Selasa, 10 Februari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 20)



Sesampainya mereka diruang dalam, kembali kedua penganten itu bersanding. Kali ini mereka tidak bisa kemana-mana karena banyaknya tamu yang mengucapkan selamat kepada mereka. Tidak seperti hari-hari kemarin dimana para tamu nampaknya tidak terlalu menghiraukan penganten yang duduk bersanding di pelaminan, hari ini mereka justru antusias mengucapkan selamat kepada kedua penganten.
“Kenapa kemarin mereka tidak mengucapkan selamat? Kok baru sekarang?” tanya Sahrul.
“Mereka mengucapkan selamat setelah mendengar dari kepala rombongan tadi bahwa pengabdian abang diterima dengan baik oleh Sang Ratu. Itu merupakan kehormatan bagi kita yang harus mereka beri selamat”jawab Ranti dengan penuh senyum kebahagiaan.
Sahrul semakin bingung. Apakah orang-orang ini tahu bentuk apa dari pengabdian yang diminta Sang Ratu sehingga mereka merasa mendapat kehormatan?

Begitu dilihatnya kebahagiaan yang terpancar dari wajah Ranti dan keluarganya yang juga menimbulkan kebahagiaan tersendiri bagi para tamu yang hadir, mau tak mau Sahrul mengabaikan apa yang telah dilakukannya dengan Sang Ratu tadi malam. “Tidak mungkin warga kampung ini tak tahu apa yang sudah aku perbuat dengan Sang Ratu” pikirnya acuh.
Malam harinya setelah Sahrul melepaskan kerinduannya kepada Ranti, pikirannya yang berkecamuk memikirkan pengabdiannya semalam, akhirnya tak tahan diceritakannya juga pada Ranti. Secara panjang lebar dia bercerita mulai dari pijatan yang dilakukan Mayang sampai dengan Mayang minta bagian pengabdian pula. Sekali diliriknya raut wajah Ranti untuk mengetahui apakah istrinya ini marah dengan apa yang baru saja diceritakannya atau tidak.
Namun begitu dilihatnya wajah Ranti tidak menunjukkan kemarahan bahkan hanya tersenyum kecil, Sahrul agak tenang melihatnya.
“Kamu tidak marah, Sayang?” tanyanya hati-hati.
“Tidaklah, Bang. Bagaimana aku akan marah mendapatkan kehormatan dan kebahagiaan seperti itu? Justru aku bahagia” jawab Ranti dengan mata berbinar-binar.
Entah apa yang ada dibenak Ranti yang jelas Sahrul tidak melihat sedikitpun kekecewaan dan kemarahan diwajah cantik istrinya itu. Bahkan mendengar cerita Sahrul tentang petualangannya yang juga harus meladeni Mayang dianggap Ranti sebagai kebahagiaan tambahan yang bisa mengangkat kehormatan keluarganya.
Bingung memikirkan sikap Ranti yang tidak marah sedikitpun akan perilaku seks yang sudah dilakukan suaminya dengan Sang Ratu dan Mayang, akhirnya Sahrul harus menganggap hal tersebut sebagai suatu hal yang biasa. Bahkan bisa dibilang suatu berkah bagi dirinya yang dalam sekali perkawinan bisa menikmati keindahan tubuh tiga wanita tercantik.
Hari berlalu, tidak terasa bagi Sahrul. Tidak disadarinya sedikitpun kalau dia sehari-hari hanya melakukan hubungan seks dengan istrinya dan setiap seminggu sekali dia datang sendirian ke istana Sang Ratu untuk memenuhi hasrat birahi Sang Ratu yang tak pernah surut. Bahkan usai melayani Sang Ratu, Sahrul harus selalu melayani keinginan Mayang untuk turut menikmati kehangatan tubuh dan permainannya.
Hal yang sangat aneh bagi Sahrul adalah gairah yang selalu membara yang dimilikinya sehingga tanpa puas-puasnya dan tanpa lelah sedikitpun dia bisa meladeni keinginan istrinya untuk selalu berhubungan. Tidak hanya sekali dalam 24 jam. Justru waktu yang mereka miliki untuk beristirahat sangat sempit. Belum lagi usai menikmati istirahat atau makan, selalu saja kedua insan itu mengejarkan permaianan yang seakan-akan sudah tertinggal oleh waktu yang mereka gunakan untuk istirahat tadi. Begitu juga dengan layanan yang dberikannya kepada Sang Ratu. Tidak ada satu kata capekpun yang sempat diungkapkan Sang Ratu kepadanya. Dan Sahrul sendiri tak sedikitpun merasa lelah dalam menghadapi Sang Ratu dan Mayang.
Sebagaimana hari pertama dia melayani Sang Ratu, Mayang selalu melakukan pemijatan disekujur tubuh Sahrul sehingga dalam berhadapan dengan Sang Ratu dia selalu siap pakai dan mampu mengimbangi permaianan Sang Ratu.
Entah bagaimana hitungan waktu yang digunakan dikampung itu, tanpa terasa Ranti telah melahirkan dua orang anak perempuan sekaligus. Anak kembar itu telah memberi kebahagiaan tersendiri bagi keluarga itu. Namun masa istirahat Sahrul dan Ranti dalam melakukan hubungan hanya sebentar saja. Tak lama sehabis melahirkan anaknya yang kembar Ranti nampaknya sudah kembali siap pakai dan seakan tak tahan menunggu lebih lama lagi dalam berpuasa dari kegiatan nikmat tersebut.
Memang dalam beberapa hari istrinya melahirkan, Sahrul menjadi tamu Sang Ratu dalam waktu yang cukup lama. Berhari-hari dia tinggal di istana Sang Ratu untuk memenuhi keinginan penguasa itu dan Mayang.
Sebagaimana dengan Ranti, Sang Ratupun akhirnya tak lama setelah Ranti melahirkan juga melahirkan dua orang anak perempuan yang sangat cantik. Hal itu juga akhirnya disusul oleh Mayang yang juga melahirkan anak perempuan yang cantik-cantik.
Mulanya Sahrul merasa heran, kenapa anaknya selalu kembar dan selalu perempuan. Namun tak sempat pikirannya tertuju kesana karena kenikmatan demi kenikmatan hidup telah menunggunya. Bahkan tidak sedikitpun disadari Sahrul kalau secara bergiliran ketiga wanita cantik itu selalu mlahirkan. Tak lama sehabis Mayang melahirkan, Ranti telah pula melahirkan. Dan tak lama kemudian Sang Ratupun menyusul. Sehingga tak pernah diketahui Sahrul secara pasti berapa sebetulnya anaknya di Kampung Lubuk Lungun ini. Bagaimana mungkin dia akan mengetahui jumlah anak yang dimilikinya kalau setiap saat dia hanya berada dikamar dan dalam keadaan bermesraan. Tidak sedikitpun waktu tersedia untuk memberi perhatian pada anak-anaknya.
Rantipun seakan tidak memberi kesempatan bagi Sahrul untuk memikirkan dan membicarakan bagaimana anaknya. Selalu saja perhatian Sahrul dialihkannya pada kenikmatan-kenikmatan yang selalu ingin dicapai Sahrul.
Akan halnya anak-anaknya setiap ditanya oleh Sahrul selalu saja dikatakan tengah dirawat oleh orangtuanya. Memang semua anak-anak Ranti yang lahir langsung menjadi tanggungjawab Ratih, ibunya Ranti. Bahkan anak-anak tersebut semakin lama semakin ramai dan mulai mengusik kemesraan Sahrul dan Ranti. Karena tidak satu suara tangis bayipun yang terdengar menghiasi rumah mereka.
Sedangkan anak-anak Sahrul dari Sang Ratu dan Mayang tidak pernah diketahuinya keberadaan mereka. Pernah Sahrul menanyakannya kepada Mayang, karena dia beberapa kali melihat Mayang  dan Sang Ratu hamil tua dan kemudian kembali langsing dan seperti gadis remaja. Namun jawaban dari Mayang selalu mengatakan kalau anak-anak mereka diurus oleh dayang-dayang yang ditugaskan untuk itu. Dan selalu saja perhatian Sahrul kembali dialihkan kepada hal-hal kemesraan sehingga lelaki itu lupa akan apa yang seharusnya diketahuinya.
Sekian lama Sahrul hidup di Kampung Lubuk Lungun itu, dan hanya menjadi pejantan saja tugas yang harus dilakukannya. Baik kepada istrinya, Sang Ratu maupun Mayang, Sahrul harus benar-benar memberikan kepuasan yang juga akhirnya menjadi kepuasan tersendiri baginya. Tidak satupun dilihatnya lelaki lain yang bertugas seperti dirinya dalam mengabdi kepada Sang Ratu. Ada beberapa lelaki yang sengaja menjadi pasukan keamanan yang ditugaskan menjaga istana dan keamanan kampung itu. Dan ada juga yang menjadi ajudan atau kaki tangan Sang Ratu dalam melakukan berbagai kegiatan yang intinya memberi pelayanan akan kebutuhan Sang Ratu diluar istana. Namun ada juga masyarakat biasa yang tugasnya hanya membawa air dan menuangkannya di suatu bak besar yang entah untuk apa namun harus selalu penuh. Bak besar itu terdapat disamping istana dan beberapa pojok kampung. Mungkin ini adalah cadangan air yang digunakan masyarakat setempat untuk kebutuhan mereka. Sistem penggajian juga tidak dikenal dikampung itu. Setiap orang yang bekerja melayani Sang Ratu untuk memenuhi kebutuhan apapun di kampung itu tidak menerima upah berupa uang atau alat tukar lainnya. Namun mereka juga tidak perlu membayar jika membutuhkan ikan-ikan segar yang dijadikan kebutuhan hidup sehari-hari yang mereka peroleh dari orang-orang yang ditugaskan Sang Ratu untuk itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar