Rabu, 11 Februari 2015

Penganten Rang Bunian (Part 21)



Memang kebutuhan hidup dan makanan orang kampung itu rata-rata berupa ikan segar yang dimasak dengan berbagai resep dan selera penduduk. Sahrul sendiri sebetulnya merasa aneh dengan adanya makanan yang hanya terdiri dari ikan-ikan segar itu. Namun lama kelamaan akhirnya dia terbiasa dengan hanya memakan ikan tanpa adanya nasi dan lauk pauk lainnya. Memang pernah ditanyakannya hal tersebut kepada istrinya, namun istrinya menjawab dengan ucapan-ucapan yang seakan-akan dia tersinggung atas pertanyaan itu. Akhirnya Sahrul hanya bisa meminta maaf dan tidak pernah menanyakannya lagi.
Di istanapun dia selalu disuguhkan dengan makanan-makanan yang berasal dari sungai, namun rasa dan aroma makanannya jauh lebih enak dan lezat dibanding apa yang didapatnya dirumah Ranti.

Hari berlalu, tanpa terasa Sahrul sudah memiliki anak yang sangat banyak. Namun tetap saja tidak ada kejanggalan yang disadari oleh Sahrul untuk dijadikannya bahan pertanyaan. Bahkan sudah puluhan tahun dia hidup disana dirasakannya hal itu sudah menjadi suatu kebiasaan yang tak perlu dipertanyakan lagi. Akhirnya Sahrul juga berprinsip lebih baik menjalani hidup penuh kenikmatan dibawah kehangatan tiga wanita ini dari pada dia harus mempersoalkan masalah yang tidak ingin dijawab oleh ketiga wanita itu.
Akan halnya Sang Ratu walaupun sudah puluhan tahun Sahrul melayaninya, tetap saja bersikap sebagai seorang ratu bila sudah selesai melakukan hubungan dengan Sahrul. Begitu juga dengan Sahrul yang selalu diwanti-wanti oleh Ranti dan Mayang untuk selalu menghormati Sang Ratu sebagai junjungan mereka. Walaupun hubungan persetubuhan selalu mereka lakukan.
Selama menjalani hidup di kampung itu, tidak pernah sekalipun Sahrul melihat ada wanita lain yang lebih cantik dari Sang Ratu, Ranti dan Mayang. Ketiga wanita itu kendati sudah puluhan kali melahirkan namun tetap saja cantik dan seakan bertambah cantik. Sehingga tidak terniat sedikitpun dihati Sahrul untuk mencari wanita lain yang lebih cantik di kampung itu. Memang dia tidak pernah melihat adanya wanita tua dikampung itu. Kendati Ratih adalah mertuanya yang merupakan ibunya Ranti, namun setiap kali Sahrul melihat wanita itu tetap saja tidak ada tanda-tanda penuaan diraut wajah wanita itu. Begitu juga dengan orang-orang kampung lainnya, tidak satu orangpun wanita tua yang dilihatnya di kampung itu. Rata-rata dari mereka adalah wanita remaja yang hampir sebaya umurnya. Hanya masalah kecantikan saja yang membedakan diantara mereka. Bahkan untuk melihat anak-anakpun Sahrul tidak pernah berjumpa dengan mereka di kampung itu. Tidak satupun anak-anak yangh dilihatnya. Memang dirumahnya ada banyak anak yang dilahirkan dari rahim istrinya. Namun ketika dia menanyakan keadaan mereka selalu saja dijawab istrinya dengan keterangan-keterangan yang entah bagaimana namun akhirnya membuat Sahrul mengerti dan tidak penasaran untuk menanyakan kembali. Dia hanya beberapa kali bertemu dengan anak-anaknya, namun anak-anak perempuannya itu sudah gadis dan rata-rata cantik seperti ibunya.
Sahrul berjalan di jalan kampung yang biasa dilaluinya usai mengabdi kepada Sang Ratu dan Mayang di istana. Sebagaimana hari-hari yang telah dijalaninya puluhan tahun ini, selalu jalan itu saja yang dilaluinya. Tak pernah Sahrul melewati jalan lain yang membuatnya bisa mengetahui seluruh isi kampung itu. Bahkan bisa dikatakan kalau hidup Sahrul dikampung itu sebagian besar memang dihabiskannya di kamar dan dalam pelukan hangat ketiga wanita cantik itu.
Tanpa sadar sembari berjalan dilihatnya ada sebuah jalan bersemak menuju suatu tempat yang agaknya pernah dilewatinya. Terbayang suatu kenangan samar-samar dibenaknya.
“Apakah aku pernah melewati jalan ini? Kenapa aku seakan kenal dengan jalan ini?” pikir hatinya.
Dicobanya untuk mengingat-ingat jalan bersemak yang terlintas begitu saja dibenaknya. Namun tetap saja otaknya semakin buntu dan tak mampu berpikir kearah sana.
“Apakah ini suatu kenangan lama atau apa, yang jelas rasa-rasanya aku pernah melalui jalan ini” pikirnya lagi.
Penasaran dengan apa yang baru saja melintas dibenaknya, Sahrul nekad mendekati jalan itu dan menguakkan beberapa semak belukar yang menghalangi jalan itu. Semakin lama Sahrul merasa semakin akrab dengan jalan itu. Bahkan dia semakin yakin jalan itu pernah dilewatinya, namun entah kapan dan kemana jalan itu menuju.
Sayangnya semakin dalam dia masuk jalan itu semakin lebat pula semak belukar yang menutupinya sehingga akhirnya jalan itu menuju hutan belantara yang tidak ada ujungnya. Takut menyasar kemana-mana, Sahrul segera kembali surut dan menyelusuri jalan yang sudah dikuakkannya tadi sampai dia bertemu dengan jalan desa tadi yang sehari-hari dilaluinya.
Tak henti-hentinya Sahrul memeras otak untuk mengingat kembali jalan yang tadi ditemuinya. Bahkan keceriaan yang biasanya ditampakkannya ketika bertemu dengan orang-orang kampung itu tak terlihat lagi. Wajahnya terlihat murung dan berpikir serius untuk memecahkan teka-teki itu. Tak begitu dihiraukannya orang-orang kampung yang menyapanya di jalan.
Sesampainya dirumah Ranti, wajah murung itu masih dinampakkannya yang tentu saja membuat Ranti merasa heran dan bertanya-tanya. Namun dibiarkannya saja suaminya itu masuk rumah dan beristirahat terlebih dahulu.
“Tidak biasanya wajah abang begitu murung setelah mengabdi kehadapan Sang Ratu. Adakah suatu kesalahan yang abang buat sehingga membuat Sang Ratu murka?”  tanya Ranti mulai gelisah.
“Tidak. Sang Rtu baik-baik saja dan di puas dengan pengabdian yang aku berikan. Begitu juga dengan Mayang yang sangat menikmati permainanku” jawabnya acuh.
“Lalu kenapa abang begitu murung dan tidak bergairah begini?” selidik istrinya lagi.
Memang biasanya sepulang dari mengabdi pada Sang Ratu dan Mayang, Sahrul masih menampakkan kerinduannya untuk bercumbu dengan Ranti istrinya, kendati baru beberapa jam saja dia usai bercumbu dengan Sang Ratu dan Mayang.
“Abang hanya sedang berpikir dan mengingat-ingat kejadian yang pernah abang lalui” jawabnya.
“Kejadian apa, Bang? Apa yang abang pikirkan?” tanya istrinya tambah penasaran.
“Anu... tadi sepulang dari istana, abang tanpa sadar melihat ada sebuah jalan yang telah ditumbuhi belukar. Rasa-rasanya abang pernah melewati jalan itu. Dan ingatan itu semakin kuat sekarang, namun sialnya abang sama sekali tidak ingat kapan abang lewat dijalan itu dan untuk keperluan apa?” jawabnya. Ditatapnya mata istrinya kalau-kalau istrinya tahu jalan mana yang dia maksud.
Pertanyaan Sahrul yang begitu polos ternyata membuat wajah Ranti berubah tegang dan seakan menyembunyikan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan pikirannya.
“Kenapa, Ranti? Apakah ada yang salah? Apa kamu tahu jalan mana yang abang maksud?” tanyanya penasaran begitu melihat perubahan dimimik muka istrinya itu.
“Ah... Ti... Tidak, Bang. Aku hanya khawatir melihat abang begitu murung. Sudahlah, bang. Mungkin abang hanya mengkhayal dan terlalu membesar-besarkan masalah. Bisa saja kan kalau kita merasa pernah ingat sesuatu dan kemudian lupa tempatnya. Setahu saya tidak ada jalan yang begitu asing disini” jawabnya buru-buru.
Ranti takut kalau-kalau suaminya itu terus menerus memikirkan masalah itu yang akhirnya mengganggu tugasnya untuk melayani istrinya, Sang Ratu dan Mayang sesuai dengan apa yang disabdakan Sang Ratu sewaktu Sahrul memulai pengabdiannya puluhan tahun yang lalu.
“Tapi benar, Nti. Abang yakin betul kalau abang pernah melewati jalan itu, tapi abang tak tahu kapan waktunya dan untuk keperluan apa. Apalagi ketika abang coba menelusuri jalan itu, ternyata jalan itu mendadak buntu ditengah hutan sewaktu ingatan abang hampir mendekati kenyataan” katanya berusaha meyakinkan istrinya yang nampak tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar