. Dengan perasaan penasaran dan takut akan hilangnya kembali jalan itu, Sahrul secara perlahan menghampiri mulut jalan itu. Dan ternyata mulut jalan itu masih ada dan keadaannya masih seperti siang tadi ketika Sahrul mencoba merambahnya. Alangkah terkejutnya dia ketika dilihatnya di ujung jalan ada seberkas cahaya suluh meliuk-liuk diterpa angin yang dibawa oleh seseorang yang semakin lama semakin menjauh. Sedang jarak cahaya itu dari tempat dia berada sangatlah jauh. Andai saja hari masih siang tentu dia ingin sekali menyusul bayangan orang itu. Namun karena malam sudah sangat larut, dia hanya pasrah untuk mencoba menelusuri jalan itu esok harinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar