Rabu, 04 Februari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 14)



Ranti dan Sahrul yang dari tadi menunggu-nunggu kedatangan rombongan penjemput tak ketinggalan berdiri seraya menfokuskan pandangannya kearah pintu. Sinaran mata yang berseri-seri terpancar dari mata Ranti nan indah. Entah apa yang akan diperoleh suaminya dihadapan Sang Ratu nantinya, namun dari mimik mukanya yang menunjukkan kebahagiaan itu nampaknya Ranti sudah mengetahui apa yang akan dialaminya suaminya nanti.

“Selamat datang, Tuan. Selamat datang digubuk kami ini” kata Bandri menyambut rombongan orang-orang kepercayaan Sang Ratu yang berjumlah tujuh orang laki-laki perkasa dan berperawakan atletis.
“Terimakasih, Bandri. Kami ditugaskan oleh Sang Ratu Datuk Puti untuk menjemput mempelai pria untuk menghadap kepada beliau sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan” jawab orang yang menjadi tangan kanan Sang Ratu itu.
Memang selama Sahrul berada di Kampung Lubuk Lungun dan mengetahui sedikit tentang keberadaan Sang Ratu, dilihatnya segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan Sang Ratu secara langsung diatur oleh lelaki berperawakan besar dan berpakaian rapi ini. Sedang para anggota rombongan yang mendampinginya tidak semuanya dikenal atau pernah dilihat Sahrul karena mereka yang mendampingi orang kepercayaan Sang Ratu itu bisa saja berganti-ganti.
“Kami telah siap, tuan. Mempelai pria juga sudah siap sejak semula. Tinggal menunggu tuan-tuan menjemputnya saja” tukas Bandri yang masih menundukkan kepala ketika berbicara dengan utusan Sang Ratu itu.
Dipersilakannya utusan Sang Ratu masuk guna menemui Sahrul, sementara Sahrul dan Ranti turun dari pelaminan menyambut kedatangan utusan Sang Ratu tersebut.
“Selamat datang, Tuan. Kami telah siap untuk memenuhi panggilan Sang Ratu” kata Sahrul sembari memberi hormat.
Dibiarkannya rombongan utusan Sang Ratu itu masuk dan mengambil tempat disudut ruangan untuk kemudian bersama-sama mereka duduk sejenak. Tak lama berselang, hidangan yang sedari tadi sudah disediakan oleh tuan rumah untuk menyambut merekapun telah dicicipi oleh ketujuh orang rombongan itu.
Begitu orang itu mengucapkan rasa terimakasihnya, seluruh anak buah yang mendampinginya tidak ada lagi yang mencicipi makanan. Semuanya berdiri dalam posisi siap untuk berangkat.
“Hamba juga mengucapkan rasa terimakasih atas kehadiran dan kesediaan tuan-tuan mampir digubug kami ini. Tak lupa kami mohon maaf apabila ada hidangan ataupun perkataan atau sikap kami yang kurang berkenan dihati tuan-tuan. Selanjutnya kami persilakan tuan-tuan membawa mempelai menghadap Sang Ratu Datuk Puti” jawab Bandri penuh basa-basi dan kesopanan.
”Mari kita segera berangkat” kata orang kepercayaan itu kearah Sahrul tanpa menyebut nama Sahrul. Dipersilakannya Sahrul berjalan duluan, sementara ketujuh orang rombongan itu mengikutinya dibelakang. Tak ada satu orangpun dari pihak keluarga Ranti yang mendampingi keberangkatan Sahrul menghadap Sang Ratu. Seakan mereka sudah memahami tradisi apa yang akan dilalui Sahrul dalam menghadap Sang Ratu yang mereka junjung tinggi tersebut.
“Aku pergi dulu, Ranti” kata Sahrul pamit kepada istrinya.
“Silakan, Bang. Turuti apa perintah Sang Ratu tanpa ada penolakan atau pembangkangan sedikitpun. Beliau adalah penguasa kita yang harus kita junjung tinggi titah dan sabdanya” pesan Ranti melepas kepergian suaminya.
Tidak terlihat kesedihan diwajah istrinya itu. Justru rona kebahagiaan yang terpancar diraut muka nan cantik itu. Betapa tidak, dia dihari penobatan perkawinan mereka sudah mengetahui adanya kehormatan dan pemberkatan yang diberikan Sang Ratu kepada pasangannya. Apalagi kepergiaan Sahrul kali ini hanya untuk menemui Sang Ratu dalam waktu satu hari saja. Untuk merindukannya hanya dalam satu malam saja terlalu berlebihan rasanya bagi Ranti mengingat semenjak mereka kenal sampai mereka kawin dan terakhir tadi malam sudah tak terhitung berapa kali mereka melakukan hubungan yang seakan tak pernah puas-puasnya mereka lakukan.
Keluar dari rumah Bandri diringi oleh rombongan penjemput, Sahrul masih menyaksikan betapa dijalanan orang-orang kampung itu masih mengelu-elukan dirinya seakan menjadi orang yang paling bahagia didunia. Dari ungkapan kegembiraan yang dikemukakan oleh warga kampung dijalanan yang dilalui itu, terasa sekali bagi Sahrul bahwa pemberkatan dan kehormatan yang diberikan Sang Ratu dalam upacara ritual pemberkatan mereka beberapa hari yang lalu itu memang sangat berpengaruh ditengah-tengah warga. Bahkan dengan adanya kehormatan yang diberikan Sang Ratu dengan Kehormatan Tingkat II membuat Sahrul nampaknya berada setingkat atau beberapa tingkat diatas kebanyakan warga lainnya. Entah apa yang dimaksud dengan dengan kehormatan tingkat II seperti yang diberikan Sang Ratu sewaktu mengucapkan pemberkatan perkawinan mereka yang jelas Sahrul merasakan dampaknya sekarang betapa dia rasanya sangat dielu-elukan dan dihormati warga desa itu.
Sudah berapa belokan jalan dilalui rombongan itu dan sudah berapa jauh jarak yang mereka tempuh tak dihitung Sahrul. Namun disepanjang jalan itu tak putus-putusnya warga mengelu-elukan dirinya sebagai lelaki yang sangat beruntung. Dari panjangnya kerumunan warga yang menunggu lewatnya rombongan ditepi jalan itulah makanya Sahrul tahu jalan mana yang harus ditempuhnya. Karena sedari tadi dia tidak mendengar aba-aba atau petunjuk yang diberikan oleh anggota rombongan tentang arah yang harus mereka tuju. Apalagi Sahrul berjalan paling depan dan dia tak tahu arah mana Istana Sang Ratu. Untungnya dengan berpedoman kepada kerumunan orang dipinggir jalan yang membentuk pagar jalanan itu Sahrul bisa meyakini bahwa jalan itulah yang harus mereka tuju.
Selama dalam perjalanan tersebut memang tidak ada satu katapun yang terdengar dari para anggota rombongan yang menjemputnya. Jangankan untuk mengajak dia ngobrol untuk mencairkan suasana, pembicaraan diantara mereka sesama anggota rombonganpun tidak terdengar sedikitpun di telinga Sahrul. Beberapa kali Sahrul menoleh kebelakang untuk menyaksikan apa yang mereka lakukan dalam diamnya. Namun tetap yang nampak hanyalah wajah-wajah serius yang sedang menjalankan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab.
Memasuki belokan tajam disebelah kanan yang baru kali ini dilalui Sahrul selama tinggal di desa itu, dilihatnya ada sepasukan pengawal yang sedang bersiaga yang nampaknya dipersiapkan untuk menyambut kedatangan mereka.
Sahrul sangat terkesima menyaksikan betapa penyambutan dan sikap yang ditunjukkan warga di Kampung Lubuk Lungun sangat berlebihan kepadanya.
”Apakah memang mereka menghormati aku sebagai warga kehormatan, atau memang ini tradisi mereka dalam menghadapi perkawinan warganya?” pikir hati Sahrul mulai bertanya-tanya.
Apalagi dilihatnya kedatangannya menghadap Sang Ratu nampaknya bukan merupakan bagian dari acara perkawinan yang rutin, dan hanya pada pesta-pesta perkawinan tertentu saja yang diberikan kehormatan untuk menghadap Sang Ratu.
Begitu rombongan melewati tikungan yang dijaga oleh sepasukan pengawal itu, tanpa aba-aba, pasukan tersebut mengiringi rombongan dari belakang. Semakin ramailah rombongan pengantar Sahrul. Tentu saja Sahrul semakin merasa tersanjung dengan kenyataan yang dialaminya sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar