Hari menjelang malam, namun
utusan Sang Ratu yang ditunggu-tunggu untuk menjemputnya tak kunjung datang.
Sedang kondisi Sahrul sedari tadi tak kunjung berubah. Tak pernah dia mengalami
ereksi yang begitu lama seperti ini. Sudah dicobanya untuk melakukan sesuatu secara
swalayan sebelum bertemu Sang Ratu. Namun usahanya itu tidak mengurangi
hasratnya untuk berhubungan dengan seorang wanita.
Menjelang malam, dimana
semua orang sudah banyak yang tertidur, Sahrul dikejutkan oleh bau harum
menyengat yang menusuk hidungnya. Diingat-ingatnya bau harum yang menusuk
hidungnya itu entah dimana dia pernah merasakannya. Namun selalu gagal. Aroma
itu memang pernah singgah dihidungnya, namun sulit bagi Sahrul untuk mengingat
situasi yang dialaminya itu.
“Tok...tok..tok..” terdengar
ketukan lembut di pintu ruangan itu.
“Bukankah Mayang ketika
masuk tadi tidak mengetuk pintu dulu. Kenapa sekarang dia mengetuk pintu
segala?” pikirnya.
Dengan menyimpan tanda tanya
yang besar, Sahrul memberanikan diri membuka pintu itu. Alangkah terkejutnya
dia ketika pintu itu terkuak. Seraut wajah cantik yang sangat dikaguminya telah
hadir dengan senyuman indah tersungging dibibirnya. Aroma yang menusuk hidung
Sahrul tadi ternyata berasal dari tubuh molek wanita yang berada dihadapannya
itu. Gaun malam warna ungu yang dikenakannya dengan motif bunga-bunga yang
indah semakin membuat tubuh wanita itu semakin sempurna. Apalagi gaun itu
sangat tipis dan hampir tembus pandang.
“Hah...” Sahrul tercengang
sejenak. Mulutnya menganga tak sanggup mengungkapkan apa-apa. “Sang Ratu. Hamba
mohon ampun. Terimalah sembah sujud hamba” kata Sahrul begitu sadar dari
kagetnya sembari menjatuhkan diri bersujud. Ereksi yang sedari tadi
dirasakannya dan tak kunjung padam tiba-tiba turun dan tidak menunjukkan reaksi
apa-apa. Ternyata kharisma Sang Ratu yang begitu besar telah menciutkan nyali
Sahrul yang sejak tadi tak mau jinak.
Segera Sang Ratu mengangkat
bahu Sahrul yang sedang bersujud.
“Berdirilah wahai pemuda.
Perkawinanmu telah kuberkati dan aku turut bahagia didalamnya. Untuk itu dalam
keadaan seperti ini jangan panggil aku sebagai ratu. Sekarang aku adalah
pengantenmu juga. Sama seperti Ranti karena aku turut dalam kebahagiaanmu”
jawab wanita cantik yang dipanggil Sahrul sebagai Sang Ratu itu.
Bagai kerbau ditusuk
hidungnya Sahrul menuruti saja apa yang dikatakan Sang Ratu. Dia berdiri dan
menatap wajah cantik Sang Ratu yang telat berada dihadapannya. Wajah penuh
senyum manis itu terlihat sangat anggun dan penuh wibawa. Bagaimana mungkin
Sahrul akan berpikir macam-macam pada wanita agung yang disanjung semua warga
sebagai Sang Ratu Datuk Puti. Wajar saja kalau kharisma yang dipancarkan
penampilan Sang Ratu tadi telah menyurutkan birahi yang tadi nya meledak-ledak
membara didiri Sahrul bagai api tersiram air sejuk. Namun aroma nafas Sang Ratu
yang harum semerbak kembali membangkitkan gairah kelaki-lakian Sahrul. Baru
kali ini dia berhadapan secara langsung dengan seorang wanita cantik yang
memiliki segala bentuk keindahan dan keanggunan di dunia. Tiada duanya yang
pernah ditemui Sahrul selama hidupnya.
Lama terpana dengan
pemandangan indah itu, Sahrul dikejutkan oleh sentuhan lembut Sang Ratu yang
mengajaknya untuk duduk dikursi yang tersedia diruang tamu itu.
“Oh... maafkan hamba” kata
Sahrul gelagapan menyaksikan dirinya kedapatan bengong memandangi wanita cantik
itu. Namun pandangan penuh kagum yang tak mampu ditutupinya tetap tertuju pada
wajah cantik Sang Ratu.
“Tak apa-apa. Mari kita
duduk” jawab Sang Ratu lembut. Sang Ratu seakan terbiasa dengan tatapan jalang
lelaki yang seakan hendak menyantapnya hidup-hidup. Dinikmatinya betul
keterpanaan lelaki muda dihadapannya itu sebagai suatu bentuk pengakuan akan
kepuasan birahi lelaki ketika memandang penampilannya yang memang menggiurkan.
Tangannya masih tertempel
lembut dilengan Sahrul seakan tak ada kekuatan yang mampu untuk memisahkan
remasan lembut yang didasari oleh tenaga cintanya yang meletup-letup.
“Aku telah memberkati
perkawinanmu dan aku turut dalam kebahagiaanmu itu” kata Sang Ratu mengulangi
perkataannya tadi seakan dia ingin Sahrul menanyakan maksud dari perkataannya
itu.
“Terimakasih, Yang Mulya”
jawab Sahrul menunduk.
“Tak perlu berterimakasih,
Sahrul. Dan karena aku turut dalam kebahagiaanmu, saat ini jangan kau panggil
aku dengan sebutan Sang Ratu. Karena akupun akan turut merasakan kebahagiaanmu”
katanya tetap memancing Sahrul dengan pernyataan-pernyataannya itu.
“Hamba tidak berani, Yang..”
“Panggil saja aku Puti.
Sekarang kamu cukup memanggilku Puti. Dan.... akupun saat ini adalah
pengantenmu” potong Sang Ratu seraya meraih tangan Sahrul.
Ada perasaan canggung dan
gugup yang dirasakan Sahrul mengingat dia saat ini sedang berhadapan dengan
Sang Ratu yang beberapa hari yang lalu dengan penuh wibawa baru saja memberkati
perkawinannya dengan Ranti. Tidak pernah diduganya kalau bentuk pengabdian yang
diminta Sang Ratu ternyata adalah untuk melayaninya. Namun bagaimana mungkin
Sahrul bisa menolak keinginan gila Sang Ratu yang disanjung semua orang kampung
itu. Bukan karena posisinya sebagai ratu yang membuat Sahrul tidak berani
menolak, namun sejak pertama kali dia melihat Sang Ratu hasratnya untuk
menikmati keindahan tubuh Sang Ratu selalu menjadi impian yang tidak
tersalurkan. Namun selama ini tidak pernah diungkapkannya kepada siapapun
karena dia berharap pada orang yang kedudukannya sangat ditinggikan warga Lubuk
Lungun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar