Sabtu, 07 Februari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 17)



Hari menjelang malam, namun utusan Sang Ratu yang ditunggu-tunggu untuk menjemputnya tak kunjung datang. Sedang kondisi Sahrul sedari tadi tak kunjung berubah. Tak pernah dia mengalami ereksi yang begitu lama seperti ini. Sudah dicobanya untuk melakukan sesuatu secara swalayan sebelum bertemu Sang Ratu. Namun usahanya itu tidak mengurangi hasratnya untuk berhubungan dengan seorang wanita.
Menjelang malam, dimana semua orang sudah banyak yang tertidur, Sahrul dikejutkan oleh bau harum menyengat yang menusuk hidungnya. Diingat-ingatnya bau harum yang menusuk hidungnya itu entah dimana dia pernah merasakannya. Namun selalu gagal. Aroma itu memang pernah singgah dihidungnya, namun sulit bagi Sahrul untuk mengingat situasi yang dialaminya itu.

“Tok...tok..tok..” terdengar ketukan lembut di pintu ruangan itu.
“Bukankah Mayang ketika masuk tadi tidak mengetuk pintu dulu. Kenapa sekarang dia mengetuk pintu segala?” pikirnya.
Dengan menyimpan tanda tanya yang besar, Sahrul memberanikan diri membuka pintu itu. Alangkah terkejutnya dia ketika pintu itu terkuak. Seraut wajah cantik yang sangat dikaguminya telah hadir dengan senyuman indah tersungging dibibirnya. Aroma yang menusuk hidung Sahrul tadi ternyata berasal dari tubuh molek wanita yang berada dihadapannya itu. Gaun malam warna ungu yang dikenakannya dengan motif bunga-bunga yang indah semakin membuat tubuh wanita itu semakin sempurna. Apalagi gaun itu sangat tipis dan hampir tembus pandang.
“Hah...” Sahrul tercengang sejenak. Mulutnya menganga tak sanggup mengungkapkan apa-apa. “Sang Ratu. Hamba mohon ampun. Terimalah sembah sujud hamba” kata Sahrul begitu sadar dari kagetnya sembari menjatuhkan diri bersujud. Ereksi yang sedari tadi dirasakannya dan tak kunjung padam tiba-tiba turun dan tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Ternyata kharisma Sang Ratu yang begitu besar telah menciutkan nyali Sahrul yang sejak tadi tak mau jinak.
Segera Sang Ratu mengangkat bahu Sahrul yang sedang bersujud.
“Berdirilah wahai pemuda. Perkawinanmu telah kuberkati dan aku turut bahagia didalamnya. Untuk itu dalam keadaan seperti ini jangan panggil aku sebagai ratu. Sekarang aku adalah pengantenmu juga. Sama seperti Ranti karena aku turut dalam kebahagiaanmu” jawab wanita cantik yang dipanggil Sahrul sebagai Sang Ratu itu.
Bagai kerbau ditusuk hidungnya Sahrul menuruti saja apa yang dikatakan Sang Ratu. Dia berdiri dan menatap wajah cantik Sang Ratu yang telat berada dihadapannya. Wajah penuh senyum manis itu terlihat sangat anggun dan penuh wibawa. Bagaimana mungkin Sahrul akan berpikir macam-macam pada wanita agung yang disanjung semua warga sebagai Sang Ratu Datuk Puti. Wajar saja kalau kharisma yang dipancarkan penampilan Sang Ratu tadi telah menyurutkan birahi yang tadi nya meledak-ledak membara didiri Sahrul bagai api tersiram air sejuk. Namun aroma nafas Sang Ratu yang harum semerbak kembali membangkitkan gairah kelaki-lakian Sahrul. Baru kali ini dia berhadapan secara langsung dengan seorang wanita cantik yang memiliki segala bentuk keindahan dan keanggunan di dunia. Tiada duanya yang pernah ditemui Sahrul selama hidupnya.
Lama terpana dengan pemandangan indah itu, Sahrul dikejutkan oleh sentuhan lembut Sang Ratu yang mengajaknya untuk duduk dikursi yang tersedia diruang tamu itu.
“Oh... maafkan hamba” kata Sahrul gelagapan menyaksikan dirinya kedapatan bengong memandangi wanita cantik itu. Namun pandangan penuh kagum yang tak mampu ditutupinya tetap tertuju pada wajah cantik Sang Ratu.
“Tak apa-apa. Mari kita duduk” jawab Sang Ratu lembut. Sang Ratu seakan terbiasa dengan tatapan jalang lelaki yang seakan hendak menyantapnya hidup-hidup. Dinikmatinya betul keterpanaan lelaki muda dihadapannya itu sebagai suatu bentuk pengakuan akan kepuasan birahi lelaki ketika memandang penampilannya yang memang menggiurkan.
Tangannya masih tertempel lembut dilengan Sahrul seakan tak ada kekuatan yang mampu untuk memisahkan remasan lembut yang didasari oleh tenaga cintanya yang meletup-letup.
“Aku telah memberkati perkawinanmu dan aku turut dalam kebahagiaanmu itu” kata Sang Ratu mengulangi perkataannya tadi seakan dia ingin Sahrul menanyakan maksud dari perkataannya itu.
“Terimakasih, Yang Mulya” jawab Sahrul menunduk.
“Tak perlu berterimakasih, Sahrul. Dan karena aku turut dalam kebahagiaanmu, saat ini jangan kau panggil aku dengan sebutan Sang Ratu. Karena akupun akan turut merasakan kebahagiaanmu” katanya tetap memancing Sahrul dengan pernyataan-pernyataannya itu.
“Hamba tidak berani, Yang..”
“Panggil saja aku Puti. Sekarang kamu cukup memanggilku Puti. Dan.... akupun saat ini adalah pengantenmu” potong Sang Ratu seraya meraih tangan Sahrul.
Ada perasaan canggung dan gugup yang dirasakan Sahrul mengingat dia saat ini sedang berhadapan dengan Sang Ratu yang beberapa hari yang lalu dengan penuh wibawa baru saja memberkati perkawinannya dengan Ranti. Tidak pernah diduganya kalau bentuk pengabdian yang diminta Sang Ratu ternyata adalah untuk melayaninya. Namun bagaimana mungkin Sahrul bisa menolak keinginan gila Sang Ratu yang disanjung semua orang kampung itu. Bukan karena posisinya sebagai ratu yang membuat Sahrul tidak berani menolak, namun sejak pertama kali dia melihat Sang Ratu hasratnya untuk menikmati keindahan tubuh Sang Ratu selalu menjadi impian yang tidak tersalurkan. Namun selama ini tidak pernah diungkapkannya kepada siapapun karena dia berharap pada orang yang kedudukannya sangat ditinggikan warga Lubuk Lungun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar