Sesampainya mereka diruang
dalam, kembali kedua penganten itu bersanding. Kali ini mereka tidak bisa
kemana-mana karena banyaknya tamu yang mengucapkan selamat kepada mereka. Tidak
seperti hari-hari kemarin dimana para tamu nampaknya tidak terlalu menghiraukan
penganten yang duduk bersanding di pelaminan, hari ini mereka justru antusias
mengucapkan selamat kepada kedua penganten.
“Kenapa kemarin mereka tidak
mengucapkan selamat? Kok baru sekarang?” tanya Sahrul.
“Mereka mengucapkan selamat
setelah mendengar dari kepala rombongan tadi bahwa pengabdian abang diterima
dengan baik oleh Sang Ratu. Itu merupakan kehormatan bagi kita yang harus
mereka beri selamat”jawab Ranti dengan penuh senyum kebahagiaan.
Sahrul semakin bingung.
Apakah orang-orang ini tahu bentuk apa dari pengabdian yang diminta Sang Ratu
sehingga mereka merasa mendapat kehormatan?
Begitu dilihatnya
kebahagiaan yang terpancar dari wajah Ranti dan keluarganya yang juga
menimbulkan kebahagiaan tersendiri bagi para tamu yang hadir, mau tak mau Sahrul
mengabaikan apa yang telah dilakukannya dengan Sang Ratu tadi malam. “Tidak
mungkin warga kampung ini tak tahu apa yang sudah aku perbuat dengan Sang Ratu”
pikirnya acuh.
Malam harinya setelah Sahrul
melepaskan kerinduannya kepada Ranti, pikirannya yang berkecamuk memikirkan pengabdiannya
semalam, akhirnya tak tahan diceritakannya juga pada Ranti. Secara panjang
lebar dia bercerita mulai dari pijatan yang dilakukan Mayang sampai dengan
Mayang minta bagian pengabdian pula. Sekali diliriknya raut wajah Ranti untuk
mengetahui apakah istrinya ini marah dengan apa yang baru saja diceritakannya
atau tidak.
Namun begitu dilihatnya
wajah Ranti tidak menunjukkan kemarahan bahkan hanya tersenyum kecil, Sahrul
agak tenang melihatnya.
“Kamu tidak marah, Sayang?”
tanyanya hati-hati.
“Tidaklah, Bang. Bagaimana
aku akan marah mendapatkan kehormatan dan kebahagiaan seperti itu? Justru aku bahagia”
jawab Ranti dengan mata berbinar-binar.
Entah apa yang ada dibenak
Ranti yang jelas Sahrul tidak melihat sedikitpun kekecewaan dan kemarahan
diwajah cantik istrinya itu. Bahkan mendengar cerita Sahrul tentang petualangannya
yang juga harus meladeni Mayang dianggap Ranti sebagai kebahagiaan tambahan
yang bisa mengangkat kehormatan keluarganya.
Bingung memikirkan sikap
Ranti yang tidak marah sedikitpun akan perilaku seks yang sudah dilakukan
suaminya dengan Sang Ratu dan Mayang, akhirnya Sahrul harus menganggap hal
tersebut sebagai suatu hal yang biasa. Bahkan bisa dibilang suatu berkah bagi
dirinya yang dalam sekali perkawinan bisa menikmati keindahan tubuh tiga wanita
tercantik.
Hari berlalu, tidak terasa
bagi Sahrul. Tidak disadarinya sedikitpun kalau dia sehari-hari hanya melakukan
hubungan seks dengan istrinya dan setiap seminggu sekali dia datang sendirian
ke istana Sang Ratu untuk memenuhi hasrat birahi Sang Ratu yang tak pernah
surut. Bahkan usai melayani Sang Ratu, Sahrul harus selalu melayani keinginan
Mayang untuk turut menikmati kehangatan tubuh dan permainannya.
Hal yang sangat aneh bagi
Sahrul adalah gairah yang selalu membara yang dimilikinya sehingga tanpa
puas-puasnya dan tanpa lelah sedikitpun dia bisa meladeni keinginan istrinya
untuk selalu berhubungan. Tidak hanya sekali dalam 24 jam. Justru waktu yang
mereka miliki untuk beristirahat sangat sempit. Belum lagi usai menikmati
istirahat atau makan, selalu saja kedua insan itu mengejarkan permaianan yang
seakan-akan sudah tertinggal oleh waktu yang mereka gunakan untuk istirahat
tadi. Begitu juga dengan layanan yang dberikannya kepada Sang Ratu. Tidak ada
satu kata capekpun yang sempat diungkapkan Sang Ratu kepadanya. Dan Sahrul
sendiri tak sedikitpun merasa lelah dalam menghadapi Sang Ratu dan Mayang.
Sebagaimana hari pertama dia
melayani Sang Ratu, Mayang selalu melakukan pemijatan disekujur tubuh Sahrul
sehingga dalam berhadapan dengan Sang Ratu dia selalu siap pakai dan mampu
mengimbangi permaianan Sang Ratu.
Entah bagaimana hitungan waktu
yang digunakan dikampung itu, tanpa terasa Ranti telah melahirkan dua orang
anak perempuan sekaligus. Anak kembar itu telah memberi kebahagiaan tersendiri
bagi keluarga itu. Namun masa istirahat Sahrul dan Ranti dalam melakukan
hubungan hanya sebentar saja. Tak lama sehabis melahirkan anaknya yang kembar
Ranti nampaknya sudah kembali siap pakai dan seakan tak tahan menunggu lebih
lama lagi dalam berpuasa dari kegiatan nikmat tersebut.
Memang dalam beberapa hari
istrinya melahirkan, Sahrul menjadi tamu Sang Ratu dalam waktu yang cukup lama.
Berhari-hari dia tinggal di istana Sang Ratu untuk memenuhi keinginan penguasa
itu dan Mayang.
Sebagaimana dengan Ranti,
Sang Ratupun akhirnya tak lama setelah Ranti melahirkan juga melahirkan dua
orang anak perempuan yang sangat cantik. Hal itu juga akhirnya disusul oleh
Mayang yang juga melahirkan anak perempuan yang cantik-cantik.
Mulanya Sahrul merasa heran,
kenapa anaknya selalu kembar dan selalu perempuan. Namun tak sempat pikirannya
tertuju kesana karena kenikmatan demi kenikmatan hidup telah menunggunya.
Bahkan tidak sedikitpun disadari Sahrul kalau secara bergiliran ketiga wanita
cantik itu selalu mlahirkan. Tak lama sehabis Mayang melahirkan, Ranti telah
pula melahirkan. Dan tak lama kemudian Sang Ratupun menyusul. Sehingga tak
pernah diketahui Sahrul secara pasti berapa sebetulnya anaknya di Kampung Lubuk
Lungun ini. Bagaimana mungkin dia akan mengetahui jumlah anak yang dimilikinya
kalau setiap saat dia hanya berada dikamar dan dalam keadaan bermesraan. Tidak
sedikitpun waktu tersedia untuk memberi perhatian pada anak-anaknya.
Rantipun seakan tidak
memberi kesempatan bagi Sahrul untuk memikirkan dan membicarakan bagaimana
anaknya. Selalu saja perhatian Sahrul dialihkannya pada kenikmatan-kenikmatan yang
selalu ingin dicapai Sahrul.
Akan halnya anak-anaknya
setiap ditanya oleh Sahrul selalu saja dikatakan tengah dirawat oleh
orangtuanya. Memang semua anak-anak Ranti yang lahir langsung menjadi
tanggungjawab Ratih, ibunya Ranti. Bahkan anak-anak tersebut semakin lama
semakin ramai dan mulai mengusik kemesraan Sahrul dan Ranti. Karena tidak satu
suara tangis bayipun yang terdengar menghiasi rumah mereka.
Sedangkan anak-anak Sahrul
dari Sang Ratu dan Mayang tidak pernah diketahuinya keberadaan mereka. Pernah
Sahrul menanyakannya kepada Mayang, karena dia beberapa kali melihat
Mayang dan Sang Ratu hamil tua dan
kemudian kembali langsing dan seperti gadis remaja. Namun jawaban dari Mayang
selalu mengatakan kalau anak-anak mereka diurus oleh dayang-dayang yang
ditugaskan untuk itu. Dan selalu saja perhatian Sahrul kembali dialihkan kepada
hal-hal kemesraan sehingga lelaki itu lupa akan apa yang seharusnya diketahuinya.
Sekian lama Sahrul hidup di
Kampung Lubuk Lungun itu, dan hanya menjadi pejantan saja tugas yang harus
dilakukannya. Baik kepada istrinya, Sang Ratu maupun Mayang, Sahrul harus
benar-benar memberikan kepuasan yang juga akhirnya menjadi kepuasan tersendiri
baginya. Tidak satupun dilihatnya lelaki lain yang bertugas seperti dirinya
dalam mengabdi kepada Sang Ratu. Ada beberapa lelaki yang sengaja menjadi pasukan
keamanan yang ditugaskan menjaga istana dan keamanan kampung itu. Dan ada juga
yang menjadi ajudan atau kaki tangan Sang Ratu dalam melakukan berbagai
kegiatan yang intinya memberi pelayanan akan kebutuhan Sang Ratu diluar istana.
Namun ada juga masyarakat biasa yang tugasnya hanya membawa air dan
menuangkannya di suatu bak besar yang entah untuk apa namun harus selalu penuh.
Bak besar itu terdapat disamping istana dan beberapa pojok kampung. Mungkin ini
adalah cadangan air yang digunakan masyarakat setempat untuk kebutuhan mereka.
Sistem penggajian juga tidak dikenal dikampung itu. Setiap orang yang bekerja
melayani Sang Ratu untuk memenuhi kebutuhan apapun di kampung itu tidak
menerima upah berupa uang atau alat tukar lainnya. Namun mereka juga tidak
perlu membayar jika membutuhkan ikan-ikan segar yang dijadikan kebutuhan hidup
sehari-hari yang mereka peroleh dari orang-orang yang ditugaskan Sang Ratu
untuk itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar