Memang kebutuhan hidup
dan makanan orang kampung itu rata-rata berupa ikan segar yang dimasak dengan
berbagai resep dan selera penduduk. Sahrul sendiri sebetulnya merasa aneh
dengan adanya makanan yang hanya terdiri dari ikan-ikan segar itu. Namun lama
kelamaan akhirnya dia terbiasa dengan hanya memakan ikan tanpa adanya nasi dan
lauk pauk lainnya. Memang pernah ditanyakannya hal tersebut kepada istrinya,
namun istrinya menjawab dengan ucapan-ucapan yang seakan-akan dia tersinggung
atas pertanyaan itu. Akhirnya Sahrul hanya bisa meminta maaf dan tidak pernah
menanyakannya lagi.
Di istanapun dia
selalu disuguhkan dengan makanan-makanan yang berasal dari sungai, namun rasa
dan aroma makanannya jauh lebih enak dan lezat dibanding apa yang didapatnya
dirumah Ranti.
Hari berlalu, tanpa
terasa Sahrul sudah memiliki anak yang sangat banyak. Namun tetap saja tidak
ada kejanggalan yang disadari oleh Sahrul untuk dijadikannya bahan pertanyaan.
Bahkan sudah puluhan tahun dia hidup disana dirasakannya hal itu sudah menjadi
suatu kebiasaan yang tak perlu dipertanyakan lagi. Akhirnya Sahrul juga
berprinsip lebih baik menjalani hidup penuh kenikmatan dibawah kehangatan tiga
wanita ini dari pada dia harus mempersoalkan masalah yang tidak ingin dijawab
oleh ketiga wanita itu.
Akan halnya Sang Ratu
walaupun sudah puluhan tahun Sahrul melayaninya, tetap saja bersikap sebagai
seorang ratu bila sudah selesai melakukan hubungan dengan Sahrul. Begitu juga
dengan Sahrul yang selalu diwanti-wanti oleh Ranti dan Mayang untuk selalu menghormati
Sang Ratu sebagai junjungan mereka. Walaupun hubungan persetubuhan selalu
mereka lakukan.
Selama menjalani hidup
di kampung itu, tidak pernah sekalipun Sahrul melihat ada wanita lain yang
lebih cantik dari Sang Ratu, Ranti dan Mayang. Ketiga wanita itu kendati sudah
puluhan kali melahirkan namun tetap saja cantik dan seakan bertambah cantik.
Sehingga tidak terniat sedikitpun dihati Sahrul untuk mencari wanita lain yang
lebih cantik di kampung itu. Memang dia tidak pernah melihat adanya wanita tua
dikampung itu. Kendati Ratih adalah mertuanya yang merupakan ibunya Ranti, namun
setiap kali Sahrul melihat wanita itu tetap saja tidak ada tanda-tanda penuaan
diraut wajah wanita itu. Begitu juga dengan orang-orang kampung lainnya, tidak
satu orangpun wanita tua yang dilihatnya di kampung itu. Rata-rata dari mereka
adalah wanita remaja yang hampir sebaya umurnya. Hanya masalah kecantikan saja
yang membedakan diantara mereka. Bahkan untuk melihat anak-anakpun Sahrul tidak
pernah berjumpa dengan mereka di kampung itu. Tidak satupun anak-anak yangh
dilihatnya. Memang dirumahnya ada banyak anak yang dilahirkan dari rahim
istrinya. Namun ketika dia menanyakan keadaan mereka selalu saja dijawab
istrinya dengan keterangan-keterangan yang entah bagaimana namun akhirnya
membuat Sahrul mengerti dan tidak penasaran untuk menanyakan kembali. Dia hanya
beberapa kali bertemu dengan anak-anaknya, namun anak-anak perempuannya itu
sudah gadis dan rata-rata cantik seperti ibunya.
Sahrul berjalan di
jalan kampung yang biasa dilaluinya usai mengabdi kepada Sang Ratu dan Mayang
di istana. Sebagaimana hari-hari yang telah dijalaninya puluhan tahun ini,
selalu jalan itu saja yang dilaluinya. Tak pernah Sahrul melewati jalan lain
yang membuatnya bisa mengetahui seluruh isi kampung itu. Bahkan bisa dikatakan
kalau hidup Sahrul dikampung itu sebagian besar memang dihabiskannya di kamar
dan dalam pelukan hangat ketiga wanita cantik itu.
Tanpa sadar sembari
berjalan dilihatnya ada sebuah jalan bersemak menuju suatu tempat yang agaknya pernah
dilewatinya. Terbayang suatu kenangan samar-samar dibenaknya.
“Apakah aku pernah
melewati jalan ini? Kenapa aku seakan kenal dengan jalan ini?” pikir hatinya.
Dicobanya untuk
mengingat-ingat jalan bersemak yang terlintas begitu saja dibenaknya. Namun
tetap saja otaknya semakin buntu dan tak mampu berpikir kearah sana.
“Apakah ini suatu
kenangan lama atau apa, yang jelas rasa-rasanya aku pernah melalui jalan ini”
pikirnya lagi.
Penasaran dengan apa
yang baru saja melintas dibenaknya, Sahrul nekad mendekati jalan itu dan
menguakkan beberapa semak belukar yang menghalangi jalan itu. Semakin lama
Sahrul merasa semakin akrab dengan jalan itu. Bahkan dia semakin yakin jalan
itu pernah dilewatinya, namun entah kapan dan kemana jalan itu menuju.
Sayangnya semakin
dalam dia masuk jalan itu semakin lebat pula semak belukar yang menutupinya
sehingga akhirnya jalan itu menuju hutan belantara yang tidak ada ujungnya.
Takut menyasar kemana-mana, Sahrul segera kembali surut dan menyelusuri jalan
yang sudah dikuakkannya tadi sampai dia bertemu dengan jalan desa tadi yang
sehari-hari dilaluinya.
Tak henti-hentinya
Sahrul memeras otak untuk mengingat kembali jalan yang tadi ditemuinya. Bahkan
keceriaan yang biasanya ditampakkannya ketika bertemu dengan orang-orang kampung
itu tak terlihat lagi. Wajahnya terlihat murung dan berpikir serius untuk
memecahkan teka-teki itu. Tak begitu dihiraukannya orang-orang kampung yang
menyapanya di jalan.
Sesampainya dirumah
Ranti, wajah murung itu masih dinampakkannya yang tentu saja membuat Ranti
merasa heran dan bertanya-tanya. Namun dibiarkannya saja suaminya itu masuk
rumah dan beristirahat terlebih dahulu.
“Tidak biasanya wajah
abang begitu murung setelah mengabdi kehadapan Sang Ratu. Adakah suatu kesalahan
yang abang buat sehingga membuat Sang Ratu murka?” tanya Ranti mulai gelisah.
“Tidak. Sang Rtu
baik-baik saja dan di puas dengan pengabdian yang aku berikan. Begitu juga
dengan Mayang yang sangat menikmati permainanku” jawabnya acuh.
“Lalu kenapa abang
begitu murung dan tidak bergairah begini?” selidik istrinya lagi.
Memang biasanya
sepulang dari mengabdi pada Sang Ratu dan Mayang, Sahrul masih menampakkan
kerinduannya untuk bercumbu dengan Ranti istrinya, kendati baru beberapa jam
saja dia usai bercumbu dengan Sang Ratu dan Mayang.
“Abang hanya sedang
berpikir dan mengingat-ingat kejadian yang pernah abang lalui” jawabnya.
“Kejadian apa, Bang?
Apa yang abang pikirkan?” tanya istrinya tambah penasaran.
“Anu... tadi sepulang
dari istana, abang tanpa sadar melihat ada sebuah jalan yang telah ditumbuhi
belukar. Rasa-rasanya abang pernah melewati jalan itu. Dan ingatan itu semakin
kuat sekarang, namun sialnya abang sama sekali tidak ingat kapan abang lewat
dijalan itu dan untuk keperluan apa?” jawabnya. Ditatapnya mata istrinya
kalau-kalau istrinya tahu jalan mana yang dia maksud.
Pertanyaan Sahrul yang
begitu polos ternyata membuat wajah Ranti berubah tegang dan seakan
menyembunyikan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan pikirannya.
“Kenapa, Ranti? Apakah
ada yang salah? Apa kamu tahu jalan mana yang abang maksud?” tanyanya penasaran
begitu melihat perubahan dimimik muka istrinya itu.
“Ah... Ti... Tidak,
Bang. Aku hanya khawatir melihat abang begitu murung. Sudahlah, bang. Mungkin
abang hanya mengkhayal dan terlalu membesar-besarkan masalah. Bisa saja kan
kalau kita merasa pernah ingat sesuatu dan kemudian lupa tempatnya. Setahu saya
tidak ada jalan yang begitu asing disini” jawabnya buru-buru.
Ranti takut
kalau-kalau suaminya itu terus menerus memikirkan masalah itu yang akhirnya
mengganggu tugasnya untuk melayani istrinya, Sang Ratu dan Mayang sesuai dengan
apa yang disabdakan Sang Ratu sewaktu Sahrul memulai pengabdiannya puluhan
tahun yang lalu.
“Tapi benar, Nti.
Abang yakin betul kalau abang pernah melewati jalan itu, tapi abang tak tahu
kapan waktunya dan untuk keperluan apa. Apalagi ketika abang coba menelusuri
jalan itu, ternyata jalan itu mendadak buntu ditengah hutan sewaktu ingatan
abang hampir mendekati kenyataan” katanya berusaha meyakinkan istrinya yang
nampak tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar